Pendataan
SDGs Desa dan Ketahanan Desa Ivanovich Agusta ; Sosiolog Pedesaan Kementerian Desa, PDT, dan
Transmigrasi |
KOMPAS, 2 Agustus 2021
Di
tengah deraan pandemi Covid-19, saat ini lebih dari 1,4 juta Kelompok Kerja
Relawan Pendataan Desa aktif menuntaskan pendataan SDGs (Sustainable
Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) Desa. Bukan
sekadar mengumpulkan informasi seputar 74.961 desa, namun lebih detail lagi
sampai wilayah rukun tetangga (RT), kondisi keluarga, serta keadaan setiap
warga desa. Pada
9 Mei lalu, tersimpan data 84 juta warga desa, 28 juta keluarga, 460 ribu RT,
dan 42.927 desa. Seluruh data itu milik desa, sebagaimana penegasan Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Permendesa
PDTT) Nomor 21 Tahun 2020 Pasal 20. Untuk
pertama kalinya, kelak sampai akhir Agustus 2021, desa memiliki sendiri
daftar penganggur, difabel, warga usia sekolah yang putus sekolah, kondisi
penyakit tiap warga, warga yang sakit namun tidak mampu berobat. Juga daftar
keluarga yang tidak memiliki fasilitas MCK, rumahnya tidak layak huni, sulit
berkendara ke lokasi kerja, hingga telah memiliki usaha namun sulit
berkembang. Data ketahanan desa Dari
desa terkompilasi data tahunan dan harian. Informasi SDGs Desa terentang
untuk menjumput data setahun terakhir. Data harian desa ini mencakup kondisi
pandemi Covid-19, Padat Karya Tunai Desa, dan penyaluran Bantuan Langsung
Tunai (BLT) Dana Desa. Data
harian menunjukkan ketahanan desa masih lebih tinggi dari kota selama pandemi
setahun terakhir. Penderita Covid-19 di desa naik mulai Desember 2020 lalu
menanjak dari Maret 2021, namun tetap lebih rendah daripada kota. Sampai
30 Juli 2021, sebanyak 3.372.374 orang terkonfirmasi positif Covid-19 di
tingkat nasional, dan 92.311 orang di antaranya meninggal. Dibandingkan data
itu, di desa 14 persen (468.136 orang) terkonfirmasi positif dan 22 persen
(20.191 orang) telah meninggal. Ini
mengabarkan bahwa strategi kesehatan terbaik bagi desa ialah pencegahan,
karena begitu terkonfirmasi positif bisa lebih sulit menjangkau layanan
kesehatan untuk berobat. Yang
menarik, Padat Karya Tunai Desa dan BLT Dana Desa mampu mengerem laju
pengangguran, kemiskinan serta ketimpangan di desa lebih kuat daripada kota.
Artinya, strategi kebijakan ekonomi desa mampu menjaga daya beli warga. Pada
Februari 2020-2021, tingkat pengangguran terbuka di desa sedikit naik 0,62
persen, sementara di kota melonjak 1,88 persen. Periode Maret 2020-2021
mencatat kemiskinan desa naik 110.000 jiwa (naik 0,28 persen), padahal di
kota meningkat 1,02 juta jiwa (naik 0,51 persen). Ketimpangan ekonomi di desa
juga menunjukkan penurunan, dengan penurunan indeks rasio Gini 0,002,
sebaliknya di kota naik 0,008. Data kebutuhan dan pelayanan Data
tahunan SDGs Desa memberikan gambaran mikro, yaitu yang riil terjadi di
lapangan, tanpa olahan data berarti, sehingga mudah dipahami warga awam. Data
tingkat desa dan RT menyajikan sisi pelayanan (supply side) pembangunan desa,
seperti ketersediaan dan jangkauan SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, posyandu,
poskesdes (pos kesehatan desa), puskesmas, rumah sakit. Untuk
pertama kalinya, terhimpun pula data riil kebutuhan warga desa (demand side),
seperti jumlah warga yang sakit menahun (misalnya saat ini muncul daftar
346.419 warga yang sakit TB Paru-paru), pemanfaatan puskesmas (141.577.155
kali didatangi warga), serta pemanfaatan poskesdes yang jauh lebih rendah
(sebanyak 72.394.213 kali didatangi warga). Dari
sisi pelayanan, ada 27.091 puskesmas dan 52.117 poskesdes. Rata-rata
puskesmas melayani 5.225 kunjungan per tahun, sementara poskesdes 1.389
kunjungan per tahun. Ini menandai kebutuhan warga sakit lebih dipenuhi
puskesmas di kecamatan. Ada tantangan poskesdes di desa agar ditingkatkan
ragam layanannya guna mengefektifkan pengelolaan kesehatan warga. Modal membangun Data
SDGs Desa menjadi modal berharga bagi desa, pemerintah daerah, dan pemerintah
pusat, guna menetapkan pemanfaat pembangunan secara presisi. Bukan lagi
menetapkan sasaran umum berbasis wilayah, namun sudah mendetail nama dan
alamat individu serta keluarga di RT. Swasta dan LSM juga presisi mendeteksi
sasaran aktivitas pengembangan komunitas. Perencanaan
berbasis bukti lapangan mengefisienkan anggaran negara. lantaran data
dikompilasi hingga level rukun tetangga, keluarga dan warga, kegiatan
pembangunan pasti berlainan sesuai masalah serta potensi tiap desa. Mimpi
pembangunan asimetris, mengutamakan golongan terbawah dan wilayah tertinggal,
akhirnya menemukan kaki operasionalnya di lapangan. Kementerian
Desa PDTT sedang menyediakan teknologi informasi yang langsung menyajikan
rekomendasi detail kegiatan sesuai hasil SDGs Desa. Ini memudahkan desa,
pemda, dan pemerintah pusat merumuskan perencanaan dan penganggaran kegiatan
mulai 2022. Cara
termudah adalah langsung mencomot rekomendasi yang tersusun secara algoritmik
tersebut, memusyawarahkan, lalu mencantumkannya dalam dokumen perencanaan. Jika
dihantui keterbatasan anggaran, Kemendesa PDTT juga meluaskan aplikasi
kegiatan prioritas bagi masing-masing desa, kabupaten/kota, dan provinsi.
Dihitung korelasi tiap tujuan SDGs Desa, maupun hubungan 122 rincian
targetnya, pada masing-masing wilayah. Prioritas
tersebut diurutkan dari nilai korelasi tertinggi hingga terendah. Prioritas
tertinggi menunjukkan kegiatan yang memiliki dampak terbesar untuk menggaet
aspek lain SDGs Desa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar