Hoaks
Vaksin di Masa Pandemi David Tobing ; Staf Pengajar Humaniora Universitas
Multimedia Nusantara (UMN) |
KOMPAS, 2 Agustus 2021
Tanpa
vaksinasi, mustahil pandemi Covid-19 terkendali. Wakil Menteri Kesehatan
Dante Saksono Harbuwono menyatakan tingkat kematian pasien Covid-19 yang
belum divaksin mencapai 94 persen. Tanpa disertai percepatan vaksinasi, maka
upaya menahan laju penularan melalui tes, lacak, dan isolasi serta pencegahan
penularan melalui pembatasan mobilitas dan penerapan protokol kesehatan tidak
akan efektif, apalagi di tengah banyaknya hoaks yang beredar di masyarakat. Riset
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Minggu (18/7/2021) menemukan 36,4 persen
masyarakat tidak bersedia divaksin dengan beragam alasan. Tingginya angka
resistensi ini tergolong mengkhawatirkan. Alasannya, kekebalan kelompok (herd
immunity) mensyaratkan 70 persen dari total populasi telah divaksin. Dan,
pemerintah sudah menetapkan target kekebalan kelompok tercapai jika 208 juta
penduduk Indonesia sudah divaksin. Hingga Selasa (25/7), Kementerian
Kesehatan mendata 21 persen atau 45 juta orang sudah divaksin dosis pertama
dan 9 persen atau 18 juta orang divaksin dosis kedua. Alasan
masyarakat tidak bersedia divaksin antara lain takut dengan efek samping
vaksin, menganggap vaksin tidak efektif, dan merasa diri sehat sehingga tidak
membutuhkan vaksin. Cukup pasti informasi yang keliru itu dikarenakan
masyarakat terpapar oleh hoaks vaksin. Hingga
Selasa (27/7), selama masa pandemi, Kementerian Komunikasi dan Informatika
menemukan 268 konten hoaks vaksin Covid-19 yang tersebar di media sosial.
Terhadap hoaks itu, pemerintah mengajukan permintaan penurunan konten hoaks
kepada perusahaan media sosial. Salah
satu ciri hoaks vaksin yang beredar di masyarakat adalah penggunaan narasi
anti-sains. Contohnya, vaksin tidak berkualitas karena dibuat terburu-buru.
Hoaks ini abai pada informasi tentang proses panjang penemuan vaksin. Bermula
dari riset menemukan calon vaksin, lalu uji coba pada hewan, kemudian uji
klinis terhadap manusia. Ujungnya adalah vaksin disetujui Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) secara nasional dan World Health Organization (WHO) secara
internasional. Selain itu, hasil penelitian dari tiap tahapan dipublikasikan
secara ilmiah untuk dikritisi oleh para ilmuwan di seluruh dunia. Kebenaran
saintifik inilah yang diabaikan dan ditutupi oleh hoaks. Keselamatan publik Hoaks
adalah penyimpangan informasi. Penyimpangan informasi dapat berupa
disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Disinformasi berarti penyebaran
informasi yang salah dan secara sadar diciptakan untuk melukai atau tidak
melukai orang lain. Misinformasi adalah penyebaran informasi yang salah dan
diyakini benar, namun tidak diciptakan untuk melukai orang lain. Malinformasi
adalah penyebaran informasi yang benar, namun ditujukan untuk melukai orang
lain. Hoaks
adalah penyangkalan terhadap hakikat informasi demi kebaikan publik. Dengan
mendapatkan informasi yang benar, masyarakat dapat memutuskan tindakan yang
tepat. Misalnya, informasi akurat tentang kriminalitas di suatu daerah akan
menyadarkan orang yang akan melintasi daerah itu untuk waspada. Dalam hal
vaksin, informasi yang akurat tentang vaksin akan menyadarkan masyarakat akan
pentingnya vaksinasi. Namun,
hoaks vaksin mengganggu proses pengambilan keputusan yang tepat. Pekan lalu
media massa ramai menurunkan pemberitaan kematian dua orang karena
mempercayai hoaks. Belajar dari peristiwa ini, pada masa pandemi Covid-19,
setiap orang wajib untuk tidak memproduksi dan menyebarkan hoaks demi
keselamatan jiwa sendiri dan orang lain. Mengatasi hoaks vaksin Selain
ketersediaan vaksin, distribusi vaksin, dan kemudahan proses vaksinasi bagi
warga, pengendalian atas hoaks vaksin Covid-19 merupakan kunci keberhasilan
program vaksinasi. Untuk mengatasi maraknya hoaks vaksin, dua strategi dengan
pendekatan partisipatif antara pemerintah dan publik ini dapat dilakukan. Pertama,
strategi menangkal hoaks. Untuk menangkal hoaks, pemerintah dapat menegakkan
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan mengajukan penurunan konten
hoaks kepada perusahaan media sosial. Publik melalui institusi pers dan
lembaga swadaya masyarakat—seperti Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo)
dan SAFENet—membangun kesadaran publik akan bahaya hoaks melalui literasi
digital serta menurunkan berita bantahan terhadap konten hoaks yang beredar
di masyarakat. Kedua,
strategi penyediaan informasi. Idealnya informasi yang tersedia tidak hanya
berkualitas, namun juga mengandung potensi viral. Karena itu, informasi yang
diberikan kepada pubik mesti memenuhi tiga syarat, yaitu berbasis kajian
ilmiah, menggunakan bahasa populer, dan memiliki daya viral. Informasi
mesti berbasis kajian ilmiah karena para ilmuwan memiliki pengetahuan yang
awal tentang virus Covid-19. Penggunaan bahasa yang sederhana bertujuan agar
pesan yang disampaikan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat. Mengandung daya viral agar informasi yang
disampaikan itu dapat mengalahkan persebaran hoaks di media sosial. Karena
itu, materi informasi mesti disusun secara kolaboratif oleh pemerintah, para
ahli kesehatan, para profesional di bidang jurnalistik dan periklanan, serta
tokoh-tokoh publik dan agamawan pada tingkat lokal dan nasional. Keberhasilan
pengendalian penyebaran hoaks akan berkontribusi pada keberhasilan program
vaksinasi. Kampanye vaksinasi yang dirancang dengan baik akan mengubah
kesadaran masyarakat. Masyarakat akan bersedia divaksin dan pandemi pun
terkendali seiring dengan terbentuknya kekebalan kelompok. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar