Selasa, 10 Agustus 2021

 

"Paradox Mindset" Penanganan Pandemi

Heryanto Lingga ;  Pensiunan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi

DETIKNEWS, 9 Agustus 2021

 

 

                                                           

Akhir-akhir ini ruang publik di media online dan media sosial di Indonesia ramai menyoroti saran epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono yang mengingatkan Presiden Jokowi bahwa Indonesia memasuki jalur jebakan pandemi.

 

Ramai pula pembicaraan kritik --terminologi yang dipakai sejumlah media (online) mainstream-- politikus senior PDIP Effendi Simbolon yang mempersoalkan pilihan strategi PSBB/PPKM pemerintah ketimbang kebijakan lockdown.

 

The Paradox Mindset

 

Saat polemik pandemi ini ramai menjadi bahan diskusi publik, saya teringat sebuah artikel lawas di BBC bertajuk Why The Paradox Mindset Is The Key of Success karya David Robson dan Loizos Heracleous yang dipublikasi pada 12 November 2020.

 

Dalam artikel itu dikatakan bahwa cara berpikir paradoks berupaya menyinkronkan dua tujuan yang berbeda secara simultan ke satu tujuan yang sama. Jelas ini bukan sesuatu yang mudah dan cenderung bertolak belakang satu dengan yang lain.

 

Ambil contoh sederhana, ketika sebuah rumah sakit berupaya memberi pelayanan prima dan berstandar medis tinggi sudah barang tentu akan diperhadapkan pada biaya operasional tinggi dan tindakan medis yang mahal.

 

Dalam bingkai paradox mindset bagaimana agar harga jual jasa rumah sakit itu bisa terjangkau masyarakat, namun tetap menjunjung tinggi standar pelayanan medis tinggi menjadi challenge tersendiri. "Mustahil dicapai," begitu komentar pengelola RS pada umumnya. Nanti kita belajar dari sukses Narayana Hospital di India.

 

Seorang psikiatri dari Havard University Albert Rothenberg mewawancarai 22 pemenang Hadiah Nobel pada 1996. Ia mendapati dari setiap pemikiran revolusioner para pemenang Nobel tadi mengandung unsur "actively conceiving multiple opposite or antitheses simultaneously."

 

Sang jenius Albert Einstein, misalnya. Ia berkontemplasi saat mengamati bagaimana dua objek berbeda --objek diam dan objek bergerak-- dapat berada pada saat yang sama. Menurut dia, semua itu bergantung pada posisi si observer melihat objek tersebut. Dari pemikiran paradoks inilah lahir Relativity Theory.

 

The Janus Strategy

 

Pada era 2000-an, Profesor Loizos Heracleous dari Warwick Business School, Amerika Serikat mencoba melawan pemikiran mainstream saat itu, bahwa perusahaan berlabel sukses adalah yang fokus pada satu sasaran utama (utlimately goal) yang menjadi modal competetive advantage.

 

Dalam praktiknya, ia mendapati bahwa perusahaan kerap dihadapkan pada beberapa tujuan besar --yang bertolak belakang namun penting-- pada saat yang bersamaan. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara efisiensi vs kualitas produk (R&D), antara efisiensi vs sustainability business (green company), antara efisiensi vs high profit.

 

Dari pergulatan pikiran itulah, Prof Loizos Heracleous menerbitkan buku bertajuk The Janus Strategy pada 2006. Nama Janus diambil dari mitologi Romawi yang mana sang dewa (Janus) diperhadapkan pada dua pilihan secara bersamaan yang kontradiktif.

 

Pada satu sisi tangan, Dewa Janus memegang sebuah tongkat untuk menunjuk arah jalan, pada tangan satunya lagi memegang kunci yang bisa membuka atau menutup jalan. Kontradiksi ini menggambarkan situasi yang kerap dihadapi siapa pun dalam hidup keseharian.

 

Mungkinkah dua pilihan yang kontradiksi bisa seiring sejalan dan setujuan? Prof Loizos mengutip kisah sukses Narayana Hospital di India. Pada 1996, seorang dokter ahli bedah jantung bernama dr Shetty bertemu Mother Theresa saat melayani rakyat miskin yang tidak tersentuh fasilitas kesehatan rumah sakit.

 

Dr Shetty terngiang-ngiang omongan Mother Theresa, "Tangan yang melayani lebih suci dari bibir seorang pendoa." Ia pun mendirikan Narayana Hospital untuk melayani rakyat miskin di India dengan harga terjangkau namun dengan kualitas layanan medis prima. Jelas ini dua tujuan yang kontradiktif. Mustahil digapai keduanya. Namun dr Shetty berhasil merengkuh keduanya.

 

Prof Loizos menyodorkan data menarik terkait sukses Narayana Hospital. Biaya operasi jantung di Narayana berkisar US$2.000 atau hampir seperempat biaya yang sama di RS-RS di India yang mencapai US$7.900. Bandingkan biaya operasi yang sama di RS di Amerika Serikat sebesar US$123 ribu per operasi.

 

Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi? Dr Shetty memakai The Janus Strategy untuk menggapai skala ekonomi RS. Ia mengupayakan high scale untuk pemakaian ruang operasi, misalnya. Apabila rerata ruang operasi di RS-RS di India dan Amerika Serikat hanya melakukan 5-6 tindakan operasi per hari, di Narayana Hospital bisa mencapai 34 operasi.

 

Prof Loizos memberi contoh lain. Singapore Airline (SQ) menjalankan dua strategi besar ang bertolak belakang secara simultan, yakni layanan prima (kenyamanan, berkelas, tepat waktu di semua lini layanan) vs low cost airline (harga tiket bersaing dan layanan lainnya). Walhasil, SQ menjadi maskapai dengan profit tinggi dengan biaya operasional efisien.

 

Dalam bukunya masih panjang daftar perusahaan yang sukses menerapkan The Janus Strategy. Misalnya, Apple Inc dengan investasi R&D yang terbilang rendah (hanya 5% dari revenue) mampu menjadi jagoan dunia, Toyota Motor yang melakukan revolusi internal justru di saat perusahaan berada di puncak kejayaan, Haier mendisrupsi perusahaan elektronik Amerika Serikat dan Eropa dengan produk berkualitas dengan harga murah.

 

Hedgehogs dan Foxes

 

Pada 2019, John Lewis Gaddis menerbitkan buku bertajuk On Grand Strategy. Profesor ahli sejarah dari Yale University di Amerika Serikat ini mengutip terminologi "hedgehogs" (landak) dan "foxes" (rubah) dari tulisan filsuf Isaiah Berlin saat memotret kegagalan strategi perang Raja Xerxes dari Persia sewaktu menghadapi Spartan asal Yunani pada tahun 480 sebelum Masehi.

 

Sosok binatang landak (hedgehogs) dan rubah (foxes) dimunculkan terkait karakter unik dari kedua binatang itu. Hedgehogs tipikal sosok yang hanya punya satu tujuan besar dalam hidupnya. Sedangkan foxes merupakan figur yang memiliki intuisi tajam bersumber informasi dan pengetahuan yang luas dalam membaca perubahan lingkungan strategis.

 

Dalam bingkai kedua karakter binatang inilah, Prof JL Gaddis menganalisa kekalahan Raja Xerxes yang memiliki ribuan pasukan tempur saat menghadapi ratusan pasukan Spartan asal Yunani. Tipikal Raja Xerxes adalah sosok hedgehogs yang dalam hidupnya punya satu tujuan besar yakni menaklukkan Yunani guna menjadi pintu masuk menundukkan dataran Eropa.

 

Pada sisi lain, sang penasihat militer yang juga adalah paman Raja Xerxes bernama Arthabanus merupakan sosok foxes. Sebagai seorang penasihat yang punya banyak pertimbangan, ia pernah menyarankan agar sang raja untuk mengurungkan biat menginvasi Yunani yang tak lain upaya balas dendam atas kekalahan ayahnya (Raja Darius I) saat memerangi Yunani satu dekade sebelumnya.

 

Arthabanus memberikan berbagai macam pertimbangan mengapa sebaiknya Raja Xerxes mengurungkan niatnya menyerang Yunani. Sebagai figur foxes, ia memaparkan kendala lapangan: cuaca buruk di pantai Yunani, faktor kelelahan prajurit dan merosotnya moral tempur pasukan, dan menyusutnya pasok logistik pangan.

 

"Jika semua faktor itu mesti dipertimbangkan, engkau tidak akan berbuat apapun. Sesuatu yang besar hanya dimenangkan dari pertarungan dengan risiko yang besar pula," ujar Raja Xerxes merespons pandanganya Arthabanus.

 

Raja Xerxes memerintahkan menyerang Yunani. Pasukan Persia yang berjumlah besar justru kewalahan menghadapi pasukan Spartan yang sedikit, namun disokong armada angkatan laut Yunani.

 

Dari kisah itu, Prof JL Gaddis menilai seandainya sosok Raja Xerxes yang berkarakter hedgehogs bisa berdamai dengan figur foxes dalam diri Arthabanus, kekalahan perang yang tragis dan memalukan itu tidak akan terjadi.

 

Bottom Line

 

Dari paparan di atas, setidaknya ada bottom line yang bisa ditarik, yakni tipikal pemimpin ideal adalah figur yang punya DNA berpikir paradoks seperti Dewa Janus yang di dalam dirinya berbaur karakter hedgehogs dan foxes.

 

Kalau kita cermati mindset strategi Presiden Jokowi mengatasi pademi Covid-19 bukan berpikir "either/or" yakni, "lockdown atau non-lockdown". Dua sasaran sekaligus ingin direngkuh: ekonomi selamat dan pademi terkendali. Cara pikir seperti ini terisap dalam paradox mindset. Wajar apabila banyak kalangan menilai adalah mustahil dua sasaran yang bertolak belakang bisa digapai.

 

Dalam bingkai paradox mindset bukanlah sesuatu yang mustahil untuk menggapai dua sasaran yang kontradiktif secara bersamaan. Justru dengan mengadopsi gaya pikir paradoks berpotensi memproduksi benih-benih pemikiran yang outstanding seperti lahirnya Teori Relativitas Albert Einstein.

 

Apakah paradox mindset Presiden Jokowi itu akan berhasil seperti penerapannya di Narayana Hospital, SQ, Toyota, Apple, dan Haier? Terlalu dini untuk menilai saat ini karena proses penanganan pademi masih berlangsung. Namun, paradox mindset memberi ruang terbuka bagi penganutnya untuk sukses merengkuh apa yang ingin dicapainya. Semoga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar