Selasa, 10 Agustus 2021

 

Anomali Ekonomi Pandemi: Pertumbuhan versus Kematian

Anthony Budiawan ;  Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)

WATYUTINK, 9 Agustus 2021

 

 

                                                           

Pertumbuhan ekonomi kuartal II (Q2) 2021 sebesar 7,07 persen, dibandingkan Q2/2020. Seperti diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Agustus yang lalu. Pada waktu bersamaan, banyak orang merasa ekonomi sedang sulit. Terutama kelompok menengah bawah.

Penghasilan harian turun. Bahkan hilang. Berjualan dibatasi. Ada yang didenda sampai Rp5 juta karena dianggap melanggar ketentuan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Ada yang rela dipenjara karena tidak bisa bayar denda tersebut. Bahkan ada yang coba bunuh diri. Seperti ketua harian Asosiasi Kafe dan Restoran pada 4 Agustus 2021. Satu hari menjelang pengumuman BPS.

Sehingga tidak heran masyarakat menyambut pengumuman BPS dengan sinis. Mencibir. Bahkan ada yang menuduh datanya tidak benar. Karena fakta di lapangan hanya ada jeritan masyarakat menengah bawah. Bukan hingar bingar pertumbuhan. Tetapi, tekanan ekonomi yang sangat berat.

Pemerintah saat ini bukan hanya membatasi aktivitas sosial masyarakat. Tetapi juga membatasi kegiatan ekonomi masyarakat, terutama kelompok usaha kecil dan mikro, UKM. Aktivitas berdagang terhambat dan dihambat. Banyak yang kehilangan mata pencaharian, kehilangan penghasilan. Pemerintah sepertinya juga tidak banyak membantu.

Seperti itu realitas kehidupan yang dihadapi masyarakat sejak awal Juli 2021. Sejak diberlakukan PPKM Darurat yang kini mempunyai varian level.

Di lain sisi, pertumbuhan ekonomi 7,07 persen ini seharusnya tidak perlu dicurigai. Hal ini sangat mungkin. Karena dibandingkan dengan ekonomi pada Q2 tahun lalu yang sangat rendah. Setelah anjlok 5,32 persen.

Pertumbuhan relatif tinggi ini bukan hanya milik Indonesia. Banyak negara maju bahkan mencatat pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih spektakuler. Yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat tercapai. Tetapi, dalam kondisi tidak normal, menjadi mungkin. Karena, ekonomi dalam kondisi tidak normal bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang juga tidak normal (tingginya).

Kondisi dan resesi ekonomi di masa pandemi adalah kondisi tidak normal. Ekonomi mengalami penurunan tajam. Karena itu, ekonomi dapat melonjak di masa pemulihan.

Misalnya, Singapore mencatat pertumbuhan ekonomi 14,3 persen pada Q2/2021 ini terhadap Q2/2020. Hal ini bisa terjadi karena Q2 tahun lalu ekonomi Singapore anjlok tajam: minus 13,3 persen. Kalau dalam kondisi normal, pertumbuhan 14,3 persen ini mustahil dapat tercapai.

Selanjutnya, Amerika Serikat tumbuh 12,2 persen, Jerman 9,2 persen, Peranciis 18,7 persen, Italia 17,3 persen, Spanyol 19,8 persen. Jadi, pertumbuhan ekonomi Indonesia 7,07 persen terlihat sangat rendah.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana Indonesia, dan negara-negara tersebut di atas, mencapai pertumbuhan ekonomi itu?

Indonesia terlihat jelas mengejar pertumbuhan ekonomi di masa pandemi ini. Memberi prioritas jauh di atas kesehatan. Dengan cara melonggarkan pembatasan sosial sebelum waktunya. Padahal tingkat penularan (positivity rate) masih tinggi. Khususnya pada Q2/2021. Mengundang masyarakat belanja lebaran (di tanah abang), membuka tempat wisata dan aktivitas ekonomi selebar-lebarnya. Terutama menjelang, dan pada saat liburan lebaran Mei lalu. Yang mana menciptakan kerumunan dan klaster Covid-19, demi mengangkat pertumbuhan ekonomi.

Hasilnya bisa dilihat sekarang. Sangat mengecewakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia harus dibayar mahal oleh rakyat Indonesia. Kasus baru terinfeksi harian naik tajam, menduduki peringkat satu dunia sejak 21 Juni 2021. Kasus kematian Covid-19 juga melonjak. Kasus kematian per 1 juta penduduk menjadi tertinggi dunia sejak 23 Juni 2021, sampai sekarang. Lebih tinggi dari India, Amerika Serikat atau Inggris.

Sepanjang Q2/2021, kasus positif Indonesia bertambah 43,5 persen. Jauh lebih tinggi dari negara-negara tersebut di atas yang berhasil meraih pertumbuhan ekonomi jauh lebih tinggi dari Indonesia. Kasus baru harian Singapore hanya bertambah 3,6 persen. Amerika Serikat 10,5 persen, Italia, Jerman, Perancis dan Spanyol masing-masing bertambah 18,1 persen, 31,4 persem, 22,7 persen dan 16 persen. jauh lebih rendah dari Indonesia.

Sepanjang Juli 2021, satu bulan setelah Q2/2021 berakhir, kasus baru positif harian Indonesia bertambah 57,9 persen. Sedangkan negara tersebut di atas sangat rendah. Tertinggi Spanyol dengan penambahan kasus baru harian 16,8 persen dan Perancis 6 persen. Negara lainnya jauh lebih rendah dari itu.

Untuk kasus kematian lebih menyedihkan lagi. Sepanjang Q2/2021 kasus kematian covid-19 Indonesia bertambah 43,2 persen. Negara lainnya jauh lebih rendah. Singapore hanya 20 persen, Amerika Serikat 9,5 persen, Italia, Jerman, Perancis dan Spanyol masing-masing bertambah 16,1 persen, 18,7 persen, 15,8 persen dan 7,2 persen.

Sepanjang Juli 2021, kasus kematian Covid-19 Indonesia bertambah 63,7 persen dari akhir Juni 2021. Sangat tinggi. Negara lain bisa menekan angka kematian Covid-19 di bawah 1 persen. Kecuali singapore dan Amerika Serikat. Masing-masing bertambah 2,8 persen dan 1,4 persen.

Data di atas menunjukkan, pengendalian pandemi dan kesehatan yang baik akan membuahkan pertumbuhan ekonomi yang baik.

Sebaliknya, mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kesehatan akan membuat pandemi tidak terkendali. Mangakibatkan pertumbuhan ekonomi kembali tertekan, menyusul PPKM sejak 3 Juli 2021. Pada akhirnya, kelompok masyarakat bawah yang paling menanggung kesulitan ini.

Selain itu, pembatasan sosial yang setengah hati membuat kasus baru harian akan sulit turun. Kecuali manipulatif. Dengan memainkan jumlah test dan komposisi test antara PCR versus antigen.

Semoga kegagalan pengendalian pandemi ini dapat menjadi pembelajaran. Semoga para pejabat mulai serius memikirkan bagaimana mengendalikan pandemi Covid-19 sebaik-baiknya: pertumbuhan ekonomi akan datang dengan sendirinya, kalau pandemi terkendali dengan baik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar