Terorisme
di Sinai dan Kegagalan Mesir
Ibnu Burdah ; Pemerhati Timur Tengah
dan Dunia Islam;
Dosen Fakultas Adab UIN
Sunan Kalijaga Jogjakarta
|
JAWA
POS, 28 November 2017
AKSI terorisme kembali terjadi di wilayah
Provinsi Sinai, Mesir. Tapi, serangan kali ini berbeda. Sebelumnya korban
aksi terorisme di daerah tersebut adalah para perwira, tamtama, atau
paramiliter Mesir. Jika bukan itu, kelompok-kelompok minoritas seperti Kristen
Koptik yang jadi sasaran.
Kali ini sasaran aksi teroris adalah jamaah
salat Jumat di masjid yang dikenal sebagai simpul kelompok sufi Jaririyah
Ahmadiyah. Sebuah kelompok sufi yang mengakar kuat di daerah pedesaan dan
gurun di provinsi tersebut. Korban serangan brutal itu sangat besar, mencapai
305 orang tewas. Sekitar tiga perempat dari jamaah salat Jumat itu meninggal
dan sisanya terluka. Mengingat jumlah penduduk Desa Al Rawdha, Bi’rul ’Abd,
sangat sedikit, masuk akal pula ketika ada yang menyebut tragedi itu sebagai
sebuah genosida.
Daerah Al Arish dan sekitarnya di Sinai
merupakan tempat tumbuhnya gerakan-gerakan ekstrem. Mulai kelompok-kelompok
ekstremis lokal, ”nasional”, hingga transnasional seperti ISIS (Tandzim Al
Dawlah) atau Al Qaeda (Tandzim Al Qaedah). Kelompok yang berafiliasi ke ISIS
sesungguhnya tumbuh karena persoalan lokal dan nasional; atau bilateral tapi
kemudian tertarik untuk berbaiat kepada pimpinan ISIS di Mosul.
Kelompok itu dahulu bernama Anshar Baitl
Maqdis yang kemudian bermetamorfosis menjadi ISIS Provinsi Sinai. Sedangkan
yang berafiliasi ke Al Qaeda adalah Brigader Abdullah Azzam dan Tawhid Al
Jihad. Masih banyak kelompok ekstrem lain di tempat tersebut yang mengusung
isu dan agenda yang beragam.
Mengapa militer Mesir gagal mengontrol
keamanan Sinai? Mengapa mereka dengan jumlah sekitar 50.000 personel itu tak
mampu mencegah terjadinya gelombang terorisme yang semakin brutal, khususnya
di masjid tarekat sufi tersebut? Bahkan, militer dan aparat keamanan di
wilayah itu justru sering jadi korban. Khusus di Masjid Al Rawdah itu, anasir
ISIS telah beberapa kali memperingatkan penduduk desa untuk tidak
berkolaborasi dengan pihak keamanan Mesir dan segera meninggalkan
praktik-praktik sufisme, termasuk peringatan Maulid Nabi yang dilaksanakan
Kamis malam, sehari sebelum kejadian, di masjid tersebut. Sebab, itu semua
dianggap bidah dan bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Dengan informasi tersebut, pihak keamanan
Mesir seharusnya lebih sigap dalam mencegah kemungkinan terjadinya aksi
terorisme di desa yang berada di jalur jalan besar antara Al Arish dan Bi’r
Al Abd ini. Seandainya intelijen Mesir bekerja dengan baik, tragedi
mengerikan itu seharusnya bisa dicegah.
Tak Komprehensif
Ahmad Salim, seorang pengamat Mesir asal Kota
Arish, menyebut kegagalan aparat keamanan mencegah gelombang terorisme di
Sinai sebagai akibat logis dari karakter rezim Mesir saat ini. Juga karena
pendekatannya yang militeristis dalam penyelesaian masalah Sinai. Sebagaimana
dimaklumi, karakter rezim di bawah pimpinan Jenderal Al Sisi adalah militer,
kendati pemerintahan ini juga menjalankan proses pemilu sebagai ”ritual”
demokrasi.
Karena itu, kebebasan berpendapat dan
berbicara menjadi barang sangat mahal di negeri tersebut. Padahal, kesadaran masyarakat
Mesir akan hak-hak mereka untuk menentukan nasib sendiri sangat tinggi. Itu
terbukti dengan kemampuan rakyat Mesir menumbangkan rezim Mubarak yang
berkuasa sekitar tiga dekade melalui gerakan rakyat.
Sistem pemerintahan militeristis di Mesir tidak
hanya membungkam oposisi. Tapi juga membungkam masyarakat, termasuk
kekuatan-kekuatan sipil dan kebebasan media massa. Khusus di Sinai,
situasinya lebih keras daripada suasana di Mesir secara umum. Sebab, status
daerah itu adalah kawasan perang. Militerisme di kawasan Sinai jauh lebih
represif daripada di kawasan-kawasan lain di Mesir. Kawasan tersebut
dikabarkan harus steril dari para jurnalis dan para pekerja di organisasi
internasional karena itu dianggap kawasan perang.
Akibatnya, solusi yang dikembangkan
pemerintahan tersebut terhadap masalah Sinai juga militeristis. Padahal,
persoalan Sinai sangat kompleks. Baik itu masalah ekonomi, ketidakadilan,
sangat rendahnya tingkat kesejahteraan, maupun sosial. Namun, cara yang
digunakan untuk penyelesaian Sinai bukan melalui pendekatan yang
komprehensif, tapi justru militeristis. Militer Mesir cenderung melakukan
hukuman kolektif setiap terjadi aksi kekerasan di kawasan tersebut. Aksi
penggusuran yang disertai pembongkaran tempat tinggal sering kali diambil
untuk menghadapi aksi kekerasan yang melibatkan segelintir warga. Padahal,
kebanyakan warga tidak terlibat.
Bisa dibayangkan, daerah yang jumlah
penduduknya tak seberapa itu harus menerima kehadiran sekitar 50.000 personel
militer, sebagian bersenjata berat. Sementara kelompok-kelompok bersenjata
juga tersebar di daerah tersebut, bahkan sebagian menyusup ke dalam
penduduk-penduduk desa. Dengan sikap represif militer Mesir dan situasi sulit
yang dihadapi masyarakat Sinai, tak mengherankan jika para pemudanya yang
frustrasi dengan keadaan memilih bergabung dengan kelompok-kelompok
ekstremis.
Bisa jadi itu bukan pilihan mereka.
Keadaanlah yang kemudian memaksa mereka mencari solusi atas persoalan
kompleks yang mereka hadapi. Dan kelompok-kelompok ekstrem tersebut
menawarkan solusi yang jelas kepada mereka, yaitu mengangkat senjata. Karena
itu, selama pendekatan militer adalah satu-satunya jalan yang diandalkan
sebagai solusi, sementara kesejahteraan dan keadilan untuk mereka tak
diberikan, persoalan ekstremis di Sinai akan sangat sulit diselesaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar