Jumat, 01 Desember 2017

Militer Harus Cegah Separatisme

Militer Harus Cegah Separatisme
Connie R Bakrie  ;  Pengamat militer
                                                   JAWA POS, 27 November 2017



                                                           
SOAL Papua, saya meyakini bahwa separatisme itu adalah bagian dari terorisme. Jadi, menanggulangi gerakan semacam itu, yang ingin memisahkan diri dari negara yang berdaulat, jelas-jelas sebenarnya memerlukan tentara. Dan memang harus gerakan tentara yang menangani persoalan seperti itu. Itu idealnya.

Tetapi, kita juga harus melihat begini. Dalam kondisi kita punya panglima yang tidak bervisi outward looking, tidak terlalu paham tentang isu-isu regional dan internasional, menurut saya, kita seharusnya agak bersikap bijak untuk menghadapi gerakan separatisme di Papua.

Saya sepakat mending mereka itu disebut gerakan kriminal bersenjata. Supaya yang turun adalah Polri saja dulu. Bahwa kemudian nanti Polri dibantu dari belakang, di-BKO-kan tentara dan pasukan khusus dari TNI, itu lain soal. Tapi, seharusnya yang dihadapi disebut sebagai kriminal bersenjata. Sehingga kita punya alasan kuat bahwa yang turun adalah gakkum (penegakan hukum) dan ketertiban.

Kalau dalam praktiknya dilakukan Polri, tetap saja pada akhirnya dukungannya akan datang dari TNI. Tapi, percaya saya, kalau itu dilakukan, mendahulukan sisi penegakan hukum, serangan diplomatik dari UN, serangan dari MIT University kayak Noam Chomsky kemarin, ataupun serangan-serangan dari Australia, dari Oxford University, atau dari mana pun itu, tidak akan terjadi.

Kalau kita sekarang mengedepankan militer, saya tanya, apakah kita sudah mempunyai kemampuan tempur yang benar-benar presisi, yang benar-benar tidak mungkin ada korban yang salah misalnya? Itu yang saya bilang tadi. Saya menyayangkan karena selama ini kan tentara tidak punya alasan untuk memperkuat diri dan memprofesionalkan diri secara revolusioner.

Kalau sampai kita tidak mampu, TNI belum mampu mengcounter isu tersebut dengan baik, PBB pasti akan bereaksi. Negara kita akan menjadi sorotan lagi akibat satu strategi yang tidak pas. Karena gerakan separatis itu kalau kita lihat memang kayaknya ditunggu-tunggu pihakpihak di luar sana. Terlalu lama terjadi pembiaran di situ sehingga mereka menjadi besar.

Karena itu, untuk Papua, saya sarankan sebenarnya kalimatnya jangan menggunakan kata separatis. Saya tidak sepakat jika disisipkan kata separatis di antara kalimat kelompok kriminal bersenjata.

Sekali lagi, saya ini pendukung utama tentara harus turun kalau namanya separatis. Tetapi, secara diplomatik, secara strategis, sekarang lebih baik kita namakan gerakan kriminal bersenjata tanpa ada kata separatis di dalamnya. Turunkan polisi untuk menghadapi mereka.

Jadi, mending masukkan saja gerakan separatis di Papua sebagai urusan penegakan hukum dan ketertiban. Kalau namanya gakkum, ketertiban, itu internal verse. Nggak bisa siapa pun dari luar ikut campur. Bahwa nanti kita deploy tentara lebih banyak untuk menghadapi mereka di lapangan, nggak masalah, karena di depan leading actor- nya adalah ketertiban. Yang menjadi dasar penindakan adalah pelanggaran hukum dan gangguan terhadap ketertiban oleh sekelompok orang yang bersenjata.

Papua is a very special case. Karena sudah terlalu besar dan menjadi sorotan dunia. Menurut saya, sudah telanjur terjadi pembiaran atas apa yang terjadi di Papua. Kita menganggap kecil, ah, cuma Oxford, tapi gerakannya itu masif dan itu terus berinteraksi. Akhirnya menjadi besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar