Setelah
100 Hari Berlalu
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS,
02 Februari 2015
SEBENARNYA, 100 hari bukanlah waktu yang cukup untuk
menilai kinerja pemerintahan baru, dalam hal ini Kabinet Kerja Presiden Joko
Widodo. Meski demikian, tidak salah juga jika kita coba menilai sepak terjang
pemerintah dalam 100 hari, untuk membuat impresi awal, apakah mereka cukup
menjanjikan ataukah tidak di kemudian hari? Gerak-gerik, bahasa tubuh,
gairah, antusiasme bekerja merupakan hal-hal mendasar yang tetap bisa
ditangkap dalam 100 hari pertama.
Di sektor perekonomian, saya menangkap kesan kuat bahwa
pemerintahan Jokowi memiliki karakteristik cukup sigap dalam mengambil
keputusan strategis. Puncaknya adalah keberanian menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) ketika umur pemerintahan belum sebulan. Hal ini mengesankan
karena keberanian tersebut harus dibayar dengan caci maki dan resistensi
sebagian kalangan. Namun, Jokowi berani melakukannya dan tegar menghadapi risiko.
Keputusan ini memang belakangan dipermasalahkan karena
harga minyak dunia kemudian anjlok drastis. Namun, pada saat itu, kita tidak
tahu bagaimana arah harga minyak dunia, apakah akan kembali naik karena
produsen terbesar Arab Saudi memangkas produksinya ataukah harga terus
meluncur karena temuan gas dan minyak serpih (shale gas atau shale oil) dalam jumlah masif di Amerika Serikat?
Ternyata Arab Saudi tak mau menurunkan produksinya, sementara cadangan minyak
serpih AS ternyata amat besar. Akibatnya, harga minyak jatuh. Kini harganya
cuma 50 dollar AS per barrel.
Karakteristik berani dan cepat mengambil keputusan juga
ditunjukkan Presiden Jokowi serta Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti yang menenggelamkan kapal asing pencuri ikan. Langkah ini
mengesankan karena negara bisa terhindar dari potensi kerugian Rp 300 triliun
per tahun. Ketegasan dan keberanian ini paralel dengan yang terjadi dalam hal
eksekusi hukuman mati bagi para bandar narkoba. Meski menuai protes keras
dari dalam dan luar negeri, eksekusi tetap dijalankan. Sekali lagi, kita
dibuat terkesima dan salut atas ketegasan ini.
Target penerimaan pajak Rp 1.221 triliun pada 2015 juga
layak diapresiasi. Meski saya menilai angka itu terlalu tinggi, target tinggi
menunjukkan komitmen untuk bekerja keras. Penahanan wajib pajak yang bandel,
meski belum sampai yang kelas kakap, juga positif untuk menimbulkan efek jera
dan meningkatkan penerimaan pajak.
Namun, sayangnya, karakteristik positif ini belakangan
buyar dalam hal pemilihan Kepala Polri. Jokowi sedemikian bimbang dan
terombang-ambing sedemikian rupa dalam tempo yang cukup lama, hingga saat
ini. Mingguan The Economist (24-30 Januari 2015) bahkan menuliskan dengan
nada pahit, ”Bagi para pendukungnya sekalipun, Jokowi kini mulai kehilangan
sebagian kilau sinarnya yang sebelumnya berpendar-pendar”.
Namun, Jokowi masih beruntung. Sejauh ini pasar belum
menghukumnya. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih perkasa di level 5.289
di akhir pekan lalu. Sebelumnya, IHSG bahkan menembus batas psikologis baru
di atas 5.300. Sementara rupiah memang melemah ke level Rp 12.600-an per
dollar AS. Namun, saya menduga, hal itu bukan disebabkan hiruk-pikuk Budi
Gunawan, melainkan lebih karena sentimen positif di AS yang menyebabkan
permintaan terhadap dollar AS meningkat.
Kembali ke perekonomian Indonesia, tahun 2015 akan
diwarnai oleh tiga hal positif. Pertama, dari pos subsidi BBM yang tidak
direalisasikan karena harga minyak dunia jatuh, pemerintah memiliki Rp 217
triliun untuk stimulus ekonomi. Angka ini suatu jumlah yang besar untuk
menggerakkan perekonomian, melalui jalur pembangunan infrastruktur, serta
pendanaan pendidikan dan kesehatan. Indonesia dan India merupakan dua negara
yang paling diuntungkan dengan penurunan harga minyak dunia. Karena itu,
pertumbuhan ekonomi 2015 di kedua negara diperkirakan naik dari tahun
sebelumnya.
Kedua, ancaman inflasi turun dengan drastis. Dalam dua
tahun terakhir, Indonesia mencatat inflasi 8,38 persen (2013) dan 8,36 persen
(2014) yang keduanya sama-sama disebabkan oleh kenaikan harga BBM. Tahun ini,
harga BBM dipastikan tidak akan naik drastis. Kalaupun naik, angkanya akan
diatur dalam kisaran sempit, mengikuti dinamika harga minyak dunia. Harga
minyak dunia diperkirakan hanya akan bergerak di kisaran 60-70 dollar AS per
barrel sehingga kecil kemungkinan akan mendorong inflasi. Perkiraan saya,
inflasi hanya akan mencapai 4-5 persen.
Ketiga, modal asing lambat laun akan kembali masuk ke
Indonesia. Membaiknya perekonomian AS memang menyebabkan pembalikan modal
global kembali ke New York. Akibatnya, bursa efek di sana kebanjiran modal
sehingga Indeks Dow Jones mencapai rekor baru di atas 18.000. Namun, itu
tidak berlangsung lama. Investor pun mulai rasional dan tidak menumpuk semua
aset di AS. Indeks Dow Jones akhir pekan lalu terkoreksi tajam ke 17.164.
Modal global mulai ditarik dari AS dan kembali mengalir ke negara-negara
dengan pertumbuhan ekonomi bagus (emerging
markets), termasuk Indonesia. Itulah sebabnya, IHSG di Jakarta kini mulai
merangkak naik tinggi.
Kombinasi antara tambahan stimulus fiskal, inflasi rendah,
dan masuknya modal global merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi 2015.
Saya perkirakan pertumbuhan ekonomi kita bakal mencapai minimal 5,5 persen
atau sedikit meleset dari target pemerintah 5,8 persen. Syaratnya satu:
Jokowi harus segera menghentikan karut-marut kasus pemilihan Kepala Polri
agar tidak menghilangkan selera investor masuk ke Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar