KPK,
Polri, Presiden ketika Drama belum Usai?
Andi Irmanputra Sidin ; Ahli Hukum Tata Negara
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Februari 2015
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi)
menyampaikan keterangan pers mengenai drama kisruh pengangkatan Komisaris
Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
dan penetapan tersangka terhadap dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di istana (18/2). Ada tiga poin penting dari keterangan
Presiden tersebut yang berkaitan dengan nasib konstitusi dan
konstitusionalisme atau pembatasan kekuasaan kita.
Hal pertama bahwa keluarnya
keputusan presiden (keppres) pemberhentian sementara pimpinan KPK. UU No
30/2002 tentang KPK memang menyebutkan bahwa dalam hal pimpinan KPK menjadi
tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya,
dan pemberhentian tersebut ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Pasal
ini merupakan pasal istimewa yang diberikan rakyat kepada pimpinan KPK guna
mengimbangi kewenangan KPK yang sudah di atas ambang batas
konstitusionalisme.
Ketika pimpinan KPK menjadi
tersangka, pada saat tanggal penetapan tersangka tersebut otomatis pimpinan
KPK kehilangan kedudukan hukum untuk bertindak secara kolektif kolegial
dengan pimpinan KPK lainnya, guna pelaksanaan kewenangankewenangan KPK,
terutama yang memiliki akibat hukum keluar. Pimpinan KPK yang ditetapkan
tersangka maka Presiden tidak punya pilihan lain kecuali hanya mengeluarkan
keppres pemberhentian sementara. Keppres ini untuk urusan administrasi, keuangan,
protokoler yang melekat kepada pimpinan KPK tersebut. Keppres ini juga
berguna memberikan jaminan kepastian hukum guna menyelamatkan institusi KPK
dari tuduhan ilegal ketika terdapat pimpinan KPK yang telah berstatus
tersangka, tetapi tetap ikut menandatangani atau mengambil keputusan terhadap
kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Hal ini berpotensi terjadi jika
pimpinan KPK tersebut dengan dalih keppres pemberhentian sementara belum
dikeluarkan, semua pihak yang merasa dirugikan atau berkepentingan akan
pelaksanaan kewenangan tersebut akan menganggap pelaksanaan kewenangan KPK
tersebut ilegal atau tidak sah. Oleh karena itu, keppres pemberhentian
sementara tersebut tidaklah sifatnya ‘pilihan’, tetapi kewajiban
administratif Presiden untuk segera memberikan bingkai kepastian hukum
deklaratif. Oleh karena itu, keluarnya keppres tersebut ialah langkah yang
sudah tepat dilakukan Presiden.
Keadaan mendesak?
Tentang Perppu pengangkatan
Pimpinan sementara KPK, hal ini secara konstitusional menjadi tanda tanya
apakah ada kegentingan yang memaksa negara menurut Pasal 22 ayat (1) UUD
1945, sehingga harus keluar perppu. Perppu sesungguhnya bukanlah hak
subjektif politik, melainkan terdapat syarat umum dan khusus harus terpenuhi.
Salah satunya bahwa terjadi keadaan mendesak, untuk menyelesaikan masalah
hukum secara cepat berdasarkan UU, tetapi UU belum ada sehingga terjadi
kekosongan hukum. Selain itu, ada UU, tetapi tidak memadai dan kekosongan
hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur
biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Keadaan yang mendesak
tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan (Putusan MK No 1-2/PUU-XII/2014).
Pertanyaannya, keadaan mendesak
apa yang terjadi dengan dua pimpinan KPK yang tersisa? KPK masih bisa
berjalan dengan dua pimpinan KPK yang akan mengambil keputusan dan itu sah
serta konstitusional karena dua pimpinan KPK tidak bisa mengambil keputusan
bersama karena keadaan di luar kehendak subjektif yang bersangkutan
(ditetapkan tersangka). Jika sesungguhnya keadaan mendesak itu mau dibedah,
fokusnya bukanlah pada jumlah pimpinan lembaga negara, melainkan
fungsi-fungsi kelembagaan negara. Jika KPK fungsinya ialah pemberantasan
korupsi, seandainya ada yang mempersoalkan legalitas pengambilan keputusan
dua pimpinan KPK tersisa, negara masih memiliki lembaga negara lain yang
memiliki fungsi yang sama (pemberantasan korupsi), yaitu kepolisian,
Kejaksaan Agung bahkan aparatur pengawas internal pemerintah bahkan masih
banyak lagi instrumen pencegahan korupsi. Jadi, sesungguhnya tidak ada
kegentingan yang memaksa menurut konstitusi sehingga `barang mahal' bernama
perppu, tidak boleh diobral oleh Presiden tanpa berpikir matang akan nasib
konstitusi di masa datang. Oleh karena itu, tidak ada urgensi konstitusional
(harus dibedakan urgensi politik) mengeluarkan perppu, apalagi menunjuk
pimpinan sementara KPK.
Hal penting terakhir ialah Budi
Gunawan tidak jadi dilantik karena alasan Presiden bahwa terjadi perbedaan
pendapat di masyarakat. Alasan ini sesungguhnya tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara konstitusional. Rakyat ketika sepakat dengan
membentuk negara demokrasi konstitusional dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang-undang dasar, sangatlah menyadari bahwa ketika kedaulatan disepakati
di tangan rakyat bukan di tangan penguasa yang dikultuskan sebagai dewa
langit, maka pelaksanaan kedaulatan itu akan menimbulkan perbedaan pendapat.
Namun, perbedaan pendapat ini harus ada ujungnya dan karenanya ditata dalam
aturan main mulai yang mendasar bernama UUD hingga UU berikut turunannya.
Prinsip negara hukum
Kita juga menyadari, jika semua
rakyat harus melaksanakan kedaulatannya atas semua keputusan negara, negara
ini tidak akan terakselerasi mencapai tujuannya. Bahkan negara bisa bubar
karena akan terus terjadi perbedaan pendapat sehingga keputusan tidak bisa
ditetapkan. Oleh karena itu, rakyat memilih mekanisme pemilu dengan mengirim
wakilwakilnya di parlemen tiap lima tahun guna memercayakan mekanisme
pengambilan keputusan yang perbedaan pendapat tidak boleh menjadi halangan
keberlangsungan fungsi-fungsi negara.
Oleh karena itu, Presiden tidak
boleh mengabaikan prinsip negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 cq
jaminan kepastian hukum akan terlaksananya fungsi negara (Pasal 28D UUD 1945)
hanya karena terjadi perbedaan pendapat di masyarakat. Presiden harus
berpedoman pada mekanisme pengambilan keputusan secara konstitusional, yakni
seluruh rakyat sudah menyepakatinya, bahwa keputusan konstitusional ada pada
pranata formal negara dengan segala mekanisme hukum yang ada jika masih
terdapat individu masyarakat yang masih berbeda pendapat.
Oleh karena itu, alasan perbedaan
pendapat untuk kemudian tidak melantik Kapolri bukan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Hampir seluruh rakyat yang berada dalam bingkai konstitusi negara hukum,
demokrasi dan konstitusi (Pasal 1 UUD 1945) sudah menyetujui BG sebagai
Kapolri dengan berbagai catatannya. Tidak ada alasan Presiden untuk tidak
menghormati dan menghormati daulat rakyat, konstitusi, dan DPR.
Sekitar 62 juta pemilih pada
Pilpres 2014 yang berbeda pendapat terhadap pasangan presiden terpilih
Jokowi-JK dan semuanya terdokumentasi secara sah di KPU. Namun, karena
perolehan suaranya (sepakat) sudah memenuhi syarat konstitusional, tidak ada
alasan bagi MPR untuk tidak melantik Jokowi-JK. Inilah konsekuensi aturan
main dasar (konstitusi) yang kita sepakati, bahwa perbedaan pendapat tidak
boleh menjadi halangan batal melantik Kapolri yang sah dan konstitusional.
Oleh karena itu, drama ini tentunya belum usai ketika DPR juga masih sepakat
bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD (Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar