Minggu, 22 Februari 2015

Keputusan Jokowi

Keputusan Jokowi

Refly Harun ;  Pakar Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 20 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Tugas pemimpin adalah memutuskan. Sesulit apa pun itu. Presiden Jokowi telah melakukannya dengan tidak jadi melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Jokowi memutuskan mengajukan calon baru Kapolri, Badrodin Haiti (BH), yang saat ini menjabat sebagai Wakapolri sekaligus pelaksana tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri.

Dalam pidato, Rabu (18/02/15), Jokowi menyatakan bahwa (rencana) pengangkatan BG sebagai Kapolri telah menimbulkan perbedaan pendapat di masyarakat. Maka, untuk percepatan ketenangan di masyarakat dan memperhatikan kebutuhan Polri untuk segera dipimpin Kapolri yang definitif, ia mengajukan BH sebagai calon Kapolri untuk mendapatkan persetujuan DPR.

Pro dan kontra, seperti biasa, selalu mengiringi setiap keputusan apa pun. Tak terkecuali soal Kapolri. Dari perspektif hukum tatanegara, sudah mulai ada yang bersuara bahwa Jokowi melanggar undang-undang, terutama UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Alasannya, nominasi BG sebagai calon Kapolri telah disetujui DPR. Tinggal kewajiban Presiden untuk mengangkatnya.

Benarkah Jokowi telah melanggar UU Polri? Saya termasuk yang sejak awal tidak sependapat bila Jokowi dinilai melanggar UU Polri bila tidak jadi melantik BG dan mengajukan nama baru. Dalam beberapa kesempatan, saya selalu mengatakan bahwa pengangkatan (dan pemberhentian) Kapolri adalah hak prerogatif presiden yang dibatasi oleh persetujuan DPR.

Pembatasnya hanya satu, yaitu presiden tidak boleh mengangkat calon Kapolri yang belum atau tidak disetujui DPR. Misalnya, secara tiba-tiba Jokowi mengangkat BH sebagai Kapolri, jelas tidak bisa. BH tetap menunggu persetujuan DPR terlebih dulu. Bila DPR setuju, BH dilantik. Bila tidak, Jokowi dapat mengajukan nama baru, atau melantik BG. Secara prosedural, BG telah disetujui DPR. Bila Presiden ingin melantiknya tidak ada halangan prosedural lagi karena persetujuan DPR sudah didapat.

Namun, presiden tidak bisa disalahkan atau dianggap tidak berwenang bila tidak jadi mengangkat atau melantik nama yang telah disetujui DPR. UU Polri tidak mengatur hal ini. Dari sisi logika, andai calon Kapolri yang telah disetujui tersebut ditolak masyarakat, apakah Presiden harus tetap melantiknya? Contoh lain, bila calon yang telah disetujui tersebut tertangkap basah melakukan perbuatan tercela (judi, mabuk, dan sebagainya), apakah tetap harus dilantik?

Hukum dibuat agar tercipta keteraturan. Bila yang dianggap menjalankan hukum justru memunculkan ketidakteraturan, protes di sana-sini, kriminalisasi, pembangkangan, dan lain sebagainya, maka hukum tersebut telah melenceng dari tujuannya. Hukum yang seperti itu tidak pantas lagi disebut hukum.

Dalam konteks rencana pelantikan BG, sudah sangat jelas telah memunculkan kontroversi serius di masyarakat. Banyak penolakan di masyarakat, diakui atau tidak. ‘Pembebasan’ BG dari status tersangka melalui putusan praperadilan hakim Sarpin Rizaldi tak juga menyurutkan masyarakat yang protes dan tidak setuju dengan pelantikan BG.

Putusan praperadilan itu sendiri belum membebaskan BG secara substantif dari tuduhan berekening gendut. Belum ada pengujian benar tidaknya dugaan tersebut. Putusan praperadilan hanya mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak berwenang menyidik BG lantaran BG bukan penyelenggara negara dan penegak hukum saat dugaan tindak pidana dilakukan.

KPK bisa saja menyerahkan penanganan kasus ini kepada kejaksaan atau kepolisian sehingga BG sewaktu-waktu dapat jadi tersangka kembali. Bahkan, bisa jadi BG akan menjadi tersangka lagi bila permohonan peninjauan kembali terhadap putusan hakim Sarpin dikabulkan Mahkamah Agung.

Kewenangan Konstitusional

Secara teoretis, karena UU Polri tidak mengatur mengenai boleh tidaknya tidak melantik calon yang telah disetujui DPR, Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dapat menentukannya sendiri berdasarkan kewenangan konstitusional yang dimiliki berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara.

Perlu dicatat, UU Polri menyatakan bahwa polri berada di bawah Presiden. Kapolri dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Jadi tidak seharusnya presiden ‘dipaksa’ untuk melantik seorang calon Kapolri yang sudah tidak diinginkannya lagi kendati yang bersangkutan sudah mendapat persetujuan DPR.

Dalam pandangan saya, persetujuan DPR bersifat pasif. DPR hanya menyetujui atau tidak menyetujui calon yang diajukan. Apakah calon yang disetujui tersebut bakal dilantik atau tidak, sepenuhnya terserah Presiden sebagai bagian dari hak prerogatif. DPR tidak berhak memaksa Presiden untuk melantik calon tersebut.

Seandainya dalam konteks BH, DPR menolak untuk mengadakan uji kelayakan dan kepatutan dengan alasan sudah menyetujui BG, berdasarkan UU Polri, BH dapat dilantik Presiden setelah lewat 20 hari setelah surat pengajuan diterima DPR. Waktu 20 hari tersebut tidak termasuk hari libur dan masa reses.

Dengan demikian, pilihan bagi DPR adalah mengadakan uji kepatutan dan kelayakan terhadap BH. Bila pengajuan BH disetujui, the game is over. BH akan menjadi Kapolri definitif. Setelah itu BH dapat dibebankan dua urusan penting. Pertama, melakukan audit internal terhadap kerja-kerja penyidik Mabes Polri dalam penetapan tersangka pimpinan KPK, termasuk penyidik dan pegawai KPK. Apakah betul yang dituduhkan bahwa telah terjadi kriminalisasi. Bila memang begitu, BH harus memerintahkan penyidik agar mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan.

Kedua, BH merestorasi hubungan dengan KPK. Restorasi hubungan KPK menjadi sangat penting karena baik Polri maupun KPK sama-sama penegak hukum yang seharusnya saling mendukung dan menghormati kerja-kerja penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Baik Polri maupun KPK tidak boleh disandera siapa saja yang mau memanfaatkan kedua institusi untuk menjadi tameng akan kejahatan yang pernah dilakukan.

BH mungkin akan dilematis menegakkan kebenaran yang sebenar-benarnya di kepolisian. Namun, seperti Jokowi, BH juga adalah pemimpin yang harus berani memutuskan. Sepahit apa pun itu.

Mudah-mudahan nominasi BH sebagai calon Kapolri berlangsung mulus di DPR – saya sendiri memiliki keyakinan yang demikian. Politisi dan elite sering hanya lantang di depan. Setelah waktu berlalu, negosiasi telah tercapai, suara pun bisa berubah menjadi merdu. Tidak ada makan siang gratis bagi politisi. Uang dan kekuasaan sering mengiringi setiap negosiasi. Panggung depan, yang kebanyakan diisi oleh politisi kelas serdadu, selalu lebih berisik dibandingkan yang di belakang panggung,yang dihuni para elite penentu.

Membatalkan pelantikan BG dan mengajukan BH sebagai calon baru Kapolri adalah sebuah keputusan yang tidak mudah bagi Jokowi. Ke depan, akan masih banyak lagi keputusan-keputusan yang harus diambil, dalam situasi di mana Presiden Jokowi, yang notabene bukan darah biru partai, bisa dijepit oleh semua kekuatan politik.

“I don’t know the key to success, but the key to failure is trying to please everybody,” kata Bil Cosby, aktor dari AS (1977). Keputusan Jokowi tidak mungkin menyenangkan semua orang, dan Jokowi memang tidak boleh melakukannya. Karena siapa pun yang berusaha menyenangkan semua orang pasti gagal dalam memimpin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar