Pengadilan
Sokrates
dan
Pesan Moral-Etis Kekuasaan Jokowi
Thomas Koten ; Direktur Social Development Center
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Februari 2015
BANYAK hal menarik yang dapat
dikerling dari konflik dua institusi, Polri dan KPK, yang berakhir de ngan
amar putusan praperadilan yang berisi penetapan tersangka terhadap Komjen
Budi Gunawan oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi tidak sah. Selain itu,
kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengangkat calon Kapolri baru
serta menyediakan Komjen Budi Gunawan pada posisi strategis lain.
Pertama, bagaimana sejatinya
meletakkan supremasi hukum di negeri ini sebagai roh demokrasi. Dengan
mengedepankan hukum di atas segala-galanya, segala praktik penyalahgunaan
kekuasaan harus dieliminasi.Kedua, bagaimana seorang penguasa bijak, dalam
hal ini Presiden Joko Widodo, memosisikan kekuasaannya di atas konstitusi dan
tatanan ketatanegaraan, bukan di atas gempuran opini publik yang berdasarkan
pada penafsiran tanpa landasan hukum.
Ketiga, gencarnya opini publik yang
berusaha memengaruhi keputusan presiden untuk segera membatalkan pelantikan
Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri, atau melantiknya tanpa menunggu hasil
sidang praperadilan. Yang terakhir ini mengingatkan kita pada pengadilan
rakyat terhadap Socrates, filsuf Yunani klasik 399 SM yang dikenal dengan
Pengadilan Heliast (Court of Heliast).
Esai ini mencoba mengelaborasi
etika Socrates sekaligus pesan moral Pengadilan Heliast yang dikaitkan dengan
keberanian Komjen Budi Gunawan dalam mempraperadilankan kasusnya, serta
bagaimana seorang presiden memainkan kekuasaannya secara etis-elegan.
Pengadilan Socrates
Socrates yang disebut sebagai
filsuf eudaimonia dan guru kebajikan itu dalam usia 70 pada 399 SM dihadapkan
ke sidang Pengadilan Heliast yang terdiri dari 501 warga Kota Athena yang
langsung bertindak sebagai hakim dan jaksa karena dianggap memiliki bukti
hukum. Karena semua hakim dan jaksa, yakni dari seluruh warga yang hadir,
ialah warga Athena, sering disalahartikan sebagai Socrates diadili parlemen
Yunani.Waktu itu juga belum ada parlemen dalam tata pemerintahan Kota Athena.
Intinya, Socrates dituduh
melakukan dua kejahatan. Pertama, tuduhan atas penolakan untuk menyembah dewa
resmi Yunani (impiety). Kedua,
tuduhan meracuni pikiran anak muda Athena dengan ajaran yang `menyesatkan' (corruption the youth), seperti
kebebasan menyampaikan pendapat, sehingga memengaruhi anak muda Athena untuk
membantah dan melawan orangtua mereka apabila dinasihati. Tuduhan-tuduhan
tersebut diperkuat ramalan kuil Appolo bahwa Socrates merupakan orang
terpandai dan hadiah dari para dewa untuk Athena.
Pada waktu itu tidak ada jaksa dan
hakim, dan masih berlaku pengadilan rakyat. Jadi, setiap warga Athena yang
merasa memiliki bukti bahwa seseorang telah melakukan kejahatan dapat menuntut
orang itu di hadapan Pengadilan Heliast. Socrates pun sudah mengetahui ia
tidak berpeluang lolos dari pengadilan dan bebas dari hukuman mati karena
sebagian besar hakim dan jaksa ialah musuhnya.
Ketika itu, majulah tiga penuduh (accuser) mewakili hakim dan jaksa
ke-501 warga Athena itu, yakni Anytus, Meletus, dan Lycin, dan membacakan
tuduhan-tuduhan itu. Atas tuduhan `tidak beragama', karena tidak menyembah
dewa, Socrates mudah menepisnya karena masalahnya tidak menyangkut kehidupan
mereka. Namun, tuduhan yang kedua sulit ditepis karena para pengadil sudah
bersikap antipati terhadap Socrates. Anak-anak muda yang dipengaruhi
pemikiran dan nasihat Socrates selalu membantah nasihat dan perintah
orangtua. Itu disebabkan Socrates melatih mereka untuk berpikir kritis.
Masalah dasar dari etika hukum
Socrates yang menjadi landasan etika kemudian, termasuk dalam kehidupan
demokrasi modern, ialah dalam tinjauan metaphysics. Kerelaan untuk mati
mencerminkan Socrates tidak gentar menghadapi dunia lain. Kepada kedua
kawannya, Simmias dan Cebes, pada saat menjelang pelaksanaan hukuman matinya,
ia berkata, “A man should take courage
when about to die, and be of hope, after leaving this life he will attain to
the gratest good younger (Orang
harus tabah menghadapi kematian dan patut mempunyai harapan baik bahwa
setelah meninggalkan hidup di dunia ini, ia akan memperoleh kebaikan terbesar
di dunia lain).“
Bahkan, pada saat sedang dalam
penjara menunggu hukuman mati, seorang muridnya, Crito, bermaksud menyuap
beberapa pejabat lembaga pemasyarakatan agar Socrates dapat melarikan diri.
Meski Socrates mengetahui segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya palsu
sebagai hasil rekayasa, karena itu ia pantas lari, itu tidak dilakukannya
karena dianggap melarikan diri dari penjara ialah suatu kejahatan terhadap
negara (crime against the state).
Lalu, apa motivasi luhur lain di
balik keberanian Socrates untuk mati itu? Jawabannya dapat kita lihat lewat
pleidoi, pembelaannya, dengan ungkapan, “Saya
tidak akan mengemis agar saya diberi pengampunan, tetapi saya akan memberikan
pencerahan (enlightenment) kepada Anda tentang tugas hakim dan berusaha
meyakinkan Anda untuk melaksanakan tugas ini secara bermartabat.“
Pesan moral-etis
Pelajaran yang dipetik dari
kematian Socrates ialah bahwa bagi Socrates, hukum harus dijadikan sebagai
landasan hidup bersama karena hukum dapat mengarahkan hidup warga seluruhnya
lewat penciptaan keadaan dan junjungan pada kebenaran. Bagi Socrates,
tindakan melawan hukum merupakan tindakan keji yang amat berbahaya bagi
keberlanjutan eksistensi negara.
Dalam hal ini, Socrates tidak
hanya berkhotbah, tetapi juga memberikan contoh, bahkan dengan mempertaruhkan
nyawanya sendiri demi kewajiban hukum dan kehormatan negara. Socrates juga
mengatakan pantang baginya untuk melecehkan hukum di negerinya. Karena tahu
hukum, wajib baginya menjalankan dan menghormatinya. Hanya orang lalim dan
bejat moral yang tidak mewujudkan apa yang ia tahu dalam perbuatan, hidup
terhormat lebih utama daripada materi.
Sayang, bahwa keberanian, ketaatan
pada hukum, dan hormat pada negara seperti yang ditunjukkan Socrates kerap
berbanding terbalik dengan berbagai peristiwa penyelesaian kasus hukum di
negeri ini. Banyak koruptor kelas kakap dan ahli suap serta tidak sedikit
para aparat penegak hukum yang mengkhianati hukum dan tidak berani menanggung
risiko hukuman dari tindakan melanggar hukum yang mereka lakukan.
Apakah kehadiran Komjen Budi
Gunawan di pentas praperadilan merupakan contoh kecil tentang masih ada sosok
`Socrates' masa kini yang berani menentang tuduhan-tuduhan publik yang
mungkin direkayasa?
Untunglah di tengah kegersangan
harapan kita akan tampilnya para pendekar hukum saat ini, masih ada figur
yang patuh pada hukum, terutama Presiden Jokowi yang lututnya tidak bergetar
menghadapi gempuran opini publik yang hadir bak
warga Athena dalam Pengadilan Heliast yang terus mendesak untuk segera
membatalkan dan atau melantik Komjen Budi
Gunawan tanpa menunggu proses hukum praperadilan.
Kita toh tetap berharap kiranya
masih ada penghormatan publik terhadap hukum, serta niat yang tulus untuk
terus mencari kebenaran menurut hukum, meski harus berhadapan dengan
tantangan dan rintangan yang berangkai-rangkai. Setidaknya, di situlah sebuah
pesan moral-etis hukum praperadilan dan kebijakan Jokowi dalam mengambil
langkah politik dalam kaitan dengan pengangkatan Kapolri baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar