Titik
(tak) Temu NU-Wahabi
Asyhari Masduki ; Aswaja NU Center Kepung Kediri
|
SUARA
MERDEKA, 21 Februari 2015
Tentu kita sepakat, mestinya umat bisa saling menghargai
pendapat satu sama lain tanpa harus menghujat, menghina, dan mencaci kubu
yang berbeda pandangan bila menyangkut khilafiyah. Pun demikian, pada titik
tertentu dalam soal prinsip sekalipun, ada etika perbedaan di sana. Tetap
harus dijaga.
Barangkali poin inilah yang dimaksud oleh Prof Ali Mustafa
Ya’qub dalam artikelnya di Republika, "Titik Temu NU-Wahabi", saat
hendak mempertemukan dua kubu yang selama ini tak pernah akur. Memang
seyogianya Muslim tak saling berseteru. Apalagi, bila melihat Protokol Zionis
No 7 yang sengaja ingin menciptakan kegaduhan di internal umat.
Hentikan pembid’ahan dan pengafiran Wahabi terhadap
Nahdliyin dan begitu pula hindari reaksi yang berlebihan kaum Nahdliyin atas
Wahabi. Reaksi itu ibarat asap, tak akan muncul tanpa api. Seandainya ada
tepo seliro saling memahami satu sama lain, tentu kehangatan akan terjalin.
Itu yang kita cita-citakan hingga detik ini.
Semangat yang sama juga ditegaskan oleh pendiri NU KH
Hasyim Asy’ari dalam karyanya, at-Tibyan
fi an-Nahyi ‘an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Mbah
Hasyim, begitu sapaan akrabnya, menegaskan permasalahan tidak prinsipil dalam
agama tidak menjadikan para sahabat dan ulama mujtahid pencetus mazhab empat
saling menyalahkan satu dengan yang lain.
Namun, Kiai Ali juga harus ingat, di balik sikap toleran
Mbah Haysim, ada ketegasan sangat luar biasa yang pada titik inilah ada
jurang pemisah antara NU dan Wahabi. Bahkan, nyaris sulit dipertemukan. Sikap
Mbah Hasyim ini pun bisa ditelusuri langsung dari karya-karyanya. Jumlahnya
lebih dari satu, untuk bisa disebut jamak dalam kaidah bahasa. Bukan dari
sumber referensi lain, atau ‘katanya-katanya’ seperti yang Kiai Ali pernah
singgung.
Dalam mukadimah at-Tanbihat al-Wajibat, Mbah Hasyim
menggarisbawahi urgensi purifikasi akidah (tanzih) terhadap dzat Allah SWT. Allah tidak menyerupai sesuatu
pun di antara makhluk-Nya. Allah tidak berfisik (jism) dan Mahasuci Allah
dari sifat-sifat jism.
Bandingkan dengan pendapat rujukan Wahabi, terutama Ibnu
Taimiyah yang meyakini paham tajsim (bahwa Allah adalah berupa benda) dan
meyakini bahwa Allah bertempat di atas singgasana (arsy). (Lihat, Syarh
Hadits an-Nuzul, Muwafaqah Sharih al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul dan Majmu’
Fatawa).
Dalam Bayan Talbis
al-Jahmiyah, Ibnu Taimiyah menulis, "Sesungguhnya
tidak ada penyebutan, baik di dalam Alquran, hadis-hadis Nabi, atau pendapat
para ulama salaf dan imam mereka yang menafikan tubuh (jism) dari Allah. Juga
tidak ada penyebutan yang menafikan bahwa sifat-sifat Allah bukan sifat-sifat
benda. Dengan demikian, mengingkari apa yang telah tetap secara syariat dan
secara akal; artinya menafikan benda dan sifat-sifat benda dari Allah adalah
suatu kebodohan dan kesesatan."
Penelusuran lebih lanjut di karya Mbah Hasyim juga muncul
ketidaksamaan dengan Wahabi yang sangat mendasar. Dalam Risalah Ahl as-Sunnah
wa al-Jamaah, Mbah Hasyim tidak segan-segan menghukumi kafir mereka yang
mengatakan bahwa alam ada sejak dahulu (azali) dan bersifat kekal. Artinya,
jika alam azali dan kekal, kita akan mengakui ada kekekalan lain selain
Allah. Sebab itu, keyakinan ini sangat berbahaya.
Sementara, Ibnu Taimiyah yang banyak dinukilkan oleh
kalangan Wahabi menyatakan jenis (al-Jins atau an-Nau’) dari alam ini tidak
memiliki permulaan, ia azaly atau qadim sebagaimana Allah azaly dan
qadim. Lihat Muwafaqah Sharih
al-Ma’qul Li Shahih al-Manqul, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah dan Majmu’
al-Fatawaj).
Perbedaan NU-Wahabi lainnya yang sangat jelas dan
menyangkut akidah, bukan persoalan khilafiyah adalah soal status surga dan
neraka. Mayoritas ulama sepakat dengan mengutip 60 ayat Alquran bahwa kehidupan
di surga dan neraka akan abadi, tidak akan punah. Ibnu Taimiyah dan muridnya
Ibn al-Qayyim berpendapat lain. Neraka akan punah dan bahwa siksaan terhadap
orang-orang kafir di dalamnya memiliki penghabisan. (Lihat Hadi al-Arwah Ila
Bilad al-Afrah dan ar-Radd ’Ala Man Qala Bi Fana al Jananh wa an-Nar).
Perbedaan NU-Wahabi ternyata tak terbatas pada tataran
ilmiah saja. Di level praktik dan pergerakan, keduanya berlawanan arah.
Komite Hijaz yang diketuai oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (embrio terbentuknya
NU pada 31 Januari 1926), menemui Raja Ibnu Sa’ud yang beraliran Wahabi untuk
mengajukan lima permohonan menyusul kebijakan yang cenderung mengerdilkan
aliran yang berbeda. Di antaranya, keterbukaan untuk keempat mazhab, bukan
hanya Wahabi dan pelestarian tempat bersejarah.
Maka tak heran, bila Mbah Hasyim dalam kitab Risalah Ahl
as-Sunnah wa al-Jama’ah telah mengidentifikasi di antara ahli bid’ah adalah
kelompok Wahhabi; para pengikut Ibnu Taimiyah dan kedua muridnya, Ibnu al
Qayyim dan Ibnu Abd al-Hadi serta pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab.
Akhirnya, setiap kita mendambakan keharmonisan, selama
tidak ada hujatan bidah, sesat, dan kafir terhadap siapa pun kelompok yang
berbeda. Jika hanya mencari persamaan tanpa mengungkapkan perbedaan yang
justru sangat mendasar akan sangat patut disayangkan karena kalaupun serupa,
tetapi tetap tak sama dan sulit dipertemukan.
Meski, seperti ungkapan Mbah Hasyim di atas, patut kiranya
kita saling menghargai satu sama lain tanpa harus mencela dan menghakimi.
Biarlah kendali itu ada di tangan-Nya, Sang Pemilik kebenaran sejati. Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar