Diplomat
Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
01 Maret 2015
Di Eropa, abad pertengahan,
hidup pandangan bahwa diplomat pertama di dunia ini adalah malaikat. Malaikat
diutus Tuhan ke dunia untuk menemui manusia. Cerita yang sama bisa kita baca
dari kisah para nabi. Namun, tentu, tidak setiap hari malaikat turun ke bumi.
Kata ”diplomat” berasal dari
bahasa Yunani, yakni diplõmátes, yang berarti ’pemegang surat
keterangan, ijazah’. Dalam hal ini bukan berarti selembar sertifikat, melainkan
surat akreditasi diplomat yang memungkinkan dia melaksanakan tugasnya atas
nama pemerintah atau institusi dalam yurisdiksi negara atau institusi lain.
Zaman dahulu, suku-suku
merundingkan perkawinan serta aturan perdagangan dan perburuhan. Untuk merundingkan
masalah-masalah itu, ada orang yang ditunjuk dan diberi tanda, bisa berupa
emblem atau lambang, atau tongkat, dan yang kemudian hari berbentuk sepucuk
surat. Itulah yang kemudian disebut letters
of credence, surat kepercayaan dari kepala negara tempat asal sang utusan
yang diserahkan kepada kepala negara di mana utusan ditempatkan. Dengan
membawa surat itu, seorang utusan, duta, mewakili negara dan pemerintahnya.
Sejarah mengungkapkan, ada
bukti-bukti bahwa pengetahuan tentang diplomasi berasal dari Timur Tengah,
Mediterania, Tiongkok, dan India. Catatan-catatan tentang diplomasi
antarnegara kota di zaman Mesopotamia bertarik 2850 SM. Itulah sebabnya,
bahasa Akkadian atau Babilonia menjadi bahasa diplomatik pertama yang
digunakan di Timur Tengah sampai digantikan bahasa Aramaik. Dari Mesir,
ditemukan bukti-bukti bertanda abad ke-14 SM yang mengungkapkan tentang
praktik diplomasi.
Dari dahulu hingga kini,
prinsipnya nyaris tidak berubah: seorang duta datang ke negara lain mewakili
pemerintah dan negaranya untuk meraih kepentingan nasional dalam panggung
internasional. Jadi, kepentingan nasional itulah yang mutlak harus
diperjuangkan oleh seorang diplomat. Karena itu, kadang terjadi bentrokan
kepentingan. Maka, seperti dikatakan Lord Palmerston (1784-1865), ”Tidak ada
kawan lawan yang abadi, kecuali kepentingan.”
Kepentingan nasional suatu
negara bermacam-macam: bisa kepentingan ekonomi ataupun politik. Namun, yang
tidak kalah penting adalah prestise. Yang perlu dicatat, prestise ini adalah
nilai yang harus diperjuangkan karena prestise menyangkut kedudukan negara di
panggung politik internasional. Diplomasi bisa dikatakan ujung tombak untuk
meraih dan mewujudkan kepentingan nasional di panggung internasional. Itu
berarti seorang diplomat, seorang duta besar, berada di paling ujung dari
ujung tombak itu.
Dalam konteks ini, bagaimana
kita melihat hubungan Indonesia-Brasil? Hubungan kedua negara dibangun atas
dasar prinsip kesetaraan karena kesetaraan adalah salah satu prinsip utama
dalam hubungan antarbangsa. Tidak ada bangsa dan negara yang lebih unggul
daripada bangsa dan negara lain.
Dengan demikian, hubungan
antarnegara mengarah ke persahabatan. Sikap bersahabat harus dijawab dengan
bersahabat pula. Cerita Meng Chi, utusan Kaisar Dinasti Yuan Kubilai Khan di
Tiongkok, yang dikirim ke Singosari, bisa menjadi contoh. Ketika Meng Chi
mengatakan bahwa Singosari harus tunduk kepada Tiongkok, marahlah Raja
Kertanegara. Kalau Tiongkok mau bersahabat, tentu diterima dengan senang
hati. Namun, ketika minta Singosari tunduk, sebagai balasannya, wajah Meng
Chi dirusak dan telinganya dipotong.
Artinya, sikap permusuhan harus
pula dijawab dengan sikap tegas, jelas, dan tetap berdasarkan prinsip norma
internasional hubungan antarbangsa. Kalau sikap kita tidak jelas, tegas, dan
berprinsip, kita akan direndahkan.
Menjawab tindakan Pemerintah
Brasil terhadap calon Duta Besar RI Toto Riyanto, yang mendadak pada saat
akhir diberi tahu bahwa penyerahan surat kepercayaan kepada Presiden Dilma
Rousseff ditunda, Presiden Jokowi mengatakan, ”Ini masalah kehormatan dan
martabat kita sebagai bangsa.”
Karena itu, apakah cukup dengan
menarik Dubes Toto? Memanggil Dubes Brasil ke Kementerian Luar Negeri?
Mengirim nota diplomatik, protes keras? Hans Joachim Morgenthau (1904-1980),
ahli dalam studi hubungan internasional, dalam salah satu bukunya, Politics Among Nations, kira-kira
mengingatkan, apabila suatu negara tidak tegas dan jelas dalam merespons
serta menyikapi tantangan dari luar, taruhannya adalah citra dan status
negara.
Menteri Luar Negeri Retno LP
Marsudi memang sudah mengatakan, ”Indonesia akan menilai kembali semua aspek
hubungan bilateral dengan Brasil.” Namun, apakah kita tidak perlu menurunkan
tingkat hubungan diplomatik kalau Pemerintah Brasil tidak berubah sikap? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar