Donald
Trump pun Menjabat Tangannya
dengan
Terpingkal-pingkal
Dahlan Iskan ; Mantan
CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 02 Februari 2015
INILAH dialog dua sahabat beda agama tentang perkenalan
pertama mereka yang kurang menyenangkan. Ini terjadi di New York, antara
tokoh Islam terpenting dan tokoh Yahudi tertinggi di kota itu. Tidak
disangka, dua tokoh itu kemudian menjadi partner penting dalam sama-sama
menciptakan kerukunan antarumat beragama.
Mereka terus tampil bersama di berbagai negara sebagai simbol
perdamaian antara umat Islam dan Yahudi. Setiap mengingat lagi perkenalan
pertama yang tidak mengenakkan itu, keduanya merasa geli. Saat itu New York
memang lagi gawat. Tragedi 9/11 baru saja terjadi. Umat Islam New York
terpojok oleh kasus terorisme itu.
Untuk meredakan ketegangan, wali kota New York
mengumpulkan tokoh dari semua agama. Saat itulah tokoh Islam tersebut
berusaha menyalami semua tokoh di situ. Tapi, tiba giliran menyalami tokoh
Yahudi, yang dia terima sikap tidak bersahabat. Mau bersalaman, tapi tidak
mau menatap wajah. Suatu saat, ketika keduanya sudah menjadi sahabat karib,
soal itu mereka bicarakan. Inilah dialog itu.
”Kenapa waktu saya ajak bersalaman dulu Anda melengos?”
tanya sang tokoh Islam sambil tersenyum.
”Maafkan. Waktu itu saya tidak menyangka Anda itu pemimpin
yang mewakili Islam,” jawab sang tokoh Yahudi. ”Anda kan bukan Arab. Tidak
berjenggot,” katanya. ”Saya pikir Islam itu mesti Arab,” tambahnya.
Memang tokoh Islam tersebut jauh dari gambaran Arab.
Tubuhnya kecil (berat badannya 50 kg dengan tinggi 165 cm). Juga tidak
bergamis dan tidak berjenggot. Selain itu, bibirnya terus menyunggingkan
senyum. Dia memang bukan Arab sama sekali.
Jangan kaget: Dia orang Indonesia asli. Namanya Shamsi
Ali. Asalnya Sulawesi Selatan. Tepatnya dari pelosok Desa Tana Toa, lima jam
perjalanan mobil dari Makassar. Dua kali saya bertemu Ustad Shamsi Ali.
Pertama di Washington, saat saya ikut mendampingi Bapak Presiden SBY yang
menginginkan bertemu sang ustad. Kedua, di Jakarta minggu lalu. Saya
berdiskusi panjang saat beliau berkunjung ke tanah air bersama Rabi Marc
Schneier, sang tokoh Yahudi. Dua kali pula saya membaca bukunya yang sangat
menarik, yang dialognya saya kutip di atas. Buku berjudul Anak-Anak Ibrahim (Sons of Abraham) itu ditulis bersama
oleh Ustad Shamsi dan Rabi Schneier. Yang memberikan kata pengantar Bill
Clinton.
Bagaimana putra Tana Toa itu bisa jadi imam besar di New
York juga diceritakan di Anak-Anak Ibrahim dengan menarik. Dia lahir di desa
yang amat terbelakang. Saat dia lahir, penduduk desa itu, termasuk
bapak-ibunya, memang beragama Islam, tapi lebih percaya takhayul. Sekarang
pun masih ada penduduk Tana Toa yang naik hajinya bukan ke Makkah, melainkan
ke sebuah bukit di desa itu. Bahkan, mereka percaya bahwa Nabi Muhammad lahir
di Tana Toa. Belum lama ini, kata Ustad Shamsi, tokoh desa itu ditawari naik
haji secara gratis. Dia menolak. Naik haji itu, katanya, cukup ke Tana Toa.
Ini mirip dengan yang terjadi di Kabupaten Gowa, juga di Sulsel. Tiap tahun
ratusan orang naik haji ke Gunung Bawakaraeng.
Shamsi terbebas dari budaya itu karena begitu tamat SD
langsung bersekolah di SMP/SMA Islam di Makassar. Lalu dapat beasiswa untuk
kuliah di Islamabad, Pakistan. Sambil meneruskan S-2, Shamsi mengajar di
Islamabad. Ketika sebuah sekolah di Jeddah, Arab Saudi, mencari guru yang bisa berbahasa Arab dan Inggris,
Shamsi melamar. Gajinya besar dan dolar.
Tentu dia senang bisa bekerja di Arab Saudi. Bisa sekalian
naik haji. Tapi, dia juga merasa tertekan. Pemikiran keagamaan di Arab Saudi
sangat eksklusif dan tekstual. Banyak contoh dia kemukakan di buku itu. Dia
berontak. ”Islam itu terbuka dan inklusif. Tapi, ini kaku dan eksklusif,”
tulisnya. Praktik seperti itu, katanya, cenderung membuat orang agresif.
”Saya tidak menyebutnya radikal atau ekstrem,” katanya, menghaluskan istilah.
Lalu, terjadilah serangan teroris di New York yang dikenal
sebagai 9/11 itu. Umat Islam terpojok. ”Saya sedih, bingung, malu,” ujar
Ustad Shamsi. Istrinya yang berjilbab tidak mau keluar rumah. Masjidnya di
Queen dia tutup tiga hari. Tapi, tetangga Shamsi yang Katolik justru
membesarkan hatinya. Sang tetangga mendatangi rumahnya. Merangkulnya.
Memberikan dukungan moral. ”Saya tidak percaya Islam mengajarkan itu,”
katanya kepada Shamsi.
Teror tersebut memang amat jauh dari penampilan Shamsi
yang dia kenal sehari-hari: ramah, selalu tersenyum, dan suka menolong
tetangga.
Shamsi akhirnya terpanggil untuk berani tampil menjelaskan
apa itu Islam. Dia pun mengutuk teror tersebut. Berbagai forum dia manfaatkan
untuk menjelaskan Islam. Gereja, sinagoge, dan pemerintah mengundangnya.
Termasuk forum yang dihadiri Presiden Bush. ”Anda bayangkan betapa kikuknya
saya. Dalam suasana duka seperti itu, saya harus bersalaman dengan Presiden
Bush,” katanya. Akhirnya, dia beranikan bicara kepada presiden yang lagi
geram itu. ”Mohon Bapak Presiden menjelaskan bahwa Islam tidak seperti itu,” katanya
kepada Presiden Bush. Hari itu, di Ground Zero. Presiden tidak mengatakan
itu. Tapi, keesokan harinya, di Washington, Presiden Bush mengatakan apa yang
diinginkan Shamsi.
Shamsi lantas juga mengundang berbagai kalangan ke
masjidnya. Termasuk Wali Kota New York Bloomberg. Saat tiba waktunya salat
berjamaah, Shamsi mempersilakan wali kota duduk di kursi yang sudah
disediakan di pinggir masjid. ”Ternyata wali kota Bloomberg mau ikut salat di
belakang imam,” tutur Shamsi. ”Beliau mengikuti seluruh gerakan salat kami,”
tambahnya.
Tentu pandangan negatif terhadap Islam masih terus
terjadi. Ketika pengusaha besar New York Donald Trump ingin maju sebagai
calon presiden menghadapi Obama, wartawan minta pandangannya tentang Islam.
”Islam itu berbahaya,” ujar Trump yang disiarkan media.
Ustad Shamsi ingin meluruskan itu. Dia minta waktu untuk
bertemu dengan Donald Trump. Pertemuan dijanjikan di lantai paling atas Trump
Tower di dekat Central Park New York. Begitu tiba di ruangan Trump, Shamsi
kaget terheran-heran. Sambil menjabat tangan Shamsi, Trump tertawa
terbahak-bahak. Tidak berhenti-berhenti pula. ”Baru sekali ini saya bertemu
orang Islam yang wajahnya sejuk dan tersenyum terus,” kata Trump.
Saya ikut tertawa lebar saat mendengarkan Ustad Shamsi
mengulangi kisah itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar