Rabu, 16 September 2015

Obat penguat

Obat penguat

Samuel Mulia  ;  Penulis Kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 13 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Saya membaca tulisan duka lara seorang istri yang ditinggal suaminya meninggal secara tiba-tiba di sebuah media sosial. Curahan dan luapan emosinya yang tak terbendung itu memampukan air mata saya berlinang.

Daging dan ruh

Ada dua hal yang menarik dari membaca tulisan lara itu. Tulisan sang istri dan mereka yang mengirimkan ucapan belasungkawa. Ada berbagai bentuk ekspresi rasa dukacita. Ada yang supersingkat, jelas, tepat dengan hanya menulis RIP tanpa embel-embel apa pun sampai yang panjang dan menyayat hati.

Membaca ucapan dukacita superpendek berupa tiga huruf, saya sungguh tak tahu alasannya. Apakah yang bersangkutan tak berdaya mendengar berita dukacita yang tiba-tiba datangnya sehingga tak mampu ”berpikir panjang” atau mereka mengenal almarhum sebatas teman biasa. Kalau kemudian Anda bertanya, apakah dengan menulis ucapan dukacita sesingkat itu mereka sejujurnya merasa kehilangan atau tidak, saya juga tidak tahu.

Sementara itu, ketika saya membaca ucapan dukacita yang panjang dan menyayat hati, saya membayangkan mbak penjual nasi rames yang meracik segala jenis lauk-pauk dalam satu piring. Mereka menuliskan kenangan bersama almarhum, kebaikan-kebaikan almarhum selama hidupnya, dipadukan dengan ayat-ayat penghibur. Beberapa di antaranya berbagi cerita tentang masalah kehilangan yang sama, yang telah mereka alami sebelumnya.

Dari hasil membaca ungkapan dukacita itu, keduanya memberikan ”obat penguat” dengan tujuan agar istri almarhum mendapatkan kekuatan dan tidak jatuh terpuruk dalam kesedihan yang mendalam dan berlarut-larut.

Namun, pada waktu yang bersamaan, saya bertanya. Dari dua jenis cara mengekspresikan rasa belasungkawa itu, yang mana yang paling mendekati bijak bagi si penerima? Yang singkat, jelas, dan tepat atau yang panjang dengan segala cerita di dalamnya?

Dari apa yang saya baca, tulisan sang istri adalah yang paling menarik. Sebuah tulisan lara yang mencerminkan pergumulan antara dirinya sebagai manusia daging dan sebagai manusia ruh. Ia mengeluh, kemudian meyakinkan dirinya bahwa Tuhan akan memberi kekuatan. Kemudian mengeluh lagi, dan meyakinkan dirinya lagi. Demikian seterusnya.

Tepat waktu, tepat takaran

Setelah membaca tulisan pergumulan daging dan ruh ini, saya berpikir, mungkin suatu hari ketika saya berkeinginan menunjukkan rasa dukacita dalam bentuk tulisan, apalagi ditulis di media sosial, dasar tulisan yang harus saya gunakan adalah pergumulan daging dan ruh dari seseorang yang kehilangan. Bukan sebuah ungkapan belasungkawa yang mirip sebuah khotbah seorang pendeta atau nasihat dokter kepada pasien yang sedang sekarat.

Beberapa tahun lalu, ayah dan ibu saya meninggal. Dalam situasi seperti itu, kalimat penghibur tak memberi efek apa pun. Penghiburan tidak, kekuatan pun tidak. Apalagi kalau disampaikan pada hari kejadian, ketika kepala terasa kosong melompong, ketika badan terasa lemas setengah mati dan luluh lantak.

Perasaan sedih, kecewa, marah, tidak bisa menerima keadaan, semua bercampur aduk menjadi satu. Dan di saat itu, saya hanya ingin dibiarkan menjadi manusia daging yang lemah lunglai, yang memaki-maki, yang berteriak, yang tak perlu sampai harus bersandiwara memainkan peran sebagai manusia daging dan manusia ruh.

Saya ingin dibiarkan berpikir bahwa hidup adil itu adalah kebohongan terbesar yang pernah disuarakan oleh manusia. Saya ingin dibiarkan menjadi manusia yang memercayai Tuhan itu pemberi kekuatan, tetapi saya tetap tidak merasakan kekuatan saat itu.

Kondisi semacam itu bisa berlarut atau cepat berlalu, bergantung pada tiga hal. Pertama, waktu kejadiannya. Kedua, penyebab kejadian. Dan terakhir, yang paling menentukan adalah kekuatan orang yang menerima kejadian itu. Saya menangis terisak, adik saya menangis pun tidak. Dan itu yang malah membuat ayah menjadi kedernya setengah mati.

Kalau kembali kepada pertanyaan saya di atas, ucapan belasungkawa manakah yang paling bijak? Kalau saya boleh menjawab pertanyaan sendiri, jawabannya, kebijakan terbesar adalah membiarkan saya menjadi manusia daging yang sesungguhnya. Biarkan saya lara dan luluh lantak.

Manusia daging tak akan bisa menerima obat penguat yang diberikan melalui ucapan penghibur dan nasihat yang menguatkan di saat mulutnya saja tak bisa membuka. Manusia daging harus mencapai keadaan yang benar tak berdaya sebelum ia bisa menerima apa yang diberikan ruh melalui kalimat-kalimat dan nasihat penghiburan.

Karena sejujurnya, lara yang paling meluluhlantakkan adalah ketika semua acara dukacita itu berakhir dan saya harus memulai hidup tanpa mereka yang tercinta itu. Maka, mungkin dibutuhkan kepekaan yang sangat ketika seseorang hendak memberikan obat penguat. Kepekaan itu diperlukan untuk memberikan obat penguat yang tepat waktu dan tepat takaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar