Rambut Emas Donald Trump
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
JAWA
POS, 17 September 2015
Minggu ini adalah
minggunya Donald Trump. Bukan karena politisi Indonesia yang berebut selfie
dan berjabat tangan dengannya diajang kampanye calon presiden Amerika
Serikat, melainkan karena ia menjadi pembicaraan di seluruh dunia.
Minggu lalu (5
September 2015) rambut emasnya juga muncul di sampul depan majalah
berpengaruh di Amerika: The Economist. Rambut yang mirip wig, berwarna
menyala, diangkut dengan helikopter perang ke area dekat Gedung Putih. Heli
hitam itu bertuliskan identitasnya: Trump.
Siapa yang tak kenal Trump?
Ia hadir bersama
pasang surutnya perekonomian Amerika, bak koboi Texas yang kaya raya, dan
arogan. Selain dikenal sebagai raja properti yang jatuh-bangun, raja judi, ia
juga host program TV The Apprentice.
Tetapi Mengapa Rambut?
Rupanya gambar rambut
itu tengah ramai dibicarakan di Amerika. Trump tentu tak menginginkan
gunjingan itu karena warnanya disamakan dengan bulu orangutan yang coklat
kemerah-merahan. Tetapi mungkin ini adalah karma perbuatan Trump sendiri.
Sama halnya dengan
karma yang terjadi dan akan terus dialami politisi-politisi kita yang gemar
menghujat dan bermulut besar, ia juga suka main ancam, mengirim somasi, dan
asal bicara untuk mengumbar syahwat kekuasaannya.
Trump memang hebat,
kaya dan sukses. Di program TV The Apprentice ia terlihat powerfull. Kalau
calon CEO yang ia cari melalui program itu dinilainya kurang cakap, maka
dengan mimik “garang” ia menghardik: “you are fired!"
Tapi berkat
kepiawaiannya sebagai CEO dan host TV, banyak teman yang berujar: “I love
Donald Trump.” Padahal minggu lalu yang muncul adalah cacian terhadap
politisi-politisi Senayan yang selfie dengannya. Ya itu Donald Trump, bukan
Donald Duck.
Tetapi mengapa
rambutnya disamakan dengan orangutan?
Itu tentu akibat Bill
Maher, komedian cerdas Amerika yang memiliki jutaan penggemar. Maher terusik
karena bully yang terus menerus disampaikan Trump pada Presiden Barack Obama.
Karena syahwat ingin
berkuasa begitu kuat, Trump pun rela mengayunkan kampak positioning-nya ke gedung putih. Pertama, ia meragukan ke
Amerikaan Presiden Obama. Lalu, ia juga meragukan kecerdasannya. Maklum,
sejak dulu, ada kecenderungan diskriminatif, “White Supremacy”.
Terhadap issue
pertama, ia menantang Obama untuk menunjukkan akte kelahirannya. Dan bila
ada, ia bersedia membayar lima juta dolar. Terhadap issue murahan ini, Obama
tenang-tenang saja. Karena didiamkan ia merangsek pada issue kedua: Transkrip
nilai selama kuliah. Trump ingin membuktikan bahwa sekalipun lulusan Columbia
dan Harvard, orang kulit hitam pasti tak cerdas. Obama lagi-lagi tak
terpancing.
Tapi kini bola ada di
tangan para komedian. Mereka mengulasnya dengan jokes-jokes cerdas dan muncullah
Bill Maher dengan tema bulu orangutan tadi. Ia pun bertaruh.
“Kalau saja Trump bisa
membuktikan bahwa ia bukan anak orang utan maka saya akan membayarnya 5 juta
dollar, “ujarnya dalam sejumlah program komedi televisi.
Jokes Maher, diluar
dugaan saya, disambut oleh Trump yang mengirim buktinya, berupa akte
kelahiran. Hebohlah Amerika. Maher terus menggorengnya.
“Itulah mengapa saya
katakan orang ini tidak cerdas,” ujarnya di televisi. Ini panggung Jokes,
tetapi ia menjawabnya dengan penuh arogan dan serius. Pakai lawyer pula.
“Saya tuntut kau,”
ujar Trump. Ia pun mengirimkan somasi yang ditandatangani lawyer-nya. Mirip
sekali dengan politisi-politisi kita, bukan? Ya begitulah.
Alhasil, jokes
mengenai rambutnya yang disetarakan dengan rambut orang utan beredar semakin
luas. Anda juga bisa melihat rekamannya di youtube.
Anti Imigran
Sejak awal, Trump
memang sudah siap dengan kampak positioning-nya
yang anti pendatang. Pertama, ia menuding para imigran dari Amerika Latin
sebagai drug dealer. Kedua, ia
menyerang China yang dianggapnya mencuri kekayaan ekonomi Amerika. Ketiga,
negara-negara Islam yang dianggapnya menguasai minyak.
Tentu saja semua itu
membuat para imigran gerah. Kalau sentimen ras itu terus digulirkan tentu
dapat memicu kebencian dan diskriminasi. Semua itu bertentangan dengan
kebijakan Barack Obama yang tengah berupaya keras memperbaiki citra Amerika.
Lagi pula siapa sih
bangsa Amerika kalau bukan para imigran? Itu sebabnya majalah The Economist menurunkan cover story-nya tentang Trump dan
mencatat: Bahaya bila Amerika diserahkan pada orang ini.
Saya tak tahu apa yang
ada dalam perasaan Anda masing-masing di negeri yang kita cintai ini, yang
saya tahu kita semua sedang menghadapi tekanan eksternal yang luar biasa.
Rupiah kita terpuruk sebaik apapun kerja keras kita.
Hidup kita terasa
penuh ancaman, apalagi kita sudah terlanjur doyan jalan-jalan dan belanja
barang impor. Kita menjadi bangsa pengunyah dollar. Tetapi apapun yang
terjadi hidup ini harus terus digerakkan ke depan dengan kemandirian baru.
Dan hari-hari semakin
menyesakkan, bukan karena mereka selfie bersama Trump, melainkan karena kita
begitu letih menonton jago-jago kandang yang arogan, yang hanya bisa
menyerang, mengancam-ngancam somasi, berbalasan-balasan.
Kata Eleanor
Roosevelt, “Small brain discuss people,
but big brain discuss ideas”. Ayo ubah percakapan, kita bicarakan
gagasan. Pusing saya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar