Polemik Proyek 35.000 MW
Nengah Sudja ; Kepala LMK Litbang PLN 1993
|
KOMPAS,
16 September 2015
Opini Liek Wilardjo di
Kompas (11/9/) diawali pernyataan: ”Ekonom
yang baru saja menjadi Menko Kemaritiman Rizal Ramli menilai target
pembangunan pembangkit tenaga listrik 35.000 MW terlalu ambisius untuk
diselesaikan 2019. Apalagi kalau ditambah ’tunggakan’ 7 GWe yang tidak dapat
dirampungkan pemerintahan Presiden SBY”.
Ditambahkan pula dalam
artikel itu bahwa pandangan seperti itu sudah pernah saya kemukakan sebelum
megaproyek ini dicanangkan Presiden Joko Widodo. Kalaupun dari segi dana,
pembebasan lahan, amdal, dan perizinan tidak ada masalah, waktunya jelas
tidak cukup.
Kuantifikasi jadwal
waktu pembangunan merupakan masalah rutin yang dilakukan para pengembang
proyek, baik PLN maupun swasta (IPP). Tujuannya, agar perencanaan tahapan
proyek dapat dirancang sehingga proyek dapat diselesaikan sesuai target.
Sayangnya, dalam hal proyek 35.000 MW, para pengembang proyek terkesan segan
dan takut berterus terang bahwa membangun dalam jumlah sebanyak itu dalam
waktu lima tahun sukar terpenuhi. Selain menghadapi masalah teknis
pembangunan, bangsa ini juga terperangkap dalam masalah budaya, yaitu tidak
berani berbeda pendapat dengan pimpinan. Apa yang dikatakan pimpinan dianggap
benar dan tidak bisa dibantah.
Dalam hal pembangunan
kelistrikan, para insinyur yang seharusnya piawai berhitung ditaklukkan para
politisi. Contohnya bisa dilihat dari proyek 10.000 MW tahap I, 10.000 MW
tahap II, dan kini proyek 35.000 MW. Persoalan mental budaya inilah yang
perlu diperbaiki kalau bangsa ini ingin maju. Selain masalah jadwal
penyelesaian proyek, penting juga dibahas berapa besar sebenarnya kebutuhan
listrik ke depan. Apakah benar kita butuh 35.000 MW untuk periode 2015-2019
dan 70.400 MW untuk 2015-2024 seperti dalam rencana usaha penyediaan tenaga
listrik (RUPT)? Apakah besaran ini dapat didiskusikan kembali di depan publik
sebagai jawaban atas kritik Rizal Ramli?
Angka riil kebutuhan
Sesuai paparan target pembangunan
pembangkit listrik 35.000 MW yang disampaikan Kementerian ESDM dalam sebuah
forum diskusi di BPPT (2/9), daya terpasang pada 2015 sebesar 53.535 MW dan
pertumbuhan listrik rata-rata 8,7 persen per tahun periode 2015-2019.
Sementara statistik PLN 2014 menyatakan, beban puncak mencapai 33.321 MW. Ini
berarti rasio daya terpasang terhadap beban puncak 1,61. Jika dipakai rasio
cadangan cukup andal sebesar 1,30, berarti awal 2015 terjadi kelebihan
pasokan (oversupply) 31 persen.
Dari uraian Kementerian
ESDM tersebut dapat dihitung kebutuhan daya terpasang dengan menghitung
perkiraan beban puncak pada 2019 dengan mengacu pada pertumbuhan 8,7 persen
per tahun, akan menjadi sebesar: (1+0,087) 5 x 33.321 MW = 50.567 MW. Jika
dipakai besar cadangan andal 30 persen, kapasitas daya yang diperlukan: 1,30
x 50.567 MW = 65.737 MW. Jika daya terpasangtersedia 2019 tetap 53.535 MW,
tambahan kapasitas daya yang diperlukan 2015-2019: 65.737 MW - 53.535 MW =
12.202 MW.
Dari perhitungan itu,
kebutuhandaya terpasang 2015-2019 cukup 12.202 MW untuk mendukung tingkat
pertumbuhan rata-rata 8,7 persen per tahun. Jadi, bukan 35.000 MW ataupun
35.000 MW + 7.400 MW. Tambahan kapasitas 12.202 MW diperkirakan dapat
ditalangi dari rencana pembangunan proyek dalam tahap konstruksi sebesar
7.400 MW. Dengan demikian, akan ada kekurangan daya 12.202 MW - 7.400 MW =
4.802 MW. Menurut Menko Kemaritiman Rizal Ramli, yang dapat dibangun pada
2015-2019 sebesar 16.000 MW. Jika ini dapat diwujudkan, akan ada kelebihan
pasokan 16.000 MW - 12.202 MW = 3.798 MW. Kalau begitu cukup bagus, ada
kelebihan cadangan, tetapi tidak terlampau besar.
Jika analisis
dilanjutkan untukkurun waktu RUPTL 2015-2024, akan diperolehbeban puncak pada
2024: (1+0,087)10 x 33.321 MW = 76.739 MW. Jika dipakai besar cadangan 30
persen, kapasitas daya yang diperlukan 1,30 x 76.739 MW = 99.760 MW. Jika
daya terpasang yang tersedia pada 2019 tetap 53.535 MW (2015), tambahan
kapasitas daya yang diperlukan selama 2015-2024 sebesar 99.760 MW - 53.535 MW
= 46.225 MW. Jadi, bukan 70.400 MW dan jadwal pembangunannya bisa lebih
cepat.
Ada baiknya analisis
di atas dipertimbangkan, apa ada kesalahan perhitungan, terutama apakah
memang daya terpasang 53.535 MW pada awal 2015 akan berkurang pada akhir 2019
dan 2024 karena pembangkit yang ada akan menua dan tidak andal lagi. Jika
kapasitas pembangkit berkurang, berapa besar jumlahnya? PLN dan IPP sebagai
pemilik serta pemerintahsebagai badan pengawas tentu mengetahui data ini
secara lebih pasti.
Perlu diperhatikan dua
risiko/bahaya perencanaan sistem. Pertama, oversupply, merencanakan
pembangkit terlalu besar, berkelebihan 30 persen di atas beban puncak, akan
mengakibatkan investasi berlebihan, utang besar, pendapatan kurang, arus kas
keuangan terganggu, menyebabkan kerugian finansial. Kedua, undersupply, merencanakan terlalu
kecil, kurang dari 30 persen beban puncak, mengakibatkan kekurangan pasokan,
bahkan pemadaman listrik yang mengganggu pertumbuhan ekonomi, sosial,
ketidaknyamanan pelanggan. Bahaya oversupply
ataupun undersupply tidak saja dari
segi pembangkitan, tetapi juga penyaluran, transmisi, dan distribusi.
Kebutuhan saluran transmisi 46.597 kilometer periode 2015-2019, atau 9.320 km
per tahun, atau 25,53 km per hari. Berapa banyak kontraktor diperlukan untuk
merampungkan proyek transmisi pada waktunya?
Terjadi kelebihan pasokan?
Pada awal 2015, dengan
beban puncak 33.321 MW dan kapasitas daya terpasang 53.535 MW, ada indikasi
kelebihan pasokan. Namun, kenyataannya, akhir-akhir ini terjadi pemadaman
listrik di banyak wilayah di Tanah Air. Apakah ada kesalahan alokasi daya
terpasang? Sistem pembangkitan Jawa-Bali aman, tetapi di luar Jawa pemadaman
masih terus terjadi. Kiranya terkait masalah oversupply dan undersupply
alokasi pembangkitan ini perlu ada penjelasan dan pertanggungjawaban kepada
publik.
Selain itu, perlu
catatan mengenai pertumbuhan 8,7 persen per tahun selama periode 2015-2019.
Jika dipakai elastisitas pertumbuhan listrik terhadap ekonomi 1,3, berarti
pertumbuhan ekonomi (PDB) sebesar 8,7/1,3 = 6,9 persen per tahun. Menurut
Bank Pembangunan Asia, tahun 2015, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,5 persen
dan 2016 sebesar 6,0 persen. Ini berarti jika dipakai pertumbuhan ekonomi 6
persen/tahun dan elastisitas 1,3, pertumbuhan listrik 1,3 x 6 persen = 7,8
persen/tahun, lebih kecil dari pertumbuhan 8,7 persen yang dipakai pemerintah.
Jika dipakai pertumbuhan listrik lebih rendah, kebutuhan penambahan kapasitas
daya terpasang tentu akan lebih rendah.
Pernyataan bahwa
listrik Indonesia tertinggal jauh dari negara lain perlu diwaspadai mengingat
PDB Indonesia juga tertinggal. Menurut World Bank Indicator2011, besaran
pemakaian listrik Indonesia 680 kWh dan PDB 3.470 dollar AS/kapita.
Bandingkan dengan Singapura (8.404 kWh dan 52.871 dollar AS/kapita, Malaysia
(4.246 kWh dan 10.068 dollar AS/kapita), dan Thailand (2.316 kWh dan 5.192
dollar AS/kapita). Indonesia masih lebih baik dari Filipina (647 kWh dan
2.358 dollar AS/kapita), tetapi kalah dari Vietnam (1.073 kWh meski PDB lebih
rendah, 1.543 dollar AS/kapita). Kalau PDB Indonesia naik, pemakaian listrik
akan naik pula. Jangan dipaksakan.
Liek Wilardjo benar,
pemanfaatan energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan akan
mempercepat upaya penyediaan pasokan listrik di Tanah Air. Energi angin,
energi surya, perlu waktu 1-1,5 tahun untuk pembangunan, lebih cepat
dibandingkan PLTU batubara yang perlu empat tahun. Untuk PLTN lebih lama,
rata-rata 5-10 tahun. Biaya pembangkitan listrik angin 6 sen dollar AS/kWh,
feed in tariffsurya di Jerman 2015 adalah 10 sen dollar AS/kWh. Biaya listrik
energi terbarukan ini masih lebih murah daripada biaya produksi listrik PLTN
berdasarkan studi kelayakan PLTN Bangka, yaitu 12 sen dollar AS/kWh, dua kali
lebih mahal dari PLTU batubara (6 sen dollar AS/kWh). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar