Mewaspadai Arus Balik Demokrasi
Ito Prajna-Nugroho ; Peneliti Bidang Filsafat Resolusi Konflik
pada Lembaga Studi Terapan
Filsafat
|
KORAN
TEMPO, 14 September 2015
"Negara adalah jiwa yang tertulis dengan huruf
kapital." Begitulah ungkapan terkenal Plato (428-348 SM), filsuf di Zaman
Klasik Yunani sekitar 2.400 tahun lampau. Kutipan ini dapat kita temukan di
salah satu karya penting Plato, Politeia, atau yang berarti juga konstitusi.
Dalam bahasa Inggris, Politeia
diterjemahkan sebagai Republic,
sebab konstitusi erat terkait dengan sistem demokrasi yang mengutamakan
kepentingan publik (res publica) di
atas kepentingan pribadi. Tema keadilan menjadi roh yang menjiwai mahakarya
tersebut.
Setidaknya tiga
gagasan penting dapat kita tarik dari kutipan sederhana tersebut. Pertama,
tatanan negara senantiasa bersifat konfliktual, sebab jiwa manusia juga
selalu diwarnai konflik. Sama seperti perbedaan, konflik atau kemungkinan
konflik akan selalu ada di sana dan hadir sebagai dinamika yang menggerakkan
hidup bernegara. Kedua, keadilan tidak terutama datang dari legalitas hukum,
melainkan dari keutamaan prinsip moral publik yang memerlukan hukum sebagai
sarana perwujudannya. Ketiga, tegak atau ambruknya keadilan ditentukan oleh
kualitas kepemimpinan negarawan yang didaulat merawat kepentingan publik.
Dalam khazanah filsafat politik, ketiga hal ini, yaitu perbedaan, keadilan,
dan kepemimpinan, menjadi gagasan pokok yang menopang demokrasi hingga saat
ini.
Jiwa manusia disebut
sakit jika ia tidak dapat mengelola hasrat (eros) dominannya, mengalami kebablasan, disorientasi, lalu
ditaklukkan oleh salah satu dorongan ekstrem. Sama seperti jiwa manusia,
sehat atau sakitnya tatanan publik ditentukan oleh pengelolaan hasrat dominan
yang bergerak di ruang publik. Dalam istilah modern, hasrat dominan itu
disebut sebagai kepentingan. Apa pun kata sifat yang melekat padanya, entah
itu kepentingan-diri, kepentingan kelompok, atau kepentingan nasional,
kepentingan tetaplah kepentingan, yaitu bentuk perwujudan hasrat hidup
manusia. Layaknya hasrat, setiap kepentingan memiliki logika yang sederhana,
yaitu mempertahankan dan meneruskan keberlangsungan hidup (self-preservation). Realitas kuasa,
atau kekuasaan, adalah bentuk canggih dari hasrat dasar untuk hidup, hidup
baik, dan hidup lebih baik lagi.
Maka, konflik dan
benturan akan senantiasa ada dalam hidup publik. Sebut saja benturan
antar-institusi negara, benturan antar-menteri dan pejabat negara, konflik
antar-aparat penegak hukum, benturan antar-partai politik, konflik
antar-kelompok masyarakat, benturan antara kelompok masyarakat dan negara,
atau bahkan konflik antar-negara. Jika kita melihat kehidupan publik mulai
didominasi oleh benturan-benturan skala kecil dan menengah yang terjadi
secara sporadis, kita dapat segera bertanya: hasrat jenis apa, dan dari pihak
manakah sebetulnya yang sedang unjuk diri dan merasa terancam?
Dari semua konflik
yang muncul itu, kita dapat segera menelisik apakah akar persoalan terletak
pada perbedaan kepentingan, keadilan, ataukah kepemimpinan. Tetapi, dari
sejarah peradaban manusia yang sarat konflik, kita dapat segera mengerti
bahwa kepemimpinan selalu menjadi akar masalah sekaligus daya penyelesaian
segala bentuk konflik. Dalam kehidupan publik, pemimpin selalu mengacu pada
negarawan tertinggi yang didaulat merawat kepentingan publik. Negarawan
tertinggi itulah yang bertanggung jawab atas hidup-matinya kepentingan publik
dan harus mampu menjawab tuntutan rasa keadilan masyarakat yang telah
memberinya mandat. Apalagi publik memiliki satu ciri permanen yang dominan,
yaitu mudah kecewa dan mudah marah. [Leo Strauss; 1978, 78]
Dalam konteks ini,
prinsip yang memandu seorang kepala negara sebagai negarawan pengemban
tanggung jawab tertinggi seharusnya bukan lagi popularitas, melainkan
efektivitas. Sebab, publik hanya akan mempedulikan efek atau hasil yang
muncul dari kebijakan-kebijakan negara. Seorang pemimpin yang baik akan sadar
bahwa tugas yang diemban sebenarnya hanya satu, yaitu mengambil risiko. Untuk
itu, ia akan sadar bahwa bukan gaduhnya situasi kekinian yang harus menjadi
fokus pertimbangannya, melainkan berbagai kemungkinan yang dapat muncul di
depan. Bukan opini yang harus dikhawatirkannya, melainkan pertimbangan
kekuasaan (deliberation) dan
keputusan politik (decision).
Jika seorang pemimpin
berdiri di atas fondasi demokrasi, ia harus sadar bahwa demokrasi, layaknya
samudra, menyimpan potensi gawat yang harus diperhitungkan, yaitu arus balik.
Kekecewaan, kemarahan, ketidaksabaran, dan keputusasaan publik menjadi
penentu datangnya arus balik demokrasi. Singkatnya, suasana kebatinan dan
tuntutan rasa keadilan masyarakat. Dari kitab Republic, dialog perihal keadilan yang ditulis sekitar 2.400
tahun silam, kita mengenal arus balik demokrasi itu dengan istilah yang
menjadi horor setiap tatanan demokrasi, yaitu tirani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar