Kepunahan Peradaban Akibat Kebakaran Hutan
Agus Pakpahan ; Ekonom Kelembagaan
|
KORAN
TEMPO, 14 September 2015
Apa makna kebakaran
hutan dan lahan sebagaimana yang terjadi dewasa ini? Apakah ada faktor
kesengajaan, termasuk pembiaran, sehingga kebakaran hutan di Indonesia terus
terjadi? Kalau jawabannya "ya" ada faktor kesengajaan termasuk
pembiaran di dalamnya, maka tingginya peradaban kita yang sering kita
agungkan itu sedang berada dalam kancah pengujian yang serius tentang
kebenarannya.
Diperlukan ribuan
tahun untuk suatu permukaan bumi mencapai status klimaks dari hutan alam
tropika sebagaimana yang terjadi pada hutan-hutan alam di Sumatera,
Kalimantan, atau Papua sebelum mereka dikonversi menjadi lahan-lahan
budidaya, seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman industri, atau
pertambangan dan wilayah permukiman.
Sebaliknya, untuk mengubah hutan-hutan alam tropika klimaks tersebut
menjadi jenis penggunaan lain dengan cara membakarnya secara membabi-buta,
hanya diperlukan waktu sekejap.
Perubahan hutan untuk
penggunaan lain tidak didorong oleh motivasi alamiah, melainkan untuk tujuan
ekonomi. Apakah motivasi ekonomi
selalu tidak kompatibel (incompatible)
dengan motivasi alamiah?
Konsep pembangunan
berkelanjutan mencoba mensinkronkan kedua motivasi tersebut melalui, antara
lain, penetapan batas ambang sistem alam/ekologis yang tidak boleh
dilampaui. Konsep carrying capacity
dari suatu ekosistem merupakan ilustrasi penerapan batas ambang dari
ketahanan alam dalam memikul beban ekonomi yang dikenakan kepadanya.
Instrumen ekonomi juga
sering diterapkan agar perilaku manusia dalam mengeksploitasi sumber daya
alam/lingkungan tidak mencapai batas ambang alami tersebut. Instrumen ekonomi meliputi, antara lain,
kontrol perilaku ekonomi melalui mekanisme harga atau biaya termasuk sistem
pajak atau insentif/disinsentif lainnya. Jadi, motivasi ekonomi dalam suatu
negara yang beradab tidaklah mengikuti demokrasi ekonomi model--yang kuat maka
merekalah yang menjadi pemenang.
Dengan pengetahuan
bahwa masa pemulihan kerusakan hutan itu memerlukan ribuan tahun, sedangkan
masa perusakan hutan hanya memerlukan waktu sekejap, sudah sepantasnya kita
melihat kebakaran hutan dan lahan ini bukan lagi sekadar pertimbangan
untung-rugi berdasarkan sudut pandang ekonomi, melainkan kita tempatkan di
dalam ruang-lingkup peradaban umat manusia di muka bumi ini. Modal atau dana bisa milik pengusaha yang
kaya raya, tapi alam sebagai sistem pendukung kehidupan adalah milik umat
manusia dan makhluk hidup lainnya, baik yang hidup sekarang maupun yang akan
datang.
Apakah menghentikan
kebakaran lahan dan hutan ini masih memerlukan masa tunggu sampai dua atau
tiga generasi yang akan datang? Kalau jawabnya "ya", maka
kemungkinan besar Indonesia sudah berubah menjadi "pulau-pulau gurun
pasir" dan peradaban Nusantara akan segera punah.
Mari kita renungkan,
apakah pengetahuan tentang kepunahan peradaban hanya ungkapan rasa ketakutan
saja? Apabila kita menerima sejarah sebagai pengetahuan, maka tentu kejadian
kepunahan suatu peradaban di masa lalu perlu menjadi sumber pembelajaran bagi
kita. Kisah Nabi Nuh menggambarkan
betapa dahsyatnya air menjadi zat pemusnah.
Dalam berbagai
publikasi, sebagaimana halnya dengan banjir, kita bisa belajar bagaimana
kebakaran hutan mengubah alam. C.W.
Lowdermilk dalam bukunya Conquest of
the Land Through Seven Thousand Years (1948) mengisahkan bagaimana kita
dapat belajar dari peradaban kuno yang hancur akibat marahnya api-tanah-air
ini.
Salah satu bagian dari
buku Lowdermilk yang perlu menjadi bahan pemikiran kita bersama adalah
punahnya 100 kota di bagian utara Syria, yaitu wilayah antara Hama, Aleppo,
dan Antioch. Penyebab kepunahan 100
kota itu adalah erosi tanah sebagai dampak dari pembukaan lahan oleh suku
Semit untuk membangun pertanian di bagian pantai timur Mediterania dan
mendirikan kota pelabuhan Tyre dan Sidon.
Erosi tanah tersebut
"mematikan" wilayah-wilayah di mana erosi itu terjadi. Hutan
hancur, tanah hancur, dan kota-kota mati.
Peradaban pun akhirnya terkubur.
Apa relevansinya
uraian di atas? Motivasi ekonomi yang berkembang selama ini telah mengalahkan
kearifan bangsa Indonesia sebagaimana tecermin dalam berbagai ajaran
nenek-moyang kita yang sangat mencintai alam sekitarnya. Pembakaran hutan
untuk membangun perkebunan atau hutan tanaman industri (HTI) bertentangan
dengan nilai-nilai luhur yang telah diajarkan kepada kita. Hilangnya nilai luhur pertanda hilangnya
peradaban yang luhur pula.
Apa kata dunia ketika
mereka tahu bahwa tren harga minyak kelapa sawit terus menurun, tapi pada
saat yang bersamaan kita membakar lahan dan hutan yang tak ternilai? Kita diperangkap oleh
bayang-bayang nilai ekonomi konversi hutan yang sangat besar nilainya.
Belenggu itu sangat kuat. Hanya dengan kehadiran seorang hero, social trap dapat diatasi, menurut
Platt dalam tulisannya Social Traps
(1973). Semoga hadir para hero yang memiliki api nurani yang bisa dan kuat
mematikan bara keserakahan perusak tanah-air Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar