"Tanah Terjanji"
Trias Kuncahyono ; Penulis Kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
13 September 2015
Barangkali dunia tidak
akan pernah mengenal Phan Th?i Kim Phúc seandainya Nick Ut, fotografer kantor
berita AP, tidak memotretnya. Foto hasil karyanya itu dimuat di harian New
York Times. Ternyata foto itu memenangi hadiah Pulitzer dan dipilih sebagai World Press Photo of the Year 1972.
Dalam foto yang
diambil pada 8 Juni 1972 itu ditunjukkan lima anak berlari dalam ketakutan
dan beberapa tentara Vietnam Selatan berjalan di belakang mereka. Desa Trang
Bang, di belakang mereka, sudah diselimuti asap hitam yang mengepul ke
langit, menebarkan derita bahkan kematian.
Saat itu, Trang Bang
di Vietnam Selatan, tempat tinggal anak-anak itu, dibom pesawat tempur
Vietnam Selatan. Serangan itu dimaksudkan untuk mengusir pasukan Vietnam
Utara yang menduduki Trang Bang.
Salah seorang anak
yang melarikan diri dalam ketakutan itu adalah Kim Phúc. Gadis kelahiran
Trang Bang, 2 April 1963, itu berlari tanpa mengenakan selembar pakaian pun.
Ia telanjang karena pakaiannya terbakar. Tubuhnya pun terbakar. Foto gadis
kecil-kini menjadi warga negara Kanada-yang tersengat bom napalm ini
menggemparkan dunia. Foto itu cukup menjelaskan betapa dahsyat dan ganasnya
perang.
Ketika lebih dari
sepekan lalu beredar foto bocah kecil, Aylan Kurdi (3), yang sudah tak
bernyawa, tertelungkup di pantai dekat kota wisata Bodrum, Turki, dunia
gempar. Tragedi Vietnam seperti diputar ulang. Jauh tahun sebelumnya, beredar
foto seorang bocah laki-laki Yahudi yang usianya tidak lebih dari 10 tahun.
Foto yang menurut cerita diambil di ghetto Yahudi di Warsawa, Polandia,
memperlihatkan bocah bertopi-bersama dengan sejumlah perempuan-mengangkat
kedua tangannya, di depan tentara Nazi.
Mereka semua adalah
korban perang di zamannya. Ada begitu banyak anak yang menjadi korban perang.
Nasib Aylan Kurdi lebih buruk daripada Kim Phúc. Ia mati sebelum bersama
orangtuanya mimpinya terwujud. Harapannya untuk menikmati hidup yang nyaman,
aman, dan damai hancur berkeping-keping seperti negaranya yang sejak 2011
diporakporandakan oleh perang sektarian.
Jika Kim Phúc dan
teman-teman sedesanya berlari meninggalkan neraka Trang Bang, Aylan Kurdi
bersama orangtuanya dan ribuan orang sebangsa-juga dari Irak, Libya, dan
negara-negara di Afrika seperti Sudan-meninggalkan negeri mereka yang
dihancurkan oleh keganasan kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan
Suriah (NIIS) yang membunuh siapa saja yang dianggap bukan bagian dari
mereka.
Uni Eropa adalah
tujuan mereka. Bagi ratusan ribu pengungsi, Eropa adalah "tanah
terjanji". Ibarat kata Eropa adalah "negeri yang bekelimpahan susu
dan madu", tidak seperti negeri mereka yang berlumuran darah, disesaki
geratak gigi, dan tangisan. Bagi para pengungsi-yang pergi ke "tanah
terjanji" dengan menyeberangi Laut Tengah dari Afrika Utara menuju
Yunani atau Italia atau Spanyol; dari Turki masuk Bulgaria; menyeberangi
Balkan bagian barat dari Yunani lewat Macedonia, Serbia, dan Hongaria-lebih
baik mati di "tanah terjanji" ketimbang di negeri sendiri yang
sudah tak mengakui mereka sebagai anak bangsa.
Negara-negara Uni
Eropa memang tidak bisa menolak para pengungsi, para imigran yang membanjiri
mereka atas dasar kemanusiaan. Apalagi, dalam Perjanjian Lisbon (2009)
dinyatakan Uni Eropa adalah "wilayah bebas, aman, dan adil." Akan
tetapi, kini dalam kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Tak kurang dari 71
orang tewas dalam truk tertutup di Austria. Ratusan lain tewas di laut, di
tempat penampungan, dan banyak tempat lainnya dalam perjalanan menuju negeri
harapan.
Gelombang pengungsi,
migran, akan terus mengalir ke "tanah terjanji" selama perang di
Suriah, di Irak (dan negara-negara lain di Afrika), dan sepak terjang NIIS
belum dihentikan. Di negaranegara itu, konsep kehidupan sebagai anugerah
telah digerus, dirusak, bahkan dimusnahkan seketika bukan oleh Yang Ilahi
sebagai pemberinya. Kehidupan yang seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab
yang menyenangkan telah berubah menjadi tindakan kebuasan.
Tidak ada hasil apa
pun dari tindakan pamer kekerasan yang brutal, pamer kebuasan selain
pengkhianatan terhadap martabat manusia. Pengingkaran terhadap martabat
manusia ini terbentang panjang dalam suatu jalan yang senyap, sepanjang
sejarah manusia. Kisah-kisah serupa bisa ditemukan dalam bisik-bisik lisan,
bahkan barangkali sangat keras terdengar di sekitar kita.
Pada akhirnya yang
kita temukan adalah rasa tidak berdaya, yang tersorot dari mata anak-anak,
perempuan, dan para imigran yang berjalan tersuruk-suruk menembus pagar kawat
berduri di "tanah terjanji". Rasa sakit sebagai akibat dari tindak
kekerasan mungkin juga dapat ditemukan dalam batin, tersimpan seperti api
dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat muncul secara tiba-tiba dalam kemarahan
sporadis. Bukan tidak mungkin, suatu ketika, kemarahan itu akan meledak di
"tanah terjanji". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar