Langkah PAN dalam Kacamata Voting Behavior
Aribowo ; Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unair
|
JAWA
POS, 15 September 2015
QUO vadis PAN? Ke mana arah PAN melangkah
setelah deklarasi mendukung rezim Jokowi? Apakah semakin menuju kejayaan atau
justru bakal semakin terpuruk?
Langkah kejutan Zulkifli Hasan itu menimbulkan
spekulasi di masyarakat politik Indonesia, utamanya para pemilih PAN. Dengan
cepat Lingkaran Survei Indonesia (LSI)nya Denny J.A. menjaring opini
masyarakat tentang ”masuknya” PAN ke dalam rezim Jokowi. Menurut Rully Akbar,
peneliti LSI, 66,64 persen masyarakat mendukung sikap politik PAN yang
menyatakan bergabung dengan pemerintahan Jokowi (8/9/2015).
Alasan mereka yang mendukung adalah (pertama)
publik menginginkan pemerintah makin kuat saat kondisi ekonomi melemah.
Alasan kedua, publik menilai pengubuan antara KMP dan KIH sudah tidak
relevan.
Alasan berikutnya, publik menilai bergabungnya
PAN dengan pemerintahan Jokowi menguntungkan kedua pihak.
Sebaliknya, ada 24,95 persen publik yang
menyatakan menolak sikap PAN bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Sisanya,
8,41 persen menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab pertanyaan survei.
Survei tersebut dilakukan melalui quick poll pada 4–6 September 2015.
Mereka yang 24,95 persen tidak setuju dengan
pilihan Zulkifli itu menganggap langkah tersebut sebagai bentuk pragmatisme
politik. Sebanyak 30,10 persen dari yang tidak mendukung melihat PAN hanya
mengejar kepentingan sendiri.
Yang menarik adalah sebagian besar dari para
penolak itu merupakan konstituen partai-partai anggota KMP pada Pemilu 2014.
Tak heran, pihak yang tidak setuju juga menganggap sikap PAN tersebut telah
mengkhianati komitmen KMP (Koalisi Merah Putih) untuk menjadi kubu oposisi.
Tercatat sebanyak 14,90 persen menolak PAN bergabung dengan pemerintah karena
dinilai mengkhianati koalisinya.
Di balik angka-angka di atas, tampak sekali
mereka yang setuju dengan langkah PAN mendukung rezim Jokowi adalah harapan
masyarakat Indonesia pada umumnya yang sedang mengalami keterpurukan ekonomi.
Justru masyarakat yang menolak langkah PAN
(24,95 persen) adalah masyarakat pendukung atau ”dekat” dengan PAN dalam
pemilu. Mereka secara sederhana menilai variabel hitam putih terhadap rezim
dan oposisi dalam sistem politik saat ini. Mereka memang sangat sederhana
melakukan pemaknaan. Tetapi, justru dalam kesederhanaan itulah, identitas
tiap partai politik (parpol) ditangkap dengan jelas oleh para pemilih.
Untuk memperkuat tesis di atas, ada fenomena
voting behavior yang bisa mendukung, yaitu pola hubungan elektabilitas parpol
dengan keberhasilan atau ”keburukan” sebuah rezim. Hasil Pemilu Legislatif
(Pileg) 2004, Partai Demokrat (PD) memperoleh 7,5 persen suara di parlemen.
Pada tahun itu pula Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangi pemilu presiden
(pilpres). SBY membentuk Kabinet Indonesia Bersatu bersama beberapa parpol
(koalisi besar), antara lain Golkar dengan suara (21,6 persen), PKB (10,6%),
PPP (8,2%), PAN (6,4%), PKS (7,3%), dan beberapa parpol lainnya. Sementara
itu, PDIP sebagai oposisi mendapat suara 18,5 persen.
Rezim SBY 2004–2009 dinilai masyarakat bagus
dan berhasil sehingga berdampak positif bagi PD, tetapi berdampak negatif
bagi koalisi. Hasil Pileg 2009 yang dialami parpol koalisi sebagai berikut:
PD (20,85 persen), Golkar (14,45%), PAN (6,01%), PPP (5,32%), PKS (7,88%),
dan PKB (4,94%). Sementara itu, PDIP sebagai oposisi menuai 14,03 persen,
Gerindra (parpol baru dan di luar rezim 4,46 persen), dan Hanura (parpol baru
dan di luar rezim 3,77 persen).
Data hasil Pileg 2004 dan 2009 menunjukkan
fenomena menarik: keberhasilan rezim (SBY) menghasilkan suara sangat besar
dan menggerus suara parpol koalisinya sangat besar pula. Sebagian besar suara
parpol koalisi SBY merosot, kecuali PKS.
Hipotesis di atas menunjukkan bahwa keberhasilan
seorang presiden secara signifikan akan menaikkan secara signifikan pula
suara parpolnya. Namun di sisi lain justru menggerus suara parpol koalisinya
sendiri. Di sisi lain, keberhasilan seorang presiden secara signifikan bisa
menggerus pula suara parpol oposisi, kecuali parpol alternatif (seperti
Gerindra dan Hanura).
Hipotesis tersebut mengukuhkan identitas
politik dalam voting behavior:
citra presiden adalah citra parpolnya (teori party identification). Dasar teori itu pula yang menjadi landasan
diputuskannya Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak (menjadi satu, pileg dan
pilpres) yang bertujuan mengurangi jumlah parpol.
Hipotesis negatifnya adalah ketidakberhasilan
seorang presiden berarti ketidakberhasilan parpolnya dan sebaliknya
menguntungkan parpol oposisi secara signifikan. Rezim SBY 2009–2014
dicitrakan sebagai penuh hujatan, serangan, dan ”dinegatifkan” media massa
meskipun realitas politiknya tidaklah demikian.
Di sisi lain, kondisi tersebut menaikkan
secara tajam suara parpol oposisi dan di luar rezim: PDIP menjadi 18,95
persen dan Gerindra 11,81 persen.
Bahkan, runtuhnya dominasi PD dalam koalisi
menimbulkan political realignment bagi kelompok NU ke dalam PKB (9,04
persen). Tentu ada variabel lain yang berperan seperti kasus korupsi yang menimpa
petinggi parpol, efek Jokowi bagi PDIP, soliditas PKS, dan money politics.
Menyimak hipotesis dan fenomena di atas,
langkah Zulkifli Hassan sebenarnya bukanlah menguntungkan sama sekali bagi
PAN dalam menghadapi Pemilu 2019. PAN semakin tidak jelas sebagai sosok
parpol dalam format hitam putih apa di mata para pemilih. Bukan sebagai
oposisi, bukan pula sebagai penyelesai masalah bangsa jika perannya hanya
suplemen (mendukung pemerintah dan belum tentu mendapat kursi menteri). Juga
bukan sebagai ”pemadam kebakaran”.
Keberhasilan rezim Jokowi, seandainya memang
kelak berhasil, adalah keberhasilan PDIP. Hasil riset LSI, 66,64 persen
mendukung langkah PAN, adalah harapan mayoritas rakyat agar Jokowi bisa
mengentas keterpurukan bangsa. Dengan demikian, keberhasilan pembangunan
Indonesia dalam perspektif voting behavior adalah keberhasilan Jokowi dan
sama sekali bukan keberhasilan PAN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar