Bon Jovi dan Politik Transnasional
Ali Maksum ; PhD candidate,
Centre for Policy Research and
International Studies USM, Malaysia
|
JAWA
POS, 12 September 2015
PENCINTA musik rock Indonesia tadi malam
dihibur band legendaris Bon Jovi. Bagi band asal New Jersey, Amerika Serikat,
itu, pergelaran kali ini merupakan yang kedua setelah 20 tahun tidak menyapa
fans mereka di sini.
Kedatangan Bon Jovi disambut antusiasme yang
sangat tinggi. Terbukti, tiket masuk yang dibanderol Rp 500 ribu hingga Rp
3,5 juta ludes terjual. Bagi manajemen band yang dikomandani Jon Bon Jovi
itu, konser di Jakarta sangat bermakna. Mengingat, rencana sebelumnya untuk
manggung di Beijing, Tiongkok, secara mendadak dibatalkan.
Kegagalan Bon Jovi manggung di Beijing tidak lepas
dari pertimbangan pemerintah Tiongkok bahwa band tersebut ternyata memiliki
simpati politik dengan pemimpin Tibet, Dalai Lama. Namun, Bon Jovi tidak
sendirian karena rekan senegaranya, band Maroon 5, yang sedianya menggelar
konser pada Juli 2015 tiba-tiba tidak mendapat izin dari otoritas setempat.
Ternyata alasannya sama. Yaitu, pemerintah Tiongkok tidak suka karena Maroon
5 secara personal pernah melakukan pertemuan dengan Dalai Lama.
Isu keterkaitan antara musisi musik dan
sentimen politik, tampaknya, sudah menjadi hal yang lumrah. Sebab, bukan
rahasia lagi, sebagian pemusik juga mempunyai sentimen dan kecenderungan
ideologi politik tertentu.
Di Indonesia, sudah banyak musisi yang secara
terang-terangan menunjukkan identitas politik mereka. Misalnya, selama
pemilihan presiden tahun lalu sebagaimana yang ditunjukkan grup papan atas
Slank dan musisi Ahmad Dhani.
Jon Bon Jovi ternyata adalah pendukung Partai
Demokrat, AS, bahkan diangkat menjadi anggota The White House Council for
Community Solutions, sebuah badan yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden Barack Obama.
Korelasinya, gerak dan langkah dia, selain
sebagai musisi, tentu juga membawa agenda politik sebagai konsekuensi anggota
partai. Hal tersebut secara tidak langsung berdampak pada munculnya sentimen
politik di setiap agenda konsernya.
Karena itu, sangat wajar jika ada pihak-pihak,
termasuk pemerintah Tiongkok, yang mencurigai Bon Jovi berstandar ganda
terkait dengan isu dukungan politik kepada Dalai Lama.
Lalu, bagaimana melihat konser Bon Jovi dan
aktor politik internasional lain? Mengapa hal demikian bisa terjadi, walaupun
tidak mem bawa agenda politik secara langsung?
Pertama, adanya transformasi politik
internasional pasca Perang Dingin. Pasca Perang Dingin 1991, terjadi sebuah
perubahan besar, yakni isu komunis-kapitalis mulai tidak relevan lagi.
Sebagai gantinya, muncul isu-isu terkait
dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan isu tata kelola pemerintahan yang
baik ( good governance). Dampaknya, aktor-aktor selain negara ( non-state actors)
seperti pebisnis, LSM, dan musisi bisa membawa implikasi politik lintas
batas. Bahkan, para aktor nonnegara tersebut mampu menekan sebuah negara.
Misalnya, Green Peace (LSM peduli bumi dan alam) serta Human Rights Watch
(LSM peduli hak asasi manusia).
Kedua, pasca Perang Dingin dan seiring dengan
berkembangnya teknologi, lahir apa yang disebut Robert Keohane dan Joseph Nye
dalam bukunya, Power and Interdependence, sebagai ’’ complex
interdependence’’ atau saling ketergantungan yang kompeks. Dampaknya, muncul
banyak saluran atau ’’ multiple channels’’ yang membuat hubungan
internasional semakin longgar dan tidak selalu didominasi negara. Aktor
politik internasional –bisa saja perorangan dan organisasi, media massa,
termasuk musisi– bisa bergerak secara bebas tanpa terkekang garis perbatasan
sebuah negara (transnasional).
Ketiga, dampak lanjut gerakan transnasional
memang sangat menyulitkan banyak negara. Fenomena terorisme juga masuk dalam
kategori itu. Aktor-aktor intelektualnya tersebar dan mempunyai banyak
jaringan di berbagai negara. Misalnya, Al Qaeda, Jamaah Islamiah ( JI), dan
yang terbaru Islamic State of Iraq dan Syria (ISIS) yang juga mempunyai
jaringan luas di seluruh dunia dan sangat merepotkan.
Namun, di sisi lain, berbagai LSM, baik berskala
nasional maupun internasional, dengan berbagai agenda sosial-budayanya
ternyata juga membawa agenda politik tersembunyi.
Akhirnya, berkaca pada kegagalan konser Bon
Jovi di Tiongkok, apakah kehadirannya di Indonesia bisa dibaca sebagai
membawa agenda tertentu? Yang pasti, konser Bon Jovi akan memberikan dampak
secara ekonomi, terutama sektor pariwisata.
Belum lagi, terobatinya rasa rindu fans Bon
Jovi Indonesia dengan lagu-lagu andalan mereka seperti Keep the Faith dan
Always. Juga, kegairahan pada dunia musik tanah air. Tapi, tidak lebih dari
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar