Senin, 09 Agustus 2021

 

Wahai, Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian?

Hasan Aspahani ;  Menerbitkan majalah Mata Puisi, Mengelola situs www.haripuisicom, dan Ketua Komite Sastra DKJ 2020-2023

KOMPAS, 8 Agustus 2021

 

 

                                                           

Ucapan Endo Suanda, etnomusikolog, pakar arsip musik dan seni tradisi dalam diskusi tentang preservasi seni yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Selasa, 29 Juni 2021 lalu, memantik saya untuk menarik isunya ke dunia sastra.

 

Beliau pada pernyataan penutup diskusi mengatakan, buku adalah benda mati yang hanya akan hidup kalau dibaca, arsip tak ada artinya apabila tidak dikaji untuk menghasilkan pengetahuan baru. Beliau tampak mengatakan itu dengan geram dan cemas. Kesadaran kita untuk merawat arsip memang rendah, apatah lagi menghidupkannya dan mengembangkan pengetahuan dari situ. Hal itu terjadi di semua bidang, sastra, dan puisi tak terkecualikan.

 

Puisi adalah sebuah wilayah, atau sebuah daerah, kata Jassin. Penyair berada di sana, meniup tifanya, menyuarakan sajaknya. Wilayah puisi itu tidak mati, ia hidup, berkembang, menghidupi, dan dihidupi oleh penyair-penyair yang datang dan pergi. Di wilayah itu tradisi sastra dibentuk dan dihidupkan, dengan segala jejak pencapaian.

 

Setiap penyair yang memasuki lalu berada di daerah itu menghadapi ketegangan antara konvensi pencapaian yang tertradisikan dan kesempatan berinovasi menawarkan pembaruan yang bisa ia bayangkan untuk ditawarkan, hal apa yang disebut Teeuw pada 1980 ketika membahas beberapa puisi penyair kita, terutama ketika ia mengulas Sutardji. Setiap penyair yang masuk ke daerah itu sadar atau tidak, ia terlibat dan terbawa arus sejarahnya.

 

Seorang penyair terseleksi atas pilihannya dan keberaniannya ketika mengatasi ketegangan itu dan tentu saja seberapa berlimpah energi kreatif, bakat, kecerdasan, dan kesungguhan dalam dirinya. Ketegangan itulah yang membuat daerah puisi menjadi hidup, dinamis, bergerak, meluas, dan berkembang. Terciptalah apa yang oleh Jacob Sumardjo sebagai topografi: sastra pop, sastra konvensional atau mainstream, dan sastra avant garde.

 

Sastra yang sehat adalah ekosistem yang merawat semua yang berada dalam dirinya, yang pop, yang konvensional, juga yang avant garde. Penyair bisa saja bergerak, melompat, berpindah di semua ketinggian topografi itu. Kita ingat Motinggo Busye untuk kasus ini.

 

Sepanjang bisa kita baca, sejarah puisi kita melahirkan para penyair yang menaklukkan konvensi (bukan menolak atau mengingkarinya) dan dengan kuat menawarkan inovasi. Di ranah prosa, kita bisa melihat bagaimana pengaruh inovasi Armijn Pane, Idrus, dan Iwan Simaptupang, misalnya, berhasil mendobrak dan membuka kemungkinan perkembangan tradisi baru.

 

Di daerah puisi, kita punya Amir Hamzah, Chairil, Sutardji, Afrizal, dan Jokpin, sekadar mengingat beberapa nama yang kerap disebut ketika kita bicara soal keberhasilan mendobrak konvensi, memperluas daerah penjelajahan puisi, membuka gerbang kemungkinan baru, dan menempatkan diri dan puisinya di gigir avant garde, dalam hal bentuk dan tema.

 

Penyair hidup dan bernapas dalam konvensi itu. Ia merawat tradisi, tapi harus juga ia lakukan bagaimana ia bisa menaklukkannya, bukan tunduk atau takluk pada kejumudannya. Sajak Chairil yang paling matang dari sisi isi ditulis dalam bentuk kwatrin yang rapi, bukan dalam bentuk sajak bebas. Kwatrin adalah konvensi klasik dalam bentuk.

 

Konvensi adalah zona nyaman, yang menyinambungkan kehidupan puisi kita, tapi harus diingatkan kita tak boleh terjebak di situ. Kita melihat para penyair berkerumun di sana agar tetap dianggap hadir. Dengan konvensi, mereka memenuhi undangan menerbitkan antologi bersama, dengan mengikut konvensi ia berharap bukunya dilirik penerbit.

 

Di situlah perlunya para pendobrak, para pembaru, untuk mengganggu keterlenaan perpuisian kita, dan mengusik kenyamanan para penyair yang girang ketawa-ketawa sambil memeluk konvensi persajakan umum.

 

Kita merindukan dan memerlukan banyak penyair yang dengan gagah mengambil risiko menjadi inovator, mendobrak konvensi, bereksperimen, dengan segala risiko yang kerap tak nyaman. Risiko itu adalah: ia dengan serta-merta disambut tepuk tangan dan dielu-elukan, atau hasil kerjanya tak terpahami, eksperimennya tertolak dan hanya dianggap kenes, lalu ia kelelahan, kehabisan energi kreatif, lalu berhenti dan kembali ke konvensi.

 

Di situlah pula kita bisa merasa cemas. Kita kekurangan para inovator. Atau bahkan yang kita hadapi adalah ketiadaan. Penyair muda, juga mereka yang sudah matang dengan pengalaman, seperti tak merasa perlu menyadari adanya ketegangan itu. Asyik berkubang saja di wilayah konvensi, jadilah puisi kita seakan menggenang saja, tak mengalir ke mana-mana.

 

Pada puisi, seni puisi, sebagai mana seni lain, kreativitas adalah mesin, adalah motor penggerak kemajuan. Juga padanya segalanya dipertaruhkan. Seorang inovator berada di garis itu. Sejarah puisi kita akan berisi bahan-bahan catatan yang kaya dan menarik apabila para penyairnya serentak, sendiri-sendiri dan bersama-sama menyinambungkan apa yang telah ada, mengulang hal-hal baik, mengembangkan yang belum maksimal dan masih mungkin dimajukan, dan terutama mengubah ke arah kemungkinan-kemungkinan baru.

 

Dan, itulah persoalannnya: pengarsipan hasil karya sastra kita jauh dari lengkap, jika tidak ingin dibilang buruk. Ada upaya-upaya pribadi yang harus diberi salut, tapi ketika bicara soal kesadaran untuk memanfaatkannya kita harus berpikir bagaimana membangun sistemnya.

 

Padahal, itulah bahan utama yang harus dirujuk dan diolah apabila seorang penyair hari ini ingin membangun fondasi persajakan yang kuat dan memperkuat tradisi perpuisian kita, juga apabila ingin mendobrak dengan inovasi baru. Ditambah lagi godaan untuk berkreasi nyaman di jalur konvensional—bahkan ngepop—terlalu besar. Sastra kita, dipenuhi orang yang berkreasi setengah hati—memakai istilah Budi Darma—dan kita memang kekurangan para inovator.

 

Wahai, para inovator sastra, di manakah kalian? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar