Tak Memiliki Sentimen Negatif secara Pribadi
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 30 September 2015
Inilah buku baru yang
begitu diluncurkan minggu lalu langsung menjadi bahan bisik-bisik di kalangan
konglomerat Indonesia. Sebagian isinya memang 'sexy'.
Bagus untuk jadi bahan
gosip: curhat habis-habisan seorang menantu tentang mertuanya. Menariknya,
sang mertua adalah konglomerat yang begitu besar: Dr Mochtar Riyadi. Dan sang
menantu adalah juga konglomerat yang merasa tertekan: Dr Tahir.
Maka, kalau membaca
buku ini, sebaiknya jangan hanya di bagian yang sexy itu saja. Bisa salah
paham. Bisa mendapat kesan yang mengganggu pikiran: Begitu burukkah hubungan
mertua dan menantu ini? Begitu negatifkah seorang menantu menilai mertuanya?
Buku ini berjudul
'Dato' Sri Prof. Dr. Tahir, Living Sacrifice", diterbitkan Gramedia. Ini
memang buku biografi Dr Tahir, pengusaha kelahiran Surabaya itu. Penulisnya
seorang wartawati dan novelis yang sangat produktif: Alberthein Endah.
Alberthein inilah yang juga banyak menulis buku biografi tokoh Indonesia,
termasuk Ibu Ani Yudhoyono.
Mungkin, pada intinya,
Dr Tahir ingin sekadar klarifikasi: bahwa kejayaannya saat ini bukanlah
karena uang dari mertua. Tahir, rupanya, sangat risi dengan omongan seperti
ini: Enak ya jadi menantu konglomerat, pasti diberi banyak modal dari mertua.
Tahir, menurut buku itu, perlu klarifikasi demi kehormatan dan martabat
dirinya, keluarganya, dan terutama anak-anaknya.
Tahir merasa tidak
sepeser pun diberi modal oleh mertua. "Dari segi materi nol,"
katanya. Bahkan, sang mertualah yang masih punya utang kepadanya. Sebesar 2,5
juta dolar.
Dalam buku ini,
tersurat betapa Tahir merasa begitu tertekan di tengah keluarga mertuanya.
Tidak ada kehangatan berada dalam keluarga konglomerat itu. Yang ada adalah
jarak. Tahir pun merumuskan kalimat yang menarik yang menggambarkan keluarga
Mochtar Riyadi: Seorang konglomerat yang telah mempercayai saya menjadi
menantunya, sekaligus tidak mengizinkan saya merapat pada bisnisnya.
Padahal, Tahir merasa
telah menempatkan diri sebagai menantu yang baik. Bahkan, Tahir merasa telah
mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi benteng keluarga Mochtar Riyadi. Yakni,
ketika Tahir harus menghadapi mafia internasional yang mengancam keselamatan
keluarga mertua. Tahir secara khusus menguraikan episode ini di dalam bukunya
itu.
Berpuluh-puluh halaman
dari buku ini dipergunakan Tahir untuk menguraikan perasaannya: tertekan,
tersisih, terabaikan, dan bahkan merasa sengaja disisihkan. Banyak contoh dia
kemukakan di buku ini. Terlalu panjang dan terlalu terbuka kalau saya uraikan
di sini.
Saya, sebagai
pengusaha yang akrab dengan lingkungan Tahir maupun Mochtar Riyadi, memang
pernah mendengar gosip hubungan yang kurang mesra di antara keduanya, tapi
saya tidak mengira kalau hubungan itu sedramatis ini. Lebih tidak mengira
lagi hal tersebut diungkapkan secara terbuka, blak-blakan, dalam sebuah buku
tebal yang dijual secara bebas ini. Merinding membaca bagian-bagian tertentu
di buku itu.
Rasanya, belum pernah
ada seorang menantu menilai mertuanya seterbuka ini. Termasuk bagaimana
seorang menantu memberikan nasihat kepada mertuanya secara terbuka mengenai
apa sebaiknya yang harus dilakukan Mochtar Riyadi di hari tuanya sekarang
ini.
Saya pun yang semula
hanya membaca bagian-bagian yang sexy itu tidak mau terpengaruh. Saya
menyisihkan waktu untuk membaca buku ini sejak dari permulaan. Saya tidak
ingin terjebak pada penilaian dari satu segi.
Dan ternyata benar.
Pada bagian-bagian lain buku ini, Tahir begitu banyak memuji sang mertua.
Mulai kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, kewibawaan, kebijaksanaan,
keberhasilan, sampai ke kemampuan filsafat sang mertua. Hanya, di tengah
pujian itu masih juga dia selipkan curhat-curhatnya.
Tahir juga mengakui
bahwa suasana tertekan itulah yang justru mendorong dirinya untuk menjadi
orang sukses. Harga diri, terpojok, tertekan, terhina, dan sakit hati telah
meneguhkan tekadnya untuk harus berhasil. Dalam berusaha maupun dalam membina
keluarga. Dan Tahir telah membuktikan dirinya berhasil.
"Bahkan, saya
bisa melebihi mertua saya," katanya.
"Di usia 62 tahun
ini, saya telah mencapai lebih dari yang dicapai mertua saya saat beliau
berumur 62 tahun."
Rasanya, setelah saya
renung-renungkan, Tahir tidak memiliki sentimen negatif kepada pribadi sang
mertua. Tersirat di buku itu bahwa Tahir lebih curhat mengenai ipar-ipar
lelakinya, James dan Stephen Riyadi.
Bahkan, sakit hati
pertamanya sebagai menantu Mochtar Riyadi dia rasakan datang dari menantu
Mochtar yang lain.
Dia ceritakan secara
detail peristiwa di Bali itu di dalam buku ini. Sampai-sampai, Tahir menuntut
diadakan pertemuan keluarga besar Mochtar Riyadi untuk mengklarifikasi
peristiwa itu.
Pertemuan keluarga
besar tersebut akhirnya benar-benar dilakukan. Dua kali: di Singapura dan di
atas kapal pesiar di lautan Pasifik menuju Korea. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar