Kamis, 15 Oktober 2015

Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Bagian 1)

Menyoal Ribut-ribut Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Bagian 1)

Rhenald Kasali  ;  Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; Pendiri Rumah Perubahan
                                                  KOMPAS.COM, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Seperti investasi besar lainnya, pembangunan kereta cepat (high speed train) yang nilainya mencapai 5,5 miliar dollar AS menjadi berita yang kontroversial.

Pertama, siapa yang menyangka Presiden Joko Widodo memutuskan begitu cepat? Maklumlah, kita sudah amat terbiasa menyaksikan ketidakhadiran pengambilan keputusan strategis yang agile dan cepat.

Anda masih ingat bukan proyek-proyek infrastruktur yang sudah disetujui saja bahkan dibiarkan mangkrak bertahun-tahun? Rencana tinggallah rencana. Ribut sedikit saja sudah membuat penguasa takut dan tidak bekerja. Proyek jalan Tol Cipularang yang bisa dituntaskan setahun saja, bahkan dulu sempat dibiarkan berlubang dan berdebu lebih dari 5 tahun.

Kedua, Jepang yang sudah lama mengincar proyek ini ternyata tidak terpilih. Memang Jepang terkesan amat berhati-hati karena kereta dapat mengganggu industri otomotifnya yang market size-nya begitu besar di sini. Siapa pun tahu, sistem transportasi publik berbasiskan kereta api dapat mengganggu penjualan otomotif. Maka, wajar bila banyak menawar dan mengulur waktu.

Sikap Jepang tiba-tiba berubah begitu menyaksikan kesungguhan Tiongkok dalam bersaing. Jepang yang melakukan studi dan membuat FS terlebih dahulu merasa lebih berhak menentukan masa depan transportasi publik Indonesia, namun tetap menuntut jaminan pemerintah.

Ketiga, menjadi kontroversial karena keputusan pada level bisnis juga cepat sekali dan terus berkembang (adaptif). Karena tak melibatkan uang dan jaminan negara, maka Menteri Perhubungan pun menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri BUMN dengan skema business to business.

Melalui konsorsiumnya, Menteri BUMN merumuskan business model yang bukan menjadikannya sebagai proyek pembangunan kereta api semata-mata, melainkan hadir bersama megaproyek kota-kota baru di sekitar jalur kereta. Maka, Gubernur Jabar dan wali kotanya pun dilibatkan.

Dalam strategi pengembangannya, bukan lagi menjadi sekadar proyek transportasi, melainkan sebuah kegiatan ekonomi skala besar yang kelak akan melibatkan begitu banyak pelaku usaha besar maupun kecil. Value creation-nya amat besar sehingga melibatkan minimal 4 BUMN inti. Ini tentu mengecohkan para pembuat opini yang hanya berhitung cost-benefit-risk analyses pada aspek bisnis kereta api cepat semata-mata.

Keempat, proses cepat ini ternyata ada cost-nya, yaitu kurang terinformasinya publik atas opportunity serta nilai yang diciptakan. Dilema di era keterbukaan dan partisipasi publik ini memang dapat kita rasakan: antara hak untuk tahu publik dengan keputusan bisnis adaptif yang cepat berubah dengan motif ambil untung para makelar tanah. Akibatnya, para pengamat kebijakan publik dapat memberikan opini yang keliru atas ketidaksempurnaan informasi.

Kelima, persaingan Jepang vs Tiongkok dalam proyek ini telah menimbulkan opini pro dan kontra, apalagi ruang untuk pertumbuhan ekonomi di kedua negara itu makin terbatas. Mereka punya kepentingan, sementara kita punya kendali dan kepentingan yang harus dijaga pula. Kehadiran proyek infrastruktur skala besar di Tanah Air tentu saja menimbulkan daya tarik sendiri yang sudah pasti melibatkan perang opini yang dapat melibatkan conflict of interest yang cukup luas.

Tentu masih ada isu-isu lain dari proyek yang sebenarnya bagus bagi perekonomian kita, tetapi akhirnya terkesan kontroversial. Apakah itu pro-kontra jalur Jakarta-Bandung vs Jakarta-Surabaya, pertanyaan mengenai siapa saja pihak yang dapat bermitra, kesungguhan Tiongkok berinvestasi, di mana letak titik perberhentiannya, masalah apa yang akan muncul dalam tahap implementasi, negosiasi, dan lain sebagainya.

Tetapi, baiklah kita fokuskan pada keputusan yang sudah diambil dan bagaimana proyek ini bisa menciptakan value bagi perekonomian kita, bukan Tiongkok dan bukan Jepang.

Karena saya bukan Menteri BUMN, maka saya mencoba menganalisis dari kacamata ilmuwan dan praktisi bisnis yang saya miliki. Maaf, saya sama sekali tak mengerti soal politik, sehingga tidak mengaitkan analisis ini dengan masa jabatan presiden, sehingga pilihannya mungkin turut terpengaruh.

Saya hanya ingin membaca dan mengarahkan agar pemerintah paham soal ekosistem bisnis, peluang dan ancaman yang mungkin timbul. Saya juga ingin agar informasi ini dimilikipublik yang dapat membaca peluang yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk keluar dari perangkap ketakutan krisis. Bahan-bahannya saya kumpulkan setelah bersusah payah mengorek dari para pihak yang terlibat.

Perubahan business model

Beberapa tahun silam saya pernah meneruskan pertanyaan para pimpinan negara kita kepada pimpinan BUMN di Tiongkok tentang cepatnya pembangunan jalan tol di negeri itu. Harap maklum, selama 35 tahun Jasa Marga berdiri, hanya 850 kilometer jalan tol yang bisa kita bangun, sementara Tiongkok dalam 15 tahun bisa membangun puluhan ribu kilometer.

Jawabannya sederhana sekali. Pertama, model pembangunan infrastruktur di Tiongkok diserahkan kepada BUMN sehingga dapat menjadi aset yang tumbuh. Dan kedua, BUMN Tiongkok melakukan value creation yang utuh, bukan sekadar membangun jalan tol. Termasuk di dalamnya menjaga kepentingan publik yang luas, ya lingkungan, ya rakyat jelata, petani, dan pemilik tanah. Ini berbeda sekali dengan pembangunan jalan tol di sini.

Waktu saya tanyakan kepada para taipan kita yang membangun kawasan permukiman dan industri di tepi-tepi jalan tol, mereka pun buka mulut. "Pemerintah kita tidak pandai memanfaatkan peluang. Bangun jalan tol, tetapi hanya membebaskan jalannya saja. Kami lihat itu sebagai peluang, maka kami bebaskan tanah-tanah di dekat jalur keluarnya agar menjadi kawasan industri dan permukiman," kata seorang pengusaha.

Seorang taipan mengaku value creation-nya mencapai 30 hingga 50 kali lipat. Dari modal Rp 1 triliun, kembalinya Rp 30 triliun. Modalnya pun disediakan mitra asing. Pantaslah mereka begitu cepat masuk dalam daftar orang terkaya dunia.

Lantas bagaimana BUMN kita? Business model BUMN kita di masa lalu hanya fokus pada keahliannya, ya fokus. Ambil contoh saja Perumnas yang membangun kawasan permukiman, lalu menyerahkan perawatan wilayahnya pada pemerintah daerah. Business model mereka tidak menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan (recurring income).

Sekarang bandingkan dengan pengembang-pengembang superblok yang setiap bulan memungut service charge dari berbagai jasa yang mereka jual: kebersihan, listrik dan air, sewa, keamanan, parkir, dan seterusnya.

Kalau Anda tinggal di gedung bertingkat, Anda tentu paham apa yang saya maksud. Setiap bulan Anda kena pungutan antara Rp 500.000 hingga Rp 2 juta. Itu semua masuk ke tangan pengelola gedung, yang tak lain adalah pengembang itu sendiri.

Sekarang kita jadi mengerti mengapa return BUMN kita banyak yang kurang menarik, padahal mereka berusaha dalam bidang yang sangat menguntungkan dan pasarnya captive.

Kini ketika cara pandangnya berubah, giliran kita banyak yang tidak siap dan mati-matian mengkritik. Sementara, kalau BUMN kita kalah dengan Temasek (BUMN Singapura) atau Khazanah (Malaysia), kita juga ikut mengejek mereka. Padahal, keuntungan BUMN dapat menjadi kontributor penting bagi APBN. Ia juga bisa menjadi akselerator pembangunan yang bekerja sama dengan mitra-mitra usaha swasta nasional.

Kuncinya: Mengenal ekosistem bisnis

Ini bukan soal patgulipat memutar uang, tetapi pemahaman atas business model. Kalau Anda masih belum paham, mari kita lihat bisnisnya anak-anak muda yang kalau Anda kurang paham, Anda pasti akan mengatakan mereka tak bakalan untung. Misalnya, bagaimana mungkin Go-Jek bisa untung kalau hanya memungut Rp 15.000 untuk rute yang lumayan jauh. Padahal, ojek pangkalan saja untuk rute yang sama jauhnya menuntut Rp 30.000?

Anda juga pasti akan ditertawakan Starbucks kalau menjual secangkir kopi seharga Rp 7.000. Mengapa? Karena, ia saja terancam rugi walaupun harga secangkir kopi pahitnya (Americano) sudah Rp 40.000.

Seven Eleven Indonesia dengan model bisnis berbeda mampu membuktikan bahwa ia bisa untung sekaligus menjadikan outlet-nya teramai di dunia. Jawabannya adalah business model mereka berbeda.

Yang satu jual kopi, yang lainnya jual ekosistem anak muda, yang satu bisnis ojek, dan satunya bisnis aplikasi internet. Dan, untuk memahami hal ini, Anda perlu mempelajari ekosistem usaha yang digeluti.

Demikian juga Anda bisa menertawakan Tune Hotel yang menyewakan kamarnya di bawah Rp 100.000 per malam, dan mungkin Anda akan ikut menolak proposal bisnisnya karena hotel yang menjual kamar seharga Rp 1 juta per malam saja belum tentu menangguk untung.

Jangan lupa, Tune Hotel pernah memasang iklan beberapa tahun lalu dengan tarif Rp 35 (ya, tiga puluh lima perak) per malam. Kok bisa bertahan tahunan dan untung? Jawabannya karena business model hotel lainnya dengan Tune berbeda.

Sekarang saya ajak Anda melirik guncangan dalam industri media. Dulu penerimaan media berasal dari dua sumber, yakni sirkulasi dan iklan. Kini tidak lagi. Berbekal luasnya jaringan narasumber, kini setiap media punya unit yang mengelola bisnis seminar, pelatihan, event organizer, dan penerbitan.

Sama halnya dengan bisnis perbankan yang meraup untung bukan dari pendapatan bunga, melainkan fee-based income. Jadi kini sumber penerimaan perusahaan tak lagi dari satu atau dua sumber konvensional, tetapi lebih luas. Sumber itu datang dari ekosistem industrinya.

Hal serupa terjadi pada industri yang lain. Perusahaan-perusahaan kontraktor, misalnya, dulu sumber penerimaannya hanya dari bisnis konstruksi. Kini tidak lagi. Mereka juga menggali penerimaan dari bisnis jasa rekayasa, pengadaan, dan konstruksinya, atau biasa disebut Engineering, Procurement, and Construction (EPC).

Belajar dari membangun proyek orang lain, perusahaan kontraktor jadi bertambah pintar. Mereka nyaris tahu segala sektor industri. Maka, tak heran kalau bisnis perusahaan-perusahaan konstruksi melebar ke mana-mana. Ada yang masuk ke bisnis properti, pembangkit listrik, jalan tol, hingga menjadi perusahaan investasi (investment company).

Menggali bisnis dari ekosistem industrinya membuat perusahaan lebih punya banyak peluang untuk menjaring pendapatan. Itulah yang dilakukan perusahaan-perusahaan kita, termasuk BUMN. Itulah dunia mereka. Maka, saya tak habis mengerti ketika ada pihak yang begitu khawatir saat BUMN-BUMN kita diajak berkongsi menggarap proyek kereta cepat dalam koridor Jakarta-Bandung.

Mereka khawatir BUMN kita tak mampu, bakal merugi, atau modalnya tidak cukup. Tapi, itu belum cukup. Tuduhannya banyak sekali, yang intinya: sudahlah, jangan lakukan, Anda tak akan sanggup! Bahkan ada yang mengatakan BUMN-BUMN kita mau karena dipaksa menterinya.

Pendapat semacam ini jelas naif dan merendahkan kemampuan BUMN kita yang sudah piawai dalam berbisnis. Bahwa mereka masih perlu belajar, ya, itu sudah pasti. Tetapi, sudah saatnya kita satukan kekuatan, percayai bangsa sendiri, dan sama-sama hadapi kekuatan lobi asing yang modalnya tak terbatas untuk memecah belah masa depan bangsa ini.

Zaman sudah berubah, pengetahuan kita pun jauh lebih baik. Sayang kalau para pengamat kurang berani menggalinya. Konsep bisnis memang bukan hal yang mudah untuk dianalisis dalam sejam dua jam. Ilmu ini terus berkembang.

Baiklah, bagaimana soal peluang bisnis yang akan muncul dalam ekosistem proyek koridor Jakarta-Bandung ini akan saya bahas lebih lanjut besok. Semoga Anda bersabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar