Kamis, 15 Oktober 2015

Mempersoalkan RUU Kebudayaan

Mempersoalkan RUU Kebudayaan

Saratri Wilonoyudho  ;  Guru Besar Universitas Negeri Semarang
                                                      JAWA POS, 12 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DISKUSI untuk ”menyambut” Rancangan Undang-Undang Kebudayaan sangat menarik untuk ditanggapi. Kebudayaan adalah masalah yang sangat kompleks sehingga tidak bisa disederhanakan hanya untuk masalah tertentu, misalnya, produk budaya, terutama kesenian.

Banyak pengamat sepakat bahwa RUU Kebudayaan lebih bersifat ”otoriter”. Sebab, ”semangatnya” ingin mengontrol atau mengatur. Artinya, penyusun RUU tersebut tidak paham apa sesungguhnya yang disebut kebudayaan itu.

Berbicara masalah kebudayaan adalah berbicara tentang keberadaan manusia di muka bumi ini yang memiliki suatu cara hidup yang berkembang, kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Dari titik itu saja, RUU Kebudayaan belum tegas, mana yang akan diatur, manusia sebagai ”resipien” atau ahli waris kebudayaan atau manusia sebagai ”agen” kebudayaan?

Manusia ketika lahir memang hanya menerima ”nasib” karena hanya diwarisi kebudayaan. Namun, ketika mereka mulai bisa berpikir dan bertindak, peran selanjutnya sudah menanti,yaknibagaimanaiabertindak sebagai ”agen” kebudayaan?

Karena menyangkut cara hidup dan berkembang, sudah pasti wujud kebudayaan sangat rumit. Sebab, menyangkut masalah agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.

Dengan demikian, jelas bahwa kebudayaan adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Wujud kebudayaan yang abstrak, misalnya, kumpulan ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan itu terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat.

Karena itu, kata kunci dari gagasan tersebut, antara lain, adalah daya cipta. Jika gagasan tersebut dinyatakan dalam bentuk tulisan, wujudnya adalah karangan. Baik berbentuk buku-buku, artikel, maupun pementasan satu karya seni dan sebagainya. Apakah itu yang akan dikontrol RUU tersebut? Di masa lalu ada istilah ”pemberedelan” atau harus ada izin khusus ketika ingin mementaskan suatu karya seni. Kata kunci dari pemerintah adalah kebudayaan, dalam hal ini seni, dihayati dengan cita rasa tidak kontradiktif, apalagi sampai menimbulkan oposisi.

Wujud kebudayaan yang lebih konkret adalah sistem sosial, yakni segala bentuk tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu untuk saling berinteraksi menurut pola-pola tertentu yang berdasar adat tata kelakuan. Disebut konkret karena sistem sosial terjadi dalam kehidupan sehari-hari serta dapat diamati dan didokumentasikan.

Wujud kebudayaan lain yang konkret adalah artefak, yakni kebudayaan fisik yang berupa hasil aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau halhal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.

Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Demikian komprehensifnya pengertian kebudayaan karena menyangkut masalah politik, ekonomi, agama, moral, dan seterusnya. Dengan kata lain, kebudayaan adalah suatu konfigurasi besar, karena semua sektor mendapatkan bentuk, yang dalam istilah Karl Jaspers disebut sebagai das umgreifende. Karena itu, organisasi sosial adalah prasyarat yang harus ada agar kebudayaan mendapatkan landasan materiilnya.

Kebudayaan Indonesia berkembang dan merupakan campuran serta internalisasi dari berbagai nilai yang berkembang.

Jadi, pada masa mendatang juga akan sangat sulit, bahkan untuk mempertahankan, Indonesia atau Jawa ”asli” misalnya, karena bercampur baurnya nilai kebudayaan itu dari berbagai belahan kebudayaan dunia lainnya.

Jadi, kalau mau dipertahankan dan dikontrol dengan UU, misalnya, bagaimana caranya kita menghentikan arus ”sinkretisme” budaya seperti itu? Sederhana saja dalam dunia yang sangat ”sempit” ini yang oleh McLuhan disebut sebagai ” global village” karena kemajuan teknologi dan komunikasi, sepertinya antarnegara sudah tidak ada batasnya lagi.

Lalu, apa yang akan diharapkan dari RUU Kebudayaan? Kebudayaan sebagai wujud spontanitas atau sebagai hasil perencanaan (seperti diplomasi kebudayaan yang dilakukan Jepang dan Korea –untuk menyebut dua contoh negara yang berhasil di luar negaranya)? Tanpa perencanaan dan strategi kebudayaan, memang akan sulit pula untuk menyebut apa itu puncak kebudayaan nasional.

Yang harus dijamin oleh negara, misalnya, adanya ”iklim” yang memungkinkan kesenian, ilmu, teknologi, pendidikan, dll dapat tumbuh subur yang berlandaskan kearifan lokal. Artinya, diperlukan ”tegangan” yang kreatif antara ”membiarkan” spontanitas dan kreativitas masyarakat dalam mengembangkan kebudayaan dan perencanaan atau kontrol kebudayaan yang sehat.

Singkat kata, banyak persoalan dalam RUU Kebudayaan. Sebab, kebudayaan menyangkut satunya pemahaman, cita rasa, kepentingan, serta aksentuasi yang berbeda, misalnya, antara pemerintah, seniman, ilmuwan, dan masyarakat pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar