Modern agar Tidak Anti-Apa pun
Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos
|
JAWA
POS, 12 Oktober 2015
KETIKA berada di Singapura bulan lalu, terbaca oleh saya jawaban
Perdana Menteri Lee Hsien Loong atas pertanyaan media setempat mengenai
Indonesia yang lagi melemah ekonominya. Jawaban itu kurang lebih begini:
"Di sana lagi meningkat aspirasi nasionalisme. Kalau hal
itu bisa diarahkan ke hal-hal yang positif akan menjadi kekuatan yang
besar."
Ucapan itu kelihatannya merupakan sebuah kritik yang amat halus.
Atau sebuah saran tersamar yang kita sendirilah yang harus bisa menafsirkan
apa maksudnya. Dalam hal politik, masyarakat Singapura tidak lagi terlalu
mengkhawatirkan Indonesia. Pergolakan politik tahun 1998 dianggap tidak akan
pernah terjadi lagi.
Yang lagi jadi buah bibir di sana justru Malaysia. Mereka sangat
mengkhawatirkan perpolitikan Malaysia. Mereka khawatir Malaysia masih akan
menghadapi tahap seperti apa yang dialami Indonesia di tahun 1998.
Orang Singapura bersyukur ada sultan Johor di Malaysia. Negara
bagian yang paling dekat dengan Singapura itu memberikan jaminan keamanan
bagi penduduk Malaysia dari ras apa pun. Sultan Johor kelihatannya memang
lagi tidak mesra dengan Perdana Menteri Malaysia yang sedang disorot
sekarang: Mohammad Najib Razak. Wakil perdana menteri yang dia pecat bulan
lalu itu adalah putra Johor.
Singapura, demikian
juga Hongkong dan negara-negara Barat, memang mencatat gejala naiknya
nasionalisme di Indonesia. Bahkan, ada yang menyebutnya bukan sekadar
nasionalisme, melainkan sudah mengarah ke nasionalisme sempit. Kecenderungan
nasionalisme sempit itu adalah merasa tidak memerlukan negara lain,
anti-negara lain, anti-impor, anti bantuan, antiutang, dan anti-apa saja yang
datang dari luar negeri.
Mereka mencatat gejala itu bisa dilihat dengan jelas berkembang
di Indonesia. Misalnya, setiap kali pemerintah mengumumkan rencana impor
daging atau impor beras atau impor apa saja, sentimen di publik selalu
negatif.
Demikian juga dengan utang luar negeri. Bahkan, di saat bencana
asap sudah demikian hebatnya pun, masih ada saja pejabat tinggi yang
mengatakan begini: kita tidak memerlukan bantuan negara lain. Mungkin dia tidak bermaksud begitu. Tapi, dia tahu, kalau bisa
mengatakan hal seperti itu, dia akan mendapat sambutan hangat dari
masyarakat.
Saya juga masih sering mendengar banyak orang di Indonesia
mengatakan bahwa kita harus bangga pada India. Maksudnya, agar kita
mengikutinya. Di sana, katanya, menganut paham swadesi. Yang kalau di kita
diistilahkan dengan berdikari.
Rupanya orang-orang itu sangat ketinggalan informasi. Harap
diketahui: India sudah lamaaaaaa meninggalkan prinsip swadesi. Sudah lebih
dari 20 tahun. Yakni sejak India hampir saja bangkrut di tahun 1980-an.
Kalaupun mau menampilkan contoh negara yang masih berusaha
berdikari sekarang ini, tinggal satu atau dua saja: Korea Utara dan
Venezuela. Bagaimana dengan Kuba? Kuba baru saja meninggalkannya dua bulan
lalu.
Benarkah pasang naik nasionalisme sedang terjadi di Indonesia?
Nasionalisme sempitkah itu?
Kalau dilihat dari wacana di masyarakat, talk show di
televisi, orasi di panggung-panggung demo dan pidato-pidato di lingkungan
pejabat pemerintah kelihatannya memang begitu. Tapi,
kalau dilihat dari praktik sehari-hari kelihatannya tidak begitu. Kita tetap
impor daging, impor garam, dan impor apa pun. Bahkan, coba pikirkan, bisakah
kita berhenti makan roti dan terutama mi? Padahal, kita ini harus impor
tepung terigu 100 persen! Sampai kapan pun. Karena kita tidak bisa menanam
gandum.
Dan kita juga sulit berhenti mengutang.
Maka, saya pun mencoba menafsirkan komentar perdana menteri
Singapura itu. "Kalau nasionalisme itu bisa diarahkan yang baik, bisa
menjadi kekuatan besar." Artinya, kalau tidak diarahkan yang baik, bisa
menjadi sumber bencana.
Artinya, nasionalisme itu baik. Agar jangan tenggelam pada
kolonialisme. Yang penting, nasionalisme itu jangan sampai jatuh menjadi
nasionalisme sempit.
Saya belum pernah menemukan istilah sebagai lawan kata
"nasionalisme sempit".
Tapi, saya pernah mendengar istilah "kolonialisme
modern". Maka, bagaimana kalau kita ciptakan
istilah baru bahwa lawan kata "nasionalisme sempit" itu adalah
"nasionalisme modern"?
Lalu seperti apa
nasionalisme modern itu dalam praktiknya?
Tidak anti-impor,
tapi harus mati-matian mengusahakan agar barang yang tidak harus diimpor
janganlah mudah diimpor.
Tidak anti-impor,
tapi nilai ekspor kita harus berkali lipat lebih besar dari nilai impor kita.
Artinya, ekspor adalah jihad yang harus diutamakan.
Tidak antiutang, tapi sekali berutang harus digunakan untuk
proyek yang benar-benar menghasilkan uang yang bisa dipakai untuk membayar
utang itu. Utang itu akan bahaya kalau uangnya dipakai untuk hal-hal yang
tidak produktif. Apalagi kalau 30 persennya menguap.
Pokoknya, jangan
anti-apa pun, tapi juga jangan mudah menyerah.
Contohnya bisa amat panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar