Menimbang Hari Tua Pekerja
Amri Yusuf ; Praktisi Jaminan Sosial
|
KOMPAS,
15 Oktober 2015
Setelah melalui perdebatan atau diskusi yang panjang, pemerintah
akhirnya merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan
Hari Tua. Tata cara pembayaran JHT sebagaimana diatur Pasal 26 PP No 46/2015,
subtansinya oleh PP No 60/2015 direvisi menjadi sebagai berikut: manfaat JHT
wajib dibayarkan kepada peserta apabila peserta mencapai usia pensiun;
peserta mengalami cacat total tetap; atau peserta meninggal dunia (Ayat 1).
Melalui PP No 60/2015, pemerintah ingin mengembalikan spirit dan tata cara
pembayaran persis seperti diamanatkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN).
Untuk mengakomodasi berbagai kondisi atau situasi yang belum
diatur UU No 40/2004 tentang SJSN, dalam Pasal 26 Ayat (5) PP No 60/2015
tentang perubahan atas PP No 46 tentang Penyelenggaraan Program JHT,
pemerintah membuat terobosan atau ijtihad dengan mengintroduksi klausul yang
berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
pembayaran manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri".
Menindaklanjuti amanat itu, Menteri Ketenagakerjaan RI kemudian
menerbitkan Permenaker No 19/2015 tentang tata cara dan persyaratan
pembayaran manfaat JHT. Permenaker tersebut menjawab dan menuntaskan semua
aspirasi dan kontroversi yang menyertai terbitnya PP No 46/2015.
Pemerintah melalui Permenaker No 19/2015 melakukan ijtihad
dengan mengelaborasi persyaratan pembayaran JHT bagi peserta yang mencapai
usia pensiun. Dalam Pasal 3 Ayat (2) disebutkan bahwa: "manfaat JHT bagi
peserta mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) termasuk
juga peserta yang berhenti bekerja". Peserta yang berhenti bekerja
meliputi: peserta yang mengundurkan diri; peserta yang terkena PHK; peserta
yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya (Ayat 3).
Terhadap peserta yang mengundurkan diri atau terkena PHK, selain
harus melengkapi sejumlah persyaratan, seperti kartu asli peserta BPJS
Ketenagakerjaan, surat keterangan pengunduran diri atau PHK dari perusahaan
tempat bekerja, serta fotokopi KTP dan kartu keluarga yang masih berlaku,
maka akan mendapatkan pembayaran tunai dan sekaligus setelah melewati masa
tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran
diri atau PHK diterbitkan.
Alasan revisi
Langkah pemerintah melakukan revisi PP JHT dan menerbitkan
Permenaker No 19/2015, jika kita cermati secara saksama, didasarkan kepada
beberapa pertimbangan. Pertama, struktur dunia kerja di Indonesia masih
didominasi para pekerja alih daya (outsourcing),
yang turnover keluar masuknya
kelompok pekerja ini cukup tinggi, masa kerjanya bersifat jangka pendek
(rata-rata 2 tahun-3 tahun) dan ikatan kerjanya bersifat kontraktual. Karena
bersifat kontraktual dengan masa kerja yang relatif singkat, kepesertaan
mereka dalam program JHT pun menjadi tidak berkesinambungan (sustainable). Mereka terpaksa berhenti
mengiur karena sudah tidak bekerja lagi.
Syarat masa kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu
bulan, sebagaimana tertera dalam ketentuan pada era Jamsostek, dianggap sudah
tidak relevan. Pekerja yang di-PHK dan mengundurkan diri, faktanya, tidak
mudah untuk bisa kembali bekerja. Oleh sebab itu, daripada peserta "dipaksa"
menunda pengambilan manfaat JHT-nya, sementara di sisi yang lain mereka susah
untuk bisa kembali bekerja dalam waktu singkat, maka prasyarat masa
kepesertaan lima tahun tersebut dieliminasi. Ketentuan ini sesungguhnya juga
tak sejalan dengan filosofi dan esensi program JHT. Filosofi dan esensi
program JHT hanya relevan bagi pekerja permanen (permanent employee) dan
masih produktif bekerja.
Kedua, dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang melambat yang
berakibat kepada menurunnya daya beli masyarakat, kebijakan pemerintah yang
memperkenankan para pekerja yang mengundurkan diri dan mengalami PHK untuk
mengambil JHT dengan masa tunggu hanya satu bulan bisa menjadi jaring dan
katup pengaman ekonomi. Karena UU Pesangon tak efektif, manfaat JHT yang diambil
para pekerja diharapkan bisa kembali memperkuat daya beli dan menggerakkan
konsumsi masyarakat di kala ekonomi mengalami krisis.
Meningkatnya kemampuan konsumsi itu diharapkan bisa kembali
menggairahkan roda perekonomian nasional. Spirit ini sejalan misi dan
filosofi program jaminan sosial. Dalam konteks makroekonomi, jika ekonomi
mengalami pertumbuhan, program jaminan sosial berfungsi menyedot surplus
ekonomi dalam bentuk iuran, untuk memperkuat tabungan nasional. Sebaliknya,
jika ekonomi mengalami penurunan atau krisis, program jaminan sosial harus
membayarkan jaminannya kepada peserta untuk memperkuat daya beli. Fungsi
makroekonomi jaminan sosial inilah yang kelihatannya ingin dikedepankan oleh
revisi PP JHT di atas.
Ketiga, secara sosiologis, masyarakat pekerja di Indonesia
preferensi dan kerangka berpikirnya masih bersifat jangka pendek. Mayoritas
pekerja di Indonesia masih fokus untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan belum
mau berpikir untuk antisipasi risiko pada masa depan. Perspektif tersebut boleh
jadi dipicu oleh kenyataan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih
menganut prinsip extended family
(keluarga besar). Risiko hari tua pada masa depan tak perlu terlalu
dikhawatirkan karena nanti apa pun risikonya di masa depan bisa diantisipasi
karena masih ada anak, menantu, saudara, dan lain-lain yang bisa diharapkan
menolong kebutuhan ekonominya.
Kondisi tersebut berbeda dengan para pekerja di negara-negara
maju. Umumnya para pekerja di negara maju, karena menganut prinsip keluarga
inti, tidak mau atau menolak disuruh mengambil tabungan hari tuanya pada usia
produktif. Karena mereka memiliki kesadaran yang sangat kuat, masa depan
mereka di hari tua, harus mereka sendiri yang memikirkan dan
mempertanggungjawabkannya. Tidak bisa menggantungkan hidup di hari tua kepada
anak, menantu, dan saudara-saudara. Karena mereka menyadari bahwa anak-anak,
menantu dan saudara-saudara mereka pasti punya kebutuhan dan persoalan
sendiri di masa depan. Tidak etis jika mereka pada masa tua menjadi beban
bagi orang lain. Kesadaran inilah yang kelihatannya belum tumbuh pada
sebagian besar pekerja di Indonesia.
Panik klaim
Terlepas dari apa pun alasan yang mendasarinya, terbitnya PP No
60/2015 pada pertengahan Agustus 2015, yang kemudian dalam waktu satu minggu
diikuti keluarnya Permenaker No 19/2015, disambut antusias para buruh di
Indonesia. Tepat 1 September 2015, hampir seluruh kantor cabang BPJS
Ketenagakerjaan diserbu para peserta yang ingin mengambil manfaat JHT.
Peserta yang mengambil klaim JHT tiba-tiba membeludak, antreannya mengular
hingga ke jalan raya. Ruang pelayanan kantor-kantor cabang BPJS
Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia penuh sesak diisi para pekerja.
Berdasarkan data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan diperoleh
informasi bahwa khusus untuk bulan September sejak tanggal 1 sampai 22
September 2015 saja, jumlah peserta yang mengambil klaim JHT mencapai 246.844
orang, dengan klaim yang dibayarkan Rp 1,57 triliun. Rinciannya adalah
mencapai usia pensiun 2.835 kasus, meninggalkan NKRI 67 kasus, mengundurkan
diri dan PHK 179.744 kasus, cacat tetap total 2 kasus, meninggal 1.422 kasus
dan mengambil sebagian (sebesar 10 persen, untuk kepesertaan mencapai 10
tahun) 62.774 kasus.
Pertanyaannya, mengapa jumlah peserta yang mengajukan klaim
tiba-tiba meningkat dan kantor BPJS Ketenagakerjaan diserbu peserta? Selain
karena alasan-alasan di atas, panik klaim yang kini sedang berlangsung
ternyata dipicu sebab-sebab lain.
Di kalangan peserta, terutama melalui media sosial, sempat
beredar dua jenis rumor. Isu pertama yang berkembang adalah bahwa kebijakan
yang memperkenankan peserta yang mengundurkan diri dan mengalami PHK untuk
mengambil manfaat JHT hanya berlaku satu bulan dan bersifat temporer.
Ketentuan masa tunggu satu bulan, oleh beberapa pihak, dipelintir bahwa
kebijakan tersebut hanya berlaku satu bulan. Setelah itu, kebijakan klaim JHT
akan kembali direvisi dan nantinya mengikuti ketentuan UU No 40/2004 tentang
SJSN.
Kedua, beredar kabar bahwa kondisi keuangan BPJS Ketenagakerjaan
tidak solid. Jika para peserta melakukan rush claim secara bersamaan,
kemampuan keuangan BPJS Ketenagakerjaan bisa kolaps dan akan mengalami
kesulitan cash flow. Isu defisit
keuangan yang dialami BPJS Kesehatan dianggap bisa menerpa BPJS
Ketenagakerjaan juga.
Kedua rumor itu tak benar. Pemerintah tak pernah mengatakan
bahwa kebijakan revisi itu bersifat temporer. Isu itu sangat menyesatkan
karena kemampuan keuangan BPJS Ketenagakerjaan saat ini cukup likuid dan
solvable, sebagaimana bisa dilihat dari neraca publikasinya.
Meskipun regulasi tentang JHT sudah direvisi dan aspirasi para
pekerja telah diakomodasi, jika bukan karena kebutuhan yang mendesak,
sebaiknya para pekerja perlu bersikap rasional dan menimbang dengan matang
tatkala akan memanfaatkan dana JHT. Jika ada sumber-sumber pendapatan lain
yang masih dimiliki untuk memenuhi konsumsi saat ini, JHT perlu dibiarkan
untuk mengamankan kebutuhan pekerja di usia tua.
Ibarat celengan, tabungan hari tua tersebut harus terus kita isi
dan penuhi, dengan menyisihkan sebagian pendapatan saat ini ketika kita masih
bekerja dan produktif. Akumulasi dana JHT yang sudah terkumpul dalam jumlah
yang signifikan, jika nanti diambil sekaligus, bisa dimanfaatkan untuk
kegiatan produktif lain pada saat kita memasuki usia tua. Apalagi, imbal
hasil yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan cukup siginifikan serta bebas dari
pajak dan biaya administrasi. Program JHT merupakan tabungan wajib dan
dipaksakan oleh UU. Sisi edukatif dari program JHT adalah ingin membiasakan
pekerja menabung dan memikirkan masa depannya sejak mereka mulai bekerja.
Rupanya hingga saat ini filosofi tersebut belum dipahami secara utuh oleh
pekerja di Indonesia. Masyarakat pekerja Indonesia belum melihat JHT sebagai
salah satu instrumen untuk memitigasi risiko di hari tua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar