Beberapa Isu Strategis Pendidikan Tinggi
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Oktober 2015
KETIKA Presiden Joko Widodo
mengambil kebijakan untuk memisahkan pendidikan tinggi dengan pendidikan
dasar dan menengah, banyak praktisi dan ahli pendidikan meragukan desain
kebijakan ini akan efektif. Kita bisa mengingat, misalnya, bagaimana
Menristek Dikti M Nasir meragukan nomenklatur kementeriannya yang dikritik
para rektor terlalu berorientasi pada aspek risteknya ketimbang diktinya.
Persoalan kedua yang muncul dan
menjadi isu nasional ialah pemisahan anggaran pendidikan secara keseluruhan. Jika
ketika di Kemendikbud, perguruan tinggi masuk skema pembiayaan 20% APBN,
berapa persen sebenarnya angka ideal kebutuhan anggaran ketika dikti dan
ristek dijadikan satu?
Perubahan nomenklatur
kementerian memang tak serta-merta mengubah kondisi perguruan tinggi kita
yang memang sedang mengalami krisis. Dalam A New Vision of the Public University, Michael Burawoy (2011),
menyatakan bahwa saat ini universitas publik di berbagai belahan dunia sedang
mengalami krisis karena ada benturan berbagai kepentingan dengan kebijakan
negara.
Pada satu sisi, posisi penting universitas publik melahirkan
keinginan agar universitas mampu mengeluarkan gagasan dan solusi berguna bagi
masyarakat. Di sisi lain, pemotongan anggaran negara dan invasi konsep
‘pasar’ pada setiap dimensi universitas telah mendorong universitas publik
melakukan komersialisasi pendidikan.
Konsep ‘otonomi universitas’
kemudian melahirkan tuntutan kebebasan melakukan apa pun yang dinilai mampu
mendorong performa universitas, di antaranya melalui restrukturisasi
fakultas-fakultas, mempekerjakan pengajar paruh waktu, outsourcing pekerjaan jasa, dan menaikkan biaya kuliah mahasiswa.
Dalam semangat komersialisasi universitas, pengetahuan tak lagi dianggap
barang publik yang seharusnya disediakan oleh cabang institusi negara bagi
semua orang. Komodifikasi ilmu pengetahuan telah mengubah wajah universitas
publik menjadi sekadar pabrik pengetahuan, toko kelontong dari segala jenis
ilmu dan keterampilan.
Memilih prioritas
Dalam sebuah laporan majalah
Forbes 2014, beberapa isu strategis yang mengganggu kondisi perguruan tinggi
di belahan penjuru dunia dipaparkan secara panjang lebar.Pertama, disparitas
pembiayaan jelas menempati urutan pertama, karena jika pada aspek pembiayaan
sudah memiliki kendala, output perguruan tinggi akan mengalami masalah.
Pembiayaan tidak hanya berimplikasi pada aspek sosial sebuah perguruan tinggi
seperti lemahnya daya serap tenaga kerja sehingga menimbulkan masalah sosial,
tetapi juga berimplikasi pada kualitas perguruan tinggi secara keseluruhan.
Karena itu, sebuah UU baru mengenai pentingnya keterkaitan antara perguruan
tinggi dan dunia usaha dalam konteks pengembangan mutu serta peningkatan
kemampuan riset penting untuk dibuat.
Kedua, jika UU tersebut bisa
dibuat, posisi tawar perguruan tinggi terhadap dunia usaha akan memperoleh
posisi yang sama tinggi dan mengakibatkan penempatan serta pengembangan
tenaga kerja yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Masalah yang muncul selama ini
ialah banyaknya jumlah lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar
kerja. Pada tingkat ini, penting bagi setiap perguruan tinggi melakukan
review kurikulum mereka berdasarkan prinsip pendidikan berbasis kompetensi (competency based education).
Tentu saja prinsip competency based education tidak
semuanya cocok dengan kondisi perguruan tinggi kita. Agar arif dan bijaksana,
seyogianya perguruan tinggi melakukan juga membuat riset-riset berbasis
kebutuhan pasar yang cocok dengan tuntutan kerja dan kondisi geografis
setempat. Secara sederhana, amatlah naif jika ada perguruan tinggi yang
berlokasi di daerah pegunungan dan kaya dengan hasil hutan dan pertanian di
sekitar mereka, kemudian malah membuat program atau prodi akuntansi atau
perbankan. Ketiadaan riset praktis inilah yang membuat sebuah perguruan
tinggi terkadang sulit dimonitor ketika mengusulkan sebuah prodi baru.
Isu ketiga yang juga harus
dikelola dengan cermat ialah persoalan akreditasi yang semakin lama menjadi
kurang berkualitas. Ketiadaan kerja sama dengan dunia usaha dan industri
tertentu membuat akreditasi kebanyakan hanya dilakukan secara klinis, yakni
badan akreditasi nasional hanya diisi sekelompok profesor doktor dari
perguruan tinggi yang dianggap sudah maju, tetapi abai dalam mengikutsertakan
dunia usaha dan lembaga lain dalam proses akreditasi. Kebutuhan akreditasi
yang komprehensif, dalam konteks Indonesia, jelas membutuhkan banyak sekali
kerja sama antarlembaga, termasuk dunia usaha dan industri.
Selain itu, masalah krusial
yang juga dihadapi oleh perguruan tinggi kita ialah ketiadaan konsensus
tentang pola asesmen yang digunakan dalam konteks penjaminan mutu. Yang saya
maksud dengan konsensus dalam aspek asesmen dan evaluasi adalah komitmen
untuk meninjau ulang pola rekrutmen mahasiswa dari sekolah menengah, serta
pola asesmen yang tepat bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan
program. Artinya, pola asesmen dan evaluasi kinerja perguruan tinggi terhadap
input-output jelas harus dilakukan melalui skema kerja sama dengan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dunia usaha dan industri, serta
lembaga lain yang dianggap kompeten.
Terakhir, di tengah terjadinya
krisis ekonomi yang sangat fluktuatif, jelas dibutuhkan kepemimpinan
perguruan tinggi yang sanggup mengeluarkan perguruan tinggi dari kondisi
sulit. Dalam catatan Forbes, banyak perguruan tinggi di dunia mengalami
krisis kepemimpinan karena tidak semua rektor sebuah perguruan tinggi
memiliki kapasitas manajerial sekaligus pengetahuan yang mumpuni untuk
mengajak sebuah perguruan tinggi keluar dari krisis. Semoga catatan pendek ini bermanfaat bagi kementerian baru kita,
ristek dan pendidikan tinggi, eh... pendidikan tinggi dan ristek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar