Membatasi Usia KPK
Suyatno ; Peneliti pada FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Oktober 2015
KPK seolah tak putus dirundung
malang. Setelah sejumlah kasus hukum menimpa sebagian pimpinan KPK, kini KPK
kembali menghadapi deraan inisiatif perubahan Undang-Undang KPK yang beredar
di kalangan media. Salah satu pasal draf perubahan UU itu menyebutkan bahwa
usia KPK hanya dikehendaki 12 tahun sejak undang-undang itu diberlakukan.
Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak
undang-undang ini diundangkan, demikian bunyi Pasal 5. Konon tujuan perubahan
ialah untuk memperkuat kinerja KPK.
Dasar draf yang membatasi usia
KPK konon untuk menguatkan lembaga KPK. Dalih penguatan KPK berbasis
pembatasan itu juga diikuti tiga perubahan lain yang akan signifikan
berpengaruh pada KPK.Ketiganya yakni jumlah nominal korupsi yang ditangani
KPK menjadi Rp50 miliar, hak penyadapan yang memerlukan izin dan pembentukan
dewan eksekutif KPK. Padahal, menurut salah satu Ketua KPK, teknis pencegahan
dan penindakan dalam UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK sudah baik. Evaluasi
yang dibutuhkan menyangkut manajemen struktural.
Dasar pemikiran perubahan itu
KPK tidak lagi dibutuhkan bila alat penegak hukum lain sudah bisa menjalankan
pemberantasan korupsi lebih baik ketimbang KPK. Konon pe rubahan itu akan
diikuti juga perubahan undang-undang tentang penegak hukum lain untuk
memperbaiki kinerja mereka. Berarti akan dilakukan revisi terhadap UU Polri,
Kejaksaan, dan juga lembaga peradilan. Dalam kondisi apa sebenarnya KPK tidak
dibutuhkan lagi? Bagaimana jika KPK waktu 12 tahun ternyata belum cukup?
Tujuh dampak
Sebenarnya KPK tidak dibutuhkan
lagi bila negara ini bebas dan bersih dari korupsi, saat indeks persepsi
korupsi (IPK) Indonesia sudah di atas 90, setara dengan negara paling bersih dari
korupsi seperti Denmark dan Selandia Baru. Kepercayaan publik terhadap
kinerja pemberantasan korupsi oleh kepolisian, kejaksaan, dan lembaga
pengadilan sudah sangat tinggi. Angka kebocoran anggaran kurang dari 0,1%. Demikian
juga para penilap uang rakyat tidak akan bisa tidur karena hukuman yang
sangat berat mengancam mereka. Saat itulah, layak melambaikan tangan
perpisahan kepada KPK tanpa cara prematur.
Adanya pembatasan usia KPK
hanya 12 tahun setidaknya akan memunculkan tujuh hal. Pertama, ketidakjelasan
efektivitas lembaga pemberantasan korupsi. Tujuan perubahan Undang-Undang KPK
dikatakan untuk memperkuat KPK. Namun, perubahan yang dilakukan mengandung
logika yang kontradiktif. Dengan kewenangan besar selama ini saja KPK masih
menjumpai sejumlah hambatan, apalagi bila KPK dibatasi. Pembatasan berarti
memperkecil peluang, waktu, dan kewenangan KPK.
Kedua, akan terjadi pembusukan
waktu. Kinerja KPK hanya mempertahankan kondisi yang ada menuju habisnya
waktu 12 tahun. Tekanan psikologis akan menerpa segenap unsur di KPK. Belum
lagi pemikiran akan masa depan para personel di dalamnya pasca-KPK telah
genap berusia 12 tahun.
Ketiga, hilangnya semangat
pemberantasan korupsi pada diri KPK menuju sisa waktu menjelang pensiun.
Pengaruh post power syndrome akan
segera membayangi segenap unsur KPK. Sebagaimana dialami pegawai menghadapi
pensiun sudah merasakan penurunan semangat kerja yang cukup signifikan.
Keempat, menjadikan KPK hanya
sebagai simbol (pa jangan). Perubahan nominal jumlah korupsi yang menjadi
wilayah KPK dari Rp1 menjadi Rp50 miliar akan menjadikan KPK hanya sebagai
pajangan. KPK akan sangat jarang menangani kasus korupsi akibat tidak
mencapai jumlah nominal yang menjadi syarat. Lambat laun KPK akan menganggur
dan ditinggalkan.
Kelima, kondisi pemberantasan
korupsi mengalami kemunduran. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada alat
penegak hukum selain KPK, sebelum hasil perubahan peningkatan kinerja
terlihat, kemunduran akan menimpa.Jika alat penegak hukum masih belum bisa
melebihi peran KPK dalam pemberantasan korupsi, membubarkan lembaga
antirasywah itu berarti menciptakan kemunduran.
Keenam, KPK bukan lagi lembaga
antikorupsi istimewa. Sejumlah pembatasan telah mendegradasi lembaga itu
menjadi biasa-biasa saja. Efek jera pada kebiasaan korupsi menjadi kian lemah
seiring berkurangnya kewenangan KPK. Rasa takut terhadap pengawasan KPK akan
terjadinya korupsi akan semakin tipis.
Ketujuh, menjadi preseden bagi
lembaga komisi negara lainnya. Pembatasan terhadap KPK dilandasi pemikiran
bahwa KPK ialah lembaga ad hoc.
Bila ide perubahan undang-undang itu menjadi kenyataan, akan menjadi semacam
yurisprudensi bagi sejumlah komisi negara yang lain akan mengalami hal yang
senasib. Taruhlah lembaga ad hoc memang
akan bubar, tapi dampak dan hasil kinerjalah yang menjadi tolok ukur
keberadaannya, bukan sengaja dibatasi angka usianya melalui produk aturan
yang ada.Bila dibiarkan berkembang, depresiasi nilai dan peran akan meluas.
Cara bijak
Akan lebih bijaksana bila DPR
memperjuangkan terlebih dahulu pembenahan terhadap para penegak hukum di
negeri ini selain KPK. Revisi terhadap UU alat penegak hukum bisa dilakukan
tanpa buru-buru membonsai KPK terlebih dahulu. Hal itu juga sebagai tolok
ukur kinerja dan niat baik DPR dalam upaya peningkatan fungsi dan peran
penegak hukum. Jika itu tidak dibuktikan terlebih dahulu, dugaan ada nya
upaya pelemahan KPK akan sulit dihindarkan.
Diperlukan upaya memastikan
terlebih dahulu bahwa semua penegak hukum telah menjalankan fungsi mereka
dengan optimal dalam track yang
benar. Justru orientasi lebih diupayakan bagi kepastian itu. Penguatan
dilakukan pada pihak yang justru membutuhkan tanpa harus mematikan yang lain.
Di sini letak kedewasaan para anggota legislatif dipertaruhkan dalam
mengelola negeri ini.
Sebagaimana dalam keluarga patut dihindari mengatasi
sebuah persoalan dengan mengorbankan peran salah satu anggotanya yang sudah
berkiprah dengan baik.
Jika Polri, kejaksaan, maupun
lembaga peradilan sudah menjalankan tugas mereka dengan baik, baru KPK boleh
ditiadakan. Itu pun akan lebih baik bila terjadi secara fungsional. Peran KPK
akan purna karena memang sudah berhasil mewujudkan pendelegasian kewenangan
pemberantasan korupsi kepada lembaga lain. Bukan mati karena pelemahan yang
disengaja akibat alasan yang tidak bisa diterima publik.
Upaya menunjukkan hasil
terlebih dahulu bahwa lembaga penegak hukum mampu melaksanakan penegakan
hukum dengan baik merupakan kebutuhan yang lebih mendesak. Melemahkan peran
KPK sebelum adanya perubahan peran dan fungsi lembaga penegak hukum lain akan
sangat berisiko. Alih-alih meningkatkan kinerja, justru peran lembaga yang
sudah ada dilemahkan dan kian meluas kembali ke titik nadir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar