Rabu, 14 Oktober 2015

Asap

Asap

Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior Tempo
                                                     TEMPO.CO, 10 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sahabat saya di Palangkaraya mencurahkan isi hatinya lewat surat elektronik. Dia menyebutkan mendapat musibah yang sulit diatasi. Dia bilang, kalau rumahnya kebakaran dan semua barang ludes, itu lebih jelas. Orang-orang mudah memberi pertolongan, mengirimkan makanan dan pakaian bekas layak pakai. "Tapi musibah ini unik, saya tak membutuhkan beras atau mi instan. Juga tak perlu pakaian bekas, pakaian saya masih banyak di lemari. Bahkan saya tak perlu bantuan uang, tabungan saya masih lumayan."

Saya langsung jawab, "Anda tak mengalami musibah. Jangan manja." Dia membalas panjang dan saya membayangkan dia tersinggung. "Anda tak memahami musibah yang mahadahsyat ini. Musibah asap dari hutan yang terbakar. Ke mana-mana dikepung asap. Anak-anak tak bisa sekolah. Kami tak bisa keluar rumah. Beberapa kamar memang tertutup rapat karena ada penyejuk udara, asap tak bisa masuk. Tetapi tak semua ruangan tertutup, dapur, tempat mencuci pakaian, dan banyak lagi yang harus dilewati setiap waktu."

Saya membalas, "Kenapa tak mengungsi sementara?" Tak lama dia pun menulis, "Pesawat tak bisa terbang. Naik mobil tetap dikepung asap. Anda bayangkan, ini Kalimantan, bukan Jawa. Tak ada kereta api, apalagi kereta cepat. Tak ada jalan tol. Apa bisa naik mobil terus-menerus tanpa berhenti makan dan isi Premium? Itu artinya tetap menghirup asap. Asal Anda tahu, pemberitaan musibah asap juga tak adil. Media lebih suka menulis Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, bahkan Sumatera Barat yang tak seberapa kena asap. Tapi Palangkaraya hanya disebut sesekali, seolah-olah tak parah. Kalimantan itu masih Indonesia apa-tidak?"

Waduh, ini sudah nyerempet ke mana-mana. Sahabat saya itu orang yang sukses, hidupnya berkecukupan. Terus terang dia juga suka menolong orang. Kini orang tak bisa menolong dia. Pasti dia stres.

"Saya hargai tentara yang masuk hutan memadamkan api," dia menulis lagi. "Saya hargai petugas kehutanan yang sibuk, meski gaji mereka kecil dan anggaran kehutanan itu sangat minim, hanya Rp 50 ribu untuk menjaga hutan setiap hektare. Saya pun menghargai pemerintah daerah yang membagikan masker, meski bukan masker high-efficient particulate air filter yang ideal tapi mahal. Saya kagum kepada Presiden Jokowi yang masuk ke hutan, meskipun itu sangat seremonial dan seharusnya Presiden tinggal keluarkan perintah. Tapi kenapa Menteri Kehutanan menolak bantuan Singapura untuk ikut memadamkan api? Takut kalau apinya padam lantas mereka mengklaim telah berjasa? Ah, alasan sepele. Yang tak saya pahami lagi, kenapa musibah ini bukan dijadikan bencana nasional? Apa karena Jawa dan Bali tak terkena asap?"

Wah, lagi-lagi saya tepok jidat membacanya. Sudah lari ke mana-mana keluhan ini. Tanpa ikut pusing soal "ketidakadilan Jawa dan luar Jawa", saya cuma ikut heran kenapa begitu lambat pemerintah menetapkan bencana asap ini sebagai bencana nasional. Kenapa pula menolak bantuan negara tetangga, bukankah sudah ada perjanjian saling bantu antarnegara ASEAN jika terjadi musibah jenis ini?

"Kalau Anda tak bisa juga berbuat apa-apa, ya, sudahlah. Doakan cucu-cucu saya yang masih kecil, meski saya sudah memborong kaleng oksigen. Saya kira korban akan berjatuhan kalau pemerintah lambat seperti ini. Dan saya pun paham kenapa Anda diam, memang relawan Jokowi rikuh bicara dalam situasi begini, mungkin di mulutnya ada asap."

Surat elektronik ini bermuatan fitnah, langsung saya jawab, "Saya prihatin dan berdoa, tapi saya bukan relawan siapa-siapa, saya relawan NKRI."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar