Merawat Gunung
Heri Priyatmoko ; Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma
|
KORAN
TEMPO, 04 September 2015
Sehari-hari, Pegunungan Lawu tampak hijau dan anggun. Tapi,
kemarin, parasnya bersalin merah dan mencemaskan. Sebagaimana diberitakan
Koran Tempo edisi 26 Agustus lalu, gunung yang berada di perbatasan Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur ini dilalap api-yang mengamuk membakar hutan dan
semak belukar, bahkan merembet ke Karanganyar.
Gunung Lawu dalam pandangan masyarakat Jawa bukanlah tumpukan
tanah yang menjulang tanpa makna. Sejak periode Hindu-Buddha sampai Mataram
Islam, gunung yang menawarkan pemandangan elok ini-selain Gunung
Merapi-dianggap sebagai kiblat. Adanya bermacam ritual gunung dan penempatan
Candi Sukuh-Cetho di bukit Lawu ialah bukti historis bahwa raja dan
masyarakat kuno menaati konsep segara-gunung,
yang membawa pesan harmoni lingkungan.
Nenek moyang mewanti-wanti agar manusia senantiasa merawat
gunung sepanjang masa jika tidak mau alam murka. Larangan menebangi pohon
membabi-buta dan mengeruk tanah perbukitan seenaknya memang sengaja
diciptakan demi mewujudkan keselarasan antara jagat raya (makrokosmos) dan
dunia manusia (mikrokosmos) melalui petunjuk astrologi, upacara persembahan,
dan gagasan.
Penekun sejarah terkemuka, Robert Heine Geldern, lewat buku
klasik Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara (1982)
mengudar gagasan perihal gunung yang dipandang sakral. Gunung Meru yang
dipercaya sebagai pusat jagat raya-merujuk pada susunan Buddhisme, gunung ini
dikitari tujuh barisan pegunungan-adalah yang pertama diulas. Di luar rantai
pegunungan, dijumpai benua bernama Jambudwipa sebagai tempat tinggal umat
manusia. Sampai di tlatah Jawa, pemahaman tersebut dikembangkan tanpa ada
nafsu mengesampingkan keberadaan gunung.
Syiwa dianggap sebagai dewa gunung, dan semua penguasa kerajaan
adalah inkarnasi Syiwa. Sajak Jawa termasyur abad XIV,
"Nagarakertagama", menuturkan kepada anak-cucu bahwa kelahiran Raja
Rajasanagara dari Majapahit (1350-1389 M) ditandai dengan kejadian letusan
gunung api. Peristiwa alam tersebut dimaknai: raja yang baru saja membuka
kelopak mata dan melihat terangnya dunia itu merupakan titisan Batara
Girinata atawa Syiwa.
Keharusan masyarakat menghormati gunung dikekalkan dalam sepucuk
gagasan bahwa raja sebagai junjungan warga disamakan dengan gunung. Mata
kanan raja mewakili matahari, mata kirinya bulan, dan tangan berikut kakinya
keempat mata angin. Lantas, mahkota yang runcing melambangkan puncak gunung.
Dan selop adalah representasi bumi.
Fakta kultural di muka membulatkan pandangan raja laksana sumbu
jagat raya. Alam pemikiran yang demikian ini selanjutnya melahirkan gelar
Paku Buwono (Paku Dunia) yang dikenakan penguasa terakhir Keraton Kartasura
dan Keraton Kasunanan Solo sampai kini. Karena raja dilukiskan mirip dengan
gunung, siapa pun di masa lalu yang mendekati istana kudu menyatakan penghormatan
dengan turun bila naik kuda, menutup payung, dan menundukkan diri ke arah
puncak runcing istana.
Begitulah ajakan mulia dari leluhur agar tak lelah memelihara
gunung sampai diterapkan dalam aturan perilaku sehari-hari. Gunung Lawu bukan
hanya tempat rekreasi dan latar ber-selfie. Ia menyimpan harmoni sekaligus
petaka bila kita emoh merawatnya. Jagat cilik bakal porak-poranda kalau kita
melecehkan gunung dengan mengeksploitasinya tanpa henti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar