Potret Buram Aktor Politik
Benni Setiawan ; Dosen Universitas Negeri Yogyakart;
Peneliti Maarif Institute
|
JAWA
POS, 04 September 2015
PELESIR gratis
ke luar negeri seakan menjadi ’’tabiat’’ dewan yang terhormat. Mumpung masih
menyandang status sebagai anggota dewan, saatnya menghabiskan waktu dengan
uang rakyat. Seperti rombongan studi banding hukum adat ke Inggris dengan
menggunakan dana Rp 3,3 miliar.
Belajar hukum
adat ke Inggris seakan menafikan multikulturalisme hukum di Indonesia. Sebagai
gugusan pulau terpanjang dan terbanyak, Indonesia memuat serangkaian hukum
adat yang kaya.
Menilik
kondisi itu, dapat disimpulkan bahwa studi banding ke Inggris tidak lain
sekadar menghabiskan anggaran. Studi banding itu pun lebih tepat disebut liburan
gratis.
Pertanyaan yang muncul kemudian
adalah mengapa kebiasaan buruk anggota dewan itu tidak kunjung hilang dari
satu periode ke periode yang lain?
Negara Sehat
Aristoteles
dalam Nicomachean Ethics menyatakan,politikmerupakan ilmu yang kedudukannya paling
tinggi bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Pasalnya, tujuan dan target
akhir politik adalah bagaimana menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang sehat. Dengan begitu, semua warga negara merasa dilindungi dan
hakhaknya dibela. Akhirnya, masyarakat menjadi pribadi yang sehat sesuai
dengan minat dan bakatnya.
Berdasar
logika itu, umumnya para filsuf Yunani kuno memandang politik sebagai sebuah
ilmu dan seni yang terhormat. Politisi harus mempunyai kualitas moral dan
intelektual tinggi.
Bila politisi
tidak bermoral dan tidak memiliki kapasitas intelektual, mana mungkin mereka
dapat mendidik dan mendesain masyarakat agar hidup dan berkembang menjadi
masyarakat yang beradab? (Komaruddin
Hidayat: 2006).
Pragmatis
Berdasar
rumusan Aristoteles di atas, ilmu politik memiliki peran yang sangat
signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, aktor politik
semestinya adalah manusia terpilih. Mereka adalah pribadi unggul yang
mempunyai hati nurani, kecerdasan, dan kedewasaan yang akan membimbing warga
negaranya menjadi lebih maju dan mandiri.
Namun, apa
yang terjadi sekarang? Politik dan intitusi politik menjadi sesuatu yang
’’kotor’’. Politik tidak ubahnya seperti transaksi ilegal yang dihalalkan.
Aktor politik berlomba mengembalikan modal saat kampanye. Mereka pun tidak
segan meminta ’’jatah’’ kepada rekanan proyek dan dinas yang telah lolos
’’seleksi’’ UU.
Aktor politik
juga sangat pragmatis. Mereka berpikir jangka pendek guna memenui hasrat
duniawi. Sangat jarang kita temui mereka menjadi sosok negarawan yang santun
dalam bersikap; bijak dalam mengambil keputusan dan tangkas dalam
menyelesaikan masalah. Mereka sering malah menjadi bagian dari masalah dan
memperkeruhnya.
Maka, tidak
heran jika Vedi R. Hadiz menyatakan bahwa kekuasaan negara yang lahir dari
sistem partai politik lebih banyak menguntungkan kaum borjuasi domestik.
Mereka pun mengekang sekian kepetingan kaum proletar dalam sistem kenegaraan.
Maka, tidak
aneh pula jika anggota dewan menjadi kalap saat menyandang gelar tersebut.
Mereka akan menggunakan ’’aji mumpung’’ dalam menikmati fasilitas yang
diberikan oleh negara. Mereka tidak akan peduli dengan nasib buruh bergaji
murah, rakyat antre mendapatkan air bersih, dan banyaknya bangunan sekolah
ambruk.
Terus Bertindak
Jika seperti
itu, apakah masih ada harapan rakyat untuk aktivitas dan aktor politik? Tentu
kita perlu mawas diri, tidak perlu berharap banyak kepada mereka.
Misi politik
ala Aristoteles pun akhirnya hanya manis sebagai bahan kuliah. Bagaimana
dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang beradab jika aktor politiknya tidak
memiliki kecakapan intelektual dan moral?
Masyarakat
beradab mungkin hanya ada pada riwayat Polis dalam sejarah Yunani kuno atau
bangunan masyarakat Madani ala Rasul Muhammad SAW. Bangunan keadaban itu
tersusun dari pemimpin berjiwa filsuf.
Mereka
mempunyai kebajikan dan kebijaksanaan. Mereka tidak lagi membutuhkan uang
guna menghidupi diri dan keluarganya. Semua aktivitas politik dilakukan
sepenuhnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Hal itu
tentunya berbeda dengan anggota dewan dan pemimpin kita sekarang.
Hanya ada
tiga aktivitas politik di republik ini. Yaitu, uang, duit, dan rupiah.
Belenggu fulus dan pragmatisme menyandera alam bawah sadar dan kejernihan
berpikir. Akibatnya, setiap aktivitas bermuara kepada pundi-pundi kesenangan
duniawi.
Itulah
realitas politik di bumi Nusantara. Oleh karena itu, mari terus bertindak,
sesuai dengan potensi diri. Pasalnya, hanya aktivitas kita sendiri yang dapat
menyelamatkan biduk rumah tangga. Dalam kajian Mazhab Frankfrut, saat rumah
tangga terselamatkan, negara akan tercerahkan.
Jika masih ingin disebut yang
terhormat, sudah selayaknya anggota dewan memikirkan rakyat. Bukan hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri dengan mengumbar kemewahan di tengah
kenestapaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar