Menyongsong Energi Terbarukan
Liek Wilardjo ; Fisikawan
|
KOMPAS,
11 September 2015
Ekonom yang baru saja
menjadi Menko Kemaritiman Rizal Ramli menilai lesan (target) pembangunan
pembangkit tenaga listrik 35 GWe terlalu ambisius untuk diselesaikan tahun
2019. Apalagi kalau ditambah dengan ”tunggakan” 7 GWe yang tidak dapat
dirampungkan pemerintahan Presiden SBY.
Pakar perencanaan
tenaga listrik, Dr Ing Nengah Sudja, sebelum megaproyek itu dicanangkan
Presiden Jokowi juga sudah berpendapat begitu. Kalaupun dari segi dana,
pembebasan lahan, amdal, dan perizinan tidak ada masalah, waktunya jelas
tidak cukup! PLTU Batang di Pantura Jateng (2 x 1.000 MWe) sampai sekarang
pun belum selesai. Padahal, bupatinya tegas dan dalam pembebasan tanah Presiden
dan Wapres ikut turun tangan.
Pembangkit-pembangkit
berkapasitas daya total 35 GWe akan berupa PLTU, yang sekitar 60 persen
berbahan-bakar batubara, dan selebihnya berbahan bakar gas. Ini dikecam
aktivis Walhi, Ode Rahman (Kompas, 19/8).
Mencemari udara
Bahan bakar fosil,
seperti gas dan apalagi batubara, itu kotor. Pencemaran udara akibat
pembakarannya memicu pemanasan global dan perubahan iklim. Kalau batubaranya
mengandung belerang, PLTU batubara juga bisa menyebabkan hujan asam. Bahan
bakar fosil adalah ancaman serius terhadap lingkungan.
Kritik ini perlu
diperhatikan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Juga saran agar dalam bauran
energi nasional ditetapkan lesan 50 persen energi terbarukan (ET), yang harus
dicapai pada 2030. Sekarang Kebijakan Energi Nasional (KEN) hanya mematok 24
persen energi baru/terbarukan (EBT) melalui PP Nomor 79 Tahun 2014.
Bahkan, nomenklatur
EBT pun, agar tidak multitafsir perlu dipilah menjadi sekian persen energi
baru (EB) dan selebihnya ET. Kalau tidak, EBT dapat sengaja disalahartikan
mencakup energi nuklir, padahal energi nuklir bukan ET.
Bahkan, seandainya
limbah PLTN fisi-termal dapat ”dibakar” dalam reaktor pembiak cepat (fast breeder reactor), tetap saja
energi nuklir bukan ET dalam arti sebenarnya. Plutonium-239 yang muncul dalam
operasi reaktor berbahan bakar uranium alam, atau uranium-233 yang dihasilkan
reaktor thorium, merupakan bahan bakar baru, tetapi bukan bahan bakar
terbarukan.
Terbarukan dan konservasi
Angka-angka yang
dipatok dalam KEN sudah baik, setidaknya buat sementara. Pernyataan bahwa
bagi Indonesia energi nuklir merupakan opsi terakhir juga sudah ”pas”. Kalau
kita masih memanfaatkan energi fosil yang kotor, itu semata-mata karena
terpaksa, tetapi ini bukan karena kita tidak punya sumber daya ET, seperti
Matahari, angin, air, dan panas bumi. Kita cukup kaya!
Kita juga dapat
memetik tenaga matahari dengan ”berkebun” bahan bakar nabati. Namun, sumber
daya ET ini belum dikembangkan dengan kemajuan dan dalam skala memadai
sehingga harga belum kompetitif.
Sebaiknya, ET dan
konservasi energi (KE) digarap giat agar secepatnya menggusur energi fosil.
Sebelum ini menjadi kenyataan, harus diusahakan agar pembangkitan listrik
dengan bahan-bakar fosil memakai teknologi bersih. PLTU batubara, misalnya,
dapat beroperasi dengan ”persemaian terzalir” (fluidized bed) yang relatif bersih.
Dalam teknologi
persemaian terzalir, persemaiannya berupa abu mineral. Bahan-bakarnya, yakni
bubuk batubara yang hanya 0,5 persennya abu mineral itu, diumpankan terus-menerus
bersama udara yang jumlahnya jauh lebih besar. Maka, terjadilah di dalam
toboh pembakaran (combustion chamber)
itu semacam zalir (zat alir, atau fluida) yang mengalir bergolak (turbulent). Pembakaran dengan cara ini
lebih sempurna dan menghasilkan GRK, yakni CO2, lebih sedikit.
Untuk mempercepat
penghapusan berangsur (phasing-out)
energi fosil, dapat diterapkan ”falsafah” wortel dan cambuk. Wortelnya berupa
insentif bagi pengembang dan pengguna ET. Cambuknya berupa disinsentif bagi
industri yang masih memakai energi fosil, misalnya dengan penerapan pajak
karbon.
Reaktor pamkat?
Setelah PLTN-PLTN di
Jepang dihentikan selama lebih dari empat tahun sejak terjadinya musibah
Fukushima Daiichi, PM Abe baru-baru ini mengizinkan PLTN Sindai diaktifkan
lagi. Kata Shunichi Tanaka (Kepala Bapeten-nya Jepang), PLTN Sandai akan
dioperasikan dengan pengamanan mutakhir agar tidak terjadi kecelakaan.
Mungkinkah? Saya tidak
tahu. Batang-batang bahan bakarnya (fuel
rods) diganti dengan butiran-butiran (pebbles)
yang kulitnya berlapis dan disalut dengan lakur logam (metal alloy). Maka, elemen bahan bakar itu tahan panas sampai
suhu 1.800 derajat celsius. Mungkin juga reaktornya ”inherently-safe” (memakai pengamanan melekat/pamkat). Reaktor
pamkat dapat didinginkan dengan cepat tanpa tergantung pada aliran zat
pendingin dari luar terasnya. Reaktor pamkat juga dapat ”dipadamkan” (shut-down) dengan mengandalkan hukum
alam, tanpa pengendalian elektronik yang harus dipicu pulsa atau sentuhan
jari operator.
Reaktor semacam itu
tentulah lebih aman daripada reaktor konvensional. Namun, fitur pamkat (inherent safety features) itu tidak
membuat reaktornya menjadi aman secara mutlak. Reaktor yang footproof (tidak mungkin ngadat) itu
tidak ada! Teknologi canggih yang sangat rumit seperti reaktor nuklir itu
bersifat transcientific, artinya
perilakunya tidak dapat diprediksi secara ilmiah. Menurut hukum Murphy, ”apa
saja yang bisa ngadat akan ngadat (anything
that could go wrong will). Tak terkecuali reaktor suhu tinggi dinginan—gas
yang kecil dan modular (modular, small HTGR) seperti yang konon akan
”dibangun” Batan.
Suhunya yang tinggi
akan meningkatkan efisiensi sampai 40 persen atau lebih. ”Kecil” artinya
kapasitas daya rendah (di bawah 300 MW) sehingga rapat dayanya (power density) rendah dan lebih aman
terhadap kemungkinan pelelehan teras (meltdown). Kendati begitu, reaktor daya
eksperimental tetap tunduk pada hukum Murphy. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar