Senin, 07 September 2015

Lukisan Sultan IX

Lukisan Sultan IX

Agus Dermawan T  ;  Pengamat Budaya dan Seni
                                               KORAN TEMPO, 05 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Selarik running text di televisi mengabarkan bahwa Kanjeng Raden Ayu Nindyokirono wafat pada Rabu malam, 2 September 2015, di Jakarta. Wanita ini adalah istri Sultan Hamengku Buwono IX yang dikenal luas dengan panggilan Norma. Namun berita itu segera hilang dari televisi lantaran digempur berita babon yang gaduh: pencopotan Budi Waseso sebagai Kepala Bareskrim. Di tengah minimnya berita itu, saya ingin mengingat Norma, yang sedikit saya kenal tapi mengagihkan kenangan begitu kental.

Norma, kelahiran Bangka, 3 Desember 1930, adalah istri kelima Sultan, di samping KRAy Pintaka Purnomo, KRAy Windyaningrum, KRAy Astungkara, dan KRAy Ciptomurti. Namun, meski menjadi istri kelima, kedudukan Norma setara dengan istri-istri yang lain, lantaran Sultan menganggap semua istrinya sebagai garwa ampeyan atau klangenan dalem, alias selir. Dengan kata lain, tak ada yang diposisikan sebagai permaisuri. Sebagai istri terakhir, Norma aktif mendampingi Sultan dalam bentangan usianya, sampai munculnya cerita ini.

Syahdan, Basoeki amat berhasrat melukis Sultan secara langsung sejak dulu. Namun Sultan, yang pernah "sakit hati politik" kepada Basoeki, tak pernah melayani. Pada medio Januari 1987, Norma tiba-tiba mengundang Basoeki untuk sowan ke Sultan di Kedaton Shwarna Bhumi, Bogor, istana Norma. Di Kedaton, Basoeki bersujud sambil bertutur bahwa ia hendak melukis Sultan. Hanya Sultan, karena ini sebuah kaul. Sultan mengabulkan.

Pada Selasa Kliwon, 13 Januari 1987, Sultan dan Norma datang ke Studio Basoeki Abdullah, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta. Pertama, Sultan dilukis sendirian. Kedua, Sultan dan Norma dalam satu kanvas. Acara melukis tahap pertama usai. Sultan dan Norma pun pulang.

Beberapa hari kemudian, kehebohan terjadi. Norma menemukan kuitansi berstempel Studio Basoeki Abdulah dalam jas Sultan, yang menerangkan harga lukisan itu. Sultan terperanjat sebentar, sedangkan Norma gusar tak alang-kepalang. "Kami tidak pernah minta dilukis! Basoekilah yang memaksa kami untuk dilukis. Kenapa ia menagih?" kata Norma lewat telepon ke Studio Basoeki. Dan, entah mengapa, Norma menelepon saya (di majalah Gadis). Tak kurang dari 20 menit ia mengomeli Studio Basoeki. "Mas Agus kan dekat dengan Pak Bas. Tolong ajari mereka," katanya berapi-api.

Pihak studio mengatakan kuitansi itu khusus untuk lukisan yang menggambarkan Norma. Sebab sejak awal kaul Basoeki adalah hanya melukis Sultan. Norma tidak bisa memahami logika itu. Lukisan pun tidak diambil. (Info: karya penuh cerita ini akan dipajang dalam pagelaran 100 Tahun Basoeki Abdullah, akhir September 2015, di Museum Nasional, Jakarta).

Mungkin gara-gara peristiwa itu Sultan dan Norma menjadi sangat dekat dengan seni rupa. Pada 1988, pemerintah Yogyakarta lantas menyelenggarakan lomba melukis dan fotografi, "Yogya sebagai Kota Perjuangan", untuk memperebutkan trofi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Norma dan Sultan dengan gembira mengundang panitia dan dewan juri (termasuk saya) di kantor Sultan, Jalan Prapatan, Jakarta, pada 29 Juli 1988. Ketika Sultan wafat pada 2 Oktober 1988, Norma mengatakan lukisan Basoeki tersebut adalah rekaman seni on the spot terakhir atas sosok Sultan. Selamat jalan, Bu Norma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar