Bentrok Lagi
Umbu TW Pariangu ; Penulis dan Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
KORAN
TEMPO, 05 September 2015
Bentrokan antara anggota TNI dan Polri di Polewali Mandar
(Polman), Sulawesi Barat, pecah lagi pada Minggu, 30 Agustus lalu. Tak terima
rekannya ditegur salah seorang sanggota Polres Polman yang sedang mengamankan
lokasi balap motor, 50 anggota Kompi Senapan 721 Makkasau Majene menyerang
polisi. Serangan menggunakan senjata tajam (badik dan batu), selain
menghancurkan pos polisi serta kendaraan patroli, menewaskan anggota TNI,
Prajurit Satu Yuliadi, akibat perlawanan balik anggota Polres Polman.
Padahal dua pemimpin institusi ini sudah berkomitmen menerapkan
revolusi mental di lingkup internal jajaran masing-masing dalam pelaksanaan
tugas dan fungsi. Namun tampaknya komitmen tersebut belum efektif menular ke
bawah. Solidaritas sempit, ego sektoral di kalangan prajurit, dengan gampang
menggoreng "isu-isu murahan" menjadi benih kekerasan yang mengusung
simbol-simbol kesatuan, identitas korps, uniform, dan sebagainya.
Kekerasan oknum tersebut sebenarnya bukan hanya bertujuan
menegasi lawan atau kelompok eksternal, tapi juga memperkuat nilai kohesiftas
internal yang memantulkan daya tahan dan soliditas kesatuan terhadap kelompok
atau institusi di luar. Lewis A. Coser (1956) mengatakan konflik dengan
kelompok luar akan memperkuat kohesifitas moral dan struktural serta bangunan
integrasi kelompok. Dan ini berpotensi terjadi di level anggota, yang konsep
berinstitusinya masih parsial dan kurang memiliki pemahaman institusional
tentang kerja sama dan pentingnya mewujudkan kedamaian antarinstitusi.
Selain itu, harus diakui, penyebab konflik TNI-Polri sejauh ini
masih belum keluar dari bayang-bayang eksistensi negara yang belum
menjalankan fungsinya sebagai agen pendistribusi modal sosial dan material.
Semakin renggang harapan (das sollen)
dengan kenyataan (das sein),
terutama yang terkait dengan ruang pengakuan dan sumber kesejahteraan,
semakin meningkat gesekan memperebutkan ruang tersebut.
Indonesia
Police Watch (IPW), misalnya, mencatat
terjadi peningkatan jumlah konflik TNI-Polri sepanjang 2014. Dengan tujuh
kali terjadi bentrokan dan perkelahian yang melibatkan TNI dan Polri, angka
ini merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Penyebab konflik
tersebut didominasi persoalan ekonomi (perebutan penguasaan lahan usaha)
selain faktor ketersinggungan dan sentimen pribadi.
Saatnya dua institusi perekat bangsa tersebut merefleksikan
secara netral dan konstruktif- sebagai bagian dari revolusi mental-bahwa
konflik yang merobek harmonitas lembaga tidak hanya melahirkan serangkaian
balas dendam, tapi juga infiltrasi bagi masa depan korpsnya sendiri. Akan
banyak energi positif dan kepentingan visi kesatuan yang dihabiskan untuk
membangun sikap defensif.
Karena itu, elite TNI-Polri perlu mempercepat penularan pesan
revolusi mental ke jajaran di bawah mereka. Tidak hanya dengan program
pendidikan gabungan TNI-Polri, tapi juga penegakan hukum yang tegas terhadap
pelaku konflik, termasuk merealisasi program yang sifatnya menumbuhkan
kesalingpercayaan di kalangan prajurit lewat kegiatan budaya, sosial, dan seni
untuk memupuk keakraban TNI-Polri. Cara agak unik ditempuh Komandan Korem 161
Wirasakti Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang mewajibkan setiap anggota TNI di
wilayah kerjanya bertukar nomor ponsel dengan anggota Polri untuk menciptakan
keakraban dan hubungan baik. Sejauh ini, langkah itu cukup ampuh meredam
potensi konflik antara TNI-Polri di wilayah tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar