Senin, 07 September 2015

Bentrok Lagi

Bentrok Lagi

Umbu TW Pariangu  ;  Penulis dan Dosen Fisipol Undana, Kupang
                                               KORAN TEMPO, 05 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bentrokan antara anggota TNI dan Polri di Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat, pecah lagi pada Minggu, 30 Agustus lalu. Tak terima rekannya ditegur salah seorang sanggota Polres Polman yang sedang mengamankan lokasi balap motor, 50 anggota Kompi Senapan 721 Makkasau Majene menyerang polisi. Serangan menggunakan senjata tajam (badik dan batu), selain menghancurkan pos polisi serta kendaraan patroli, menewaskan anggota TNI, Prajurit Satu Yuliadi, akibat perlawanan balik anggota Polres Polman.

Padahal dua pemimpin institusi ini sudah berkomitmen menerapkan revolusi mental di lingkup internal jajaran masing-masing dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. Namun tampaknya komitmen tersebut belum efektif menular ke bawah. Solidaritas sempit, ego sektoral di kalangan prajurit, dengan gampang menggoreng "isu-isu murahan" menjadi benih kekerasan yang mengusung simbol-simbol kesatuan, identitas korps, uniform, dan sebagainya.

Kekerasan oknum tersebut sebenarnya bukan hanya bertujuan menegasi lawan atau kelompok eksternal, tapi juga memperkuat nilai kohesiftas internal yang memantulkan daya tahan dan soliditas kesatuan terhadap kelompok atau institusi di luar. Lewis A. Coser (1956) mengatakan konflik dengan kelompok luar akan memperkuat kohesifitas moral dan struktural serta bangunan integrasi kelompok. Dan ini berpotensi terjadi di level anggota, yang konsep berinstitusinya masih parsial dan kurang memiliki pemahaman institusional tentang kerja sama dan pentingnya mewujudkan kedamaian antarinstitusi.   

Selain itu, harus diakui, penyebab konflik TNI-Polri sejauh ini masih belum keluar dari bayang-bayang eksistensi negara yang belum menjalankan fungsinya sebagai agen pendistribusi modal sosial dan material. Semakin renggang harapan (das sollen) dengan kenyataan (das sein), terutama yang terkait dengan ruang pengakuan dan sumber kesejahteraan, semakin meningkat gesekan memperebutkan ruang tersebut. 

Indonesia Police Watch (IPW), misalnya, mencatat terjadi peningkatan jumlah konflik TNI-Polri sepanjang 2014. Dengan tujuh kali terjadi bentrokan dan perkelahian yang melibatkan TNI dan Polri, angka ini merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Penyebab konflik tersebut didominasi persoalan ekonomi (perebutan penguasaan lahan usaha) selain faktor ketersinggungan dan sentimen pribadi. 

Saatnya dua institusi perekat bangsa tersebut merefleksikan secara netral dan konstruktif- sebagai bagian dari revolusi mental-bahwa konflik yang merobek harmonitas lembaga tidak hanya melahirkan serangkaian balas dendam, tapi juga infiltrasi bagi masa depan korpsnya sendiri. Akan banyak energi positif dan kepentingan visi kesatuan yang dihabiskan untuk membangun sikap defensif.

Karena itu, elite TNI-Polri perlu mempercepat penularan pesan revolusi mental ke jajaran di bawah mereka. Tidak hanya dengan program pendidikan gabungan TNI-Polri, tapi juga penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku konflik, termasuk merealisasi program yang sifatnya menumbuhkan kesalingpercayaan di kalangan prajurit lewat kegiatan budaya, sosial, dan seni untuk memupuk keakraban TNI-Polri. Cara agak unik ditempuh Komandan Korem 161 Wirasakti Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang mewajibkan setiap anggota TNI di wilayah kerjanya bertukar nomor ponsel dengan anggota Polri untuk menciptakan keakraban dan hubungan baik. Sejauh ini, langkah itu cukup ampuh meredam potensi konflik antara TNI-Polri di wilayah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar