Gaduh
Putu Setia ; Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
06 September 2015
Belum lama
saya berbincang dengan Romo Imam di beranda rumahnya, tiba-tiba ada keributan
di lorong samping. Sejumlah anak bertengkar saat naik sepeda. Romo Imam
berdiri dan berteriak, "Jangan bikin gaduh, nanti saya copot roda
sepedanya."
Saya tersenyum
saat Romo kembali duduk. "Romo terlalu keras. Mereka kan anak-anak,
bukan jenderal," kata saya. Romo menjawab ringan, "Tidak nyaman
kalau ada kegaduhan. Apalagi kegaduhan sampai mengguncang ekonomi. Polisi
menggeledah pelabuhan secara tiba-tiba kan mengganggu. Kalau mau mengusut
dugaan korupsi, ya, lihat dulu suasananya. Pelabuhan sedang berbenah untuk
menekan waktu pengeluaran barang, jangan langsung digeledah, malah makin
runyam."
"Bukannya
justru penggeledahan itu bagian dari memperbaiki kinerja?" tanya saya.
"Presiden memerintahkan untuk memangkas waktu pengeluaran barang dan
semua instansi ikut gotong-royong mencari jalan keluar. Polisi melihat ada
bukti awal penyimpangan, lalu melakukan penggeledahan. Polisi bekerja dengan
benar."
Romo
memperbaiki duduknya. "Ya, tapi main gebrak-gebrakan begini lebih banyak
gaduhnya daripada hasilnya. Pasti presiden tak suka gaduh. Presiden masih
menunggu kerja Menko Kemaritiman yang berjanji mengurai benang kusut
pelabuhan. Apalagi kepala pelabuhan mengancam mengundurkan diri, ini kan jadi
rumit. Pelabuhan jadi tambah keruh, padahal mau dibuat bersih."
"Ah, Romo
menyudutkan polisi, melindungi kepala pelabuhan," kata saya. Romo
tiba-tiba berdiri. "Jadi sampeyan membela Budi Waseso?" kata Romo.
Saya jadi takut. Mungkin saya lancang, karena itu saya diam. "Budi
Waseso itu cara kerjanya tak cocok dengan cara kerja presiden. Baru empat
hari dilantik sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, ia sudah memborgol
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Sebulan kemudian ia menetapkan Ketua KPK
Abraham Samad sebagai tersangka. Ia mau mengusut penyidik KPK yang masih
memegang senjata api. Ia juga menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum Denny
Indrayana sebagai tersangka kasus pengadaan paspor. Lalu dua pemimpin Komisi
Yudisial juga menjadi tersangka atas laporan Sarpin Rizaldi, hakim yang
memenangkan gugatan Budi Gunawan melawan KPK. Semua gebrakan ini, termasuk
mengurusi penimbunan sapi dan dugaan suap UPS di Pemda DKI, lebih menonjolkan
kegaduhan ketimbang proses hukumnya. Belum ada satu pun kasus itu yang masuk
ke pengadilan."
Romo duduk.
Saya tetap diam, rasa takut hilang. "Tapi Budi Waseso tak harus selalu
disalahkan, ia tetap bhayangkara sejati. Ia legawa dicopot, tak melakukan
perlawanan, apalagi mengancam mundur. Setiap orang punya gaya sendiri,
termasuk gaya memimpin. Ibarat membuka jalan baru, ada yang mahir membongkar
tebing, tetapi tak bisa memasang batu di jalanan, apalagi memberi aspal.
Padahal jalan sebagai tujuan akhir harus ada. Barangkali Budi Waseso akan
lebih sukses menggebrak bandar-bandar narkoba."
"Apa yang
bisa dipetik dari kegaduhan ini, Romo?" tanya saya. Romo minum sebelum
menjawab, "Keharmonisan harus dijaga. Ibarat konser gamelan, ada yang
memukul kendang, ada yang memukul gong, ada yang meniup seruling, dan banyak
lagi. Karena ada pakem yang jelas dan semuanya tak boleh menyimpang dari yang
ditetapkan, muncul keharmonisan. Pakem itu datangnya dari presiden. Nah, apakah
presiden memiliki pakem itu dan sudah menjelaskan dengan gamblang kepada para
penabuh gamelan?"
Saya kaget, "Lo, menurut
Romo, apa presiden punya pakem yang jelas untuk keharmonisan bangsa
ini?" Romo tersenyum, "Saya tak mau berkomentar, nanti gaduh lagi."
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar