Minggu, 06 September 2015

Dari Parpol ke KPU

Dari Parpol ke KPU

Akh Muzakki  ;  Profesor Sosiologi Pendidikan;
Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                    JAWA POS, 04 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PILKADA serentak 2015 ibarat suara tokek. Siapa pun yang menyimak suara tokek akan selalu mendapati jeda di antara ’’nyanyian’’ suara tokek itu: tokek...[berhenti]…tokek… [berhenti]…tokek…, dan seterusnya. Tidak ada satu pun di antara penyimak yang bisa memastikan kapan suara tokek itu berhenti. Atau, berapa kali tokek itu ’’bernyanyi’’.

Begitu pula proses pelaksanaan pilkada serentak tahun ini. Publik memang bergembira dengan fakta bahwa mayoritas daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2015 dan awal semester 2016 akan menyelenggarakan pilkada serentak pada akhir 2015 ini.

Namun, beberapa daerah, seperti Surabaya, justru memunculkan lanskap politik lain. Tiadanya calon pasangan penantang pasangan petahana membuat proses pendaftaran berkali-kali dilakukan. Bahkan hingga tiga kali pengulangan pendaftaran itu harus dilakukan.

Pada awal dibukanya pendaftaran pasangan calon, partai politik dituduh sejumlah kalangan sebagai biang kerok atas ketiadaan pasangan calon penantang terhadap pasangan petahana. Akibatnya, yang muncul hanya calon pasangan tunggal. Habisnya masa pendaftaran hingga berujung pada pembukaan pendaftaran kembali membuat sejumlah pihak menuduh parpol telah bermain api dengan melakukan praktik boikot senyap.

Tingginya popularitas serta kuatnya elektabilitas pasangan calon petahana melatarbelakangi keputusan parpol untuk tidak mencalonkan kadernya. Kalau maju untuk kalah, mengapa pencalonan harus dilakukan. Itulah kira-kira asumsi publik terhadap pilihan politik parpol untuk tidak mencalonkan kadernya sebagai pasangan calon pilkada.

Namun kini, bola panas tuduhan publik beralih dari parpol ke KPU. Sebab, dalam kasus Surabaya, sebagai misal, parpol mulai berani tampil dengan mengusung pasangan calon. Setelah pasangan Dhimam-Haris gagal maju pada perpanjangan pendaftaran awal, PAN-Demokrat mengusung RasiyoDhimam untuk maju.

Tapi, dalam proses verifikasi berkas, akhirnya KPU Surabaya memutuskan pasangan Rasiyo-Dhimam tidak memenuhi syarat (TMS). Akibatnya pun bisa ditebak. Keduanya dinyatakan tidak bisa melanjutkan pencalonan.

Status TMS itu disematkan menyusul dua hal utama. Pertama, rekomendasi yang diberikan kepada keduanya dianggap tidak identik. Antara rekom dengan tanda tangan hasil scan yang diberikan pada hari terakhir pendaftaran (11/08/2015) dan rekom dengan tanda tangan basah saat verifikasi berkas (19/08/2015) dianggap memiliki perbedaan. Kedua, salah satu pasangan dianggap bermasalah karena gagal menyerahkan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).

Seiring dengan beralihnya bola panas tuduhan ke KPU dalam kaitannya dengan karut-marutnya proses penyelenggaraan pilkada di sejumlah daerah di atas, saya melihat ada beberapa problem mendasar yang dihadapi KPU. Yakni, problem belum terserapnya aturan teknis ke dalam basis pemahaman KPU di daerah. Pemahaman terhadap aturan teknis ternyata tidak sama antara satu KPU dan KPU lainnya di beberapa daerah.

Ada KPU yang dirasakan publik terlalu longgar dalam melaksanakan regulasi pilkada. Contohnya KPU Lamongan. Oleh Relawan Demokrasi Lamongan, KPU bersama komponen penyelenggara pemilu lain, seperti panwas, dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait dengan pelolosan dua pasangan calon bupati independen, Mujiono-Sueb (JOS) dan pasangan Nur Salim-Edi Wijaya (SAE).

KPU Lamongan dianggap tidak menjalankan PKPU Nomor 9 Tahun 2015 pasal 23 tentang verifikasi administrasi dan faktual yang berakibat pada pelolosan dua calon pasangan independen dimaksud.

Ada juga KPU yang dirasakan publik terlalu ketat dalam menjalankan regulasi pilkada. Surabaya adalah contohnya. Bagi pendukung pasangan calon Rasiyo-Abror dan pendukung pilkada Surabaya serentak, KPU Surabaya dinilai terlalu kemajon (berlebihan) dalam menjalankan aturan teknis pilkada.

Mereka mengkritik, sebelum sidang hasil verifikasi berkas KPU Surabaya, seharusnya memberitahukan lebih dulu kepada pihak pengusung Rasiyo-Abror jika memang dipandang ada kekurangan dalam pemberkasan keduanya.
Sebab, hal yang sama sebelumnya dilakukan KPU Surabaya kepada pasangan petahana Risma-Whisnu. Perbedaan perlakuan ini lalu menimbulkan kecurigaan lebih jauh.

Menurut hemat saya, problem belum terserapnya aturan teknis ke dalam basis pemahaman KPU di daerah di atas bertemu pada satu titik dengan sikap kehati-hatian KPU di daerah sebagai pelaksana teknis pilkada serentak. Sikap kehatihatian ini dilatarbelakangi beberapa fakta dan pengalaman politik yang sempat mengemuka pada momen kontestasi politik sebelumnya.

Satu di antaranya adalah muncul atau beredarnya rekomendasi ganda. Karena itu, rekomendasi identik menjadi isu penting. Namun demikian, kehati-hatianyangberlebihan bisa juga menimbulkan kegaduhan politik saat hal itu dilakukan dengan menafikan fakta politik lain.

Yakni, bahwa tiadanya pasangan calon lain selain pasangan calon yang diusung partai politik pendukungnya seharusnya menjadi penanda jelas bahwa tidak ada dukungan ganda.

KPU di daerah bisa juga melibatkan institusi kepolisian melalui puslabfor untuk turut serta menguji validitas tanda tangan hasil scan yang diserahkan ke KPU pada saat pendaftaran.

Uji labfor selanjutnya dilakukan juga terhadap tanda tangan basah yang ada pada surat rekomendasi susulan. Lalu, status kevalidan tanda tangan hasil scan itu dicocokkan dengan tanda tangan basah dimaksud.

Itu semua penting dilakukan KPU agar pelaksanaan pilkada tidak seperti bunyi tokek yang tidak bisa dipastikan kapan bermula dan kapan pula berhenti. Apalagi, penyelenggaraan pilkada serentak makin mepet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar