Senin, 08 Maret 2021

 

Renungan Ibuku

 Jean Couteau ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu

                                                        KOMPAS, 07 Maret 2021

 

 

                                                           

Kalau sedang mengemudi, aku suka membiarkan pikiranku melayang-layang, merekam arti hal-hal yang sepele. Cara orang menyeberang jalan, lubang di aspal, gerobak bapak kerempeng yang mengangkut sampah, mobil sangat besar yang menyosor dari belakang sebelum tiba-tiba menyalip kasar, kepala pria dihiasi udeng.... Semua detail sepele itu aku perhatikan dan lantas menjadi kesan yang tertera di benakku: itulah Indonesiaku, dan itulah Baliku….

 

Ya! Di negeri itu kini bermukim diriku, bule sudah tua, yang masa kecilnya dilewati di pinggir sebuah sungai di Perancis yang indah, dengan benteng kuno besar yang menjorok di seberang sana, seolah-olah demi mengingatkan kesadaran sejarah.

 

”Aku” ketika di sana! ”Aku” ketika di sini! Apakah ”aku” itu adalah ”aku” yang sama? Di sana adalah tempat aku lahir, Perancis, diasuh ibu yang seorang pelukis. Di sini tempat aku akan mati, Indonesia, menjadi penulis seni budaya.

 

Jati diri! Kata itu berdengung di telinga, ”Kunci jati dirimu ada pada orang lain”. Almarhumah Ibu pernah berkata. Apa artinya kata itu bagiku di sini? Apakah usai menjelajahi dunia dan bermukim di Bali, aku betul-betul telah menemukan kebersamaan dengan sesama yang diidamkannya? Oh Ibu!

 

Ngapain aku mengendarai mobil ini? Aku sedang menuju Desa Mas di Kabupaten Gianyar, tepatnya ke Gallery Bidadari. Akan bertemu dengan seorang yang juga perantau, yang aku ketahui telah seperti aku ”menggali lubangnya” di rantau sebagai pengelola galeri, seorang wanita. Bila aku berasal dari ujung Barat Eurasia, di Perancis, dia lahir di sebuah pulau di ujung Timur-nya, di Jepang. Kami berdua kini berumah tangga di Indonesia.

 

Sambil membelok ke kanan atau ke kiri, terbayang di benak wajah ibuku ketika masih muda: ”Kita bangsa yang pintar di Perancis, Nak. Tetapi, kita juga belajar dari negeri jauh, anakku. Di Beaux-Arts (Sekolah Tinggi Seni), dosenku selalu menekankan bahwa Jepang-lah guru kami di dalam hal dialog kontur dan warna,” ujarnya.

 

Berpikir tentang Ibu, tebersit juga wajah berkeriput seorang pria Jepang tua, teman almarhumah, yang mengunjungi kami setiap dua tahun. Apa tujuannya? Menjelajahi satu per satu gereja-gereja gaya Roman di daerah kami. Ya! Jepang dan Perancis memang berbagi minat perihal sejarah dan seni?

 

Sesampai di Mas, Hiromi sudah menanti, tersenyum. Kami melihat karya, lalu duduk, lantas berbicara tentang ini itu. Khususnya tentang seni: seni Jepang yang cenderung mengambil inti bentuknya dibandingkan dengan seni Bali yang sebaliknya berbiak di dalam detail yang semakin kecil.

 

Lalu, tiba-tiba suara hati keluar, ”Aku hidup di Bali, Pak Jean, sebagai orang Jepang. Tetapi, aku tidak melihat perbedaan antara Bali dan Jepang. Aku justru melihat persamaan.”

 

Hiromi melanjutkan, ”Yang pokok di Bali adalah leluhur, kan? energi alam, dengan dewa-dewanya, tanpa dogma. Tepat seperti di ajaran Shinto, yang juga menghormati alam dan leluhur. Keluargaku berasal dari pusat kultus Shinto di Kiyushu. Di situ pendeta Shinto adalah penjaga hutan, penjaga keseimbangan, tepat seperti dalam tradisi Bali….”

 

Suara lirih halusnya terdengarnya seolah bersenandung, bersenandung tentang Bali-nya, yang juga Jepang-nya. Bagaimana di sana ataupun di sini kita harus berdamai dengan ”mandala” hingga tergapai kesatuan makna.

 

Mendengarnya berbicara seperti itu, aku teringat wejangan khas Bali yang berkata: semua kepercayaan adalah sama. Bagai sungai yang semua berasal dari Gunung dan semua bermuara di Lautan yang sama. Ada pula padanan ungkapan Jawa yang berkata, Tuhan bagai pasar, untuk menujunya ada jalan dari Timur, dari Barat, dari berbagai jurusan.

 

Wajah Ibu terlintas di benakku. Saat beliau sudah sangat tua, delapan tahun yang lalu: ”Kau seperti aku, Jean. Dunia aku jelajahi dari Yunani sampai ke Laos dan Afrika. Harapan kaum wanita telah aku abadikan di potret-potretku. Mantra biku-biku aku usapkan di kanvas pada baju oranyenya. Semoga kau mampu meneruskan dalam pesan kata bermakna apa yang aku sampaikan dengan garis dan warna.”

 

Itulah terakhir kali aku melihat Ibu masih hidup sebelum beliau wafat, jauh dari kehadiran saya.

 

Aku kini tahu: baik di Perancis maupun pada senyuman Hiromi di Mas, Bali, atau di Jawa dan entah lagi di mana, ada saja orang yang berbagi impian ibuku. Masih mampukah aku? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar