Sabtu, 13 Maret 2021

 

Pemenggalan Seorang Guru di Perancis Dipicu Hoaks dan Kebencian

 Kris Mada ; Wartawan Kompas

                                                        KOMPAS, 12 Maret 2021

 

 

                                                           

Pemenggalan kepala seorang guru di Perancis, Samuel Paty, tahun lalu, yang menggegerkan dunia hingga muncul seruan boikot produk Perancis di Indonesia, ternyata dampak kabar bohong atau hoaks yang gagal dicegah dan telanjur menyebar.   Kasus itu juga memicu debat soal penyebaran kebencian dan kebohongan di media sosial.

 

Media Perancis menyoroti lagi kasus itu merujuk fakta persidangan, awal pekan ini. Pengajar politik Perancis di Universitas Indonesia, Mahmoud Syaltout, Kamis (11/3/2021), di Jakarta, mengatakan, pembunuhan Paty menunjukkan bahaya penyalahgunaan politik dan agama.

 

”Bermula dari kebohongan, bertemu kepentingan politik berbalut agama, ditambah dengan radikalisme. Penyebarannya cepat sekali di media sosial,” ujarnya.

 

Paty dipenggal imigran keturunan Chechnya, Abdullakh Anzorov (18), pada Oktober 2020. Anzorov memenggal Paty setelah mendengar ajakan bela agama yang, antara lain, diserukan oleh Imam Masjid Pantin, Abdelhakim Sefrioui. ”Dia (Sefrioui) memakai kasus Paty untuk mencari dukungan menjadi semacam imam besar, jabatan resmi, di Perancis,” kata Syaltout seraya menyebut Sefrioui.

 

Sefrioui gencar mengajak Muslim Perancis untuk memprotes ”tindakan” Paty setelah ada video yang dibuat Brahim Chnina, awal Oktober 2020. Chnina membuat video itu setelah anaknya, pelajar yang ikut kelas Paty, mengklaim telah melihat dan mendengar Paty meminta siapa pun keluar kelas jika tidak setuju dengan karikatur yang akan ditunjukkan Paty.

 

Menurut pelajar yang hanya disebut berinisial Z (13) itu, Paty menunjukkan karikatur Nabi Muhammad yang pernah dimuat di majalah Charlie Hebdo.

 

Dalam penyidikan ditemukan, Z ternyata tidak masuk kelas pada hari Paty diduga menunjukkan karikatur. Sebab, Z sedang dilarang masuk sekolah karena kerap bolos. Kepada jaksa, Z mengaku berbohong kepada ayahnya.

 

Jaksa menemukan, sejumlah pelajar bercerita kepada Z soal karikatur yang ditunjukkan Paty. Kepada penyidik, sejumlah pelajar di kelas Paty mengaku hanya diminta menutup mata jika tidak mau melihat karikatur yang akan ditunjukkan.

 

Pada 6 Oktober 2020, Paty, seorang guru Sejarah dan Geografi, mengajar tentang ”dilema”. Dia mengajukan pertanyaan ”menjadi atau tidak menjadi Charlie?”, mengacu pada tagar #JeSuisCharlie yang digunakan untuk menyatakan dukungan bagi Charlie Hebdo setelah teroris membunuh 12 orang pada Januari 2015.

 

Sementara Chnina, seperti dilaporkan Le Parisien dan Le Figaro, awalnya mengakui marah dengan cerita anaknya soal ulah Paty. Kemarahan itu memicunya membuat video untuk menceritakan ulang kebohongan Z lalu menyebarkannya  ke media sosial hingga memicu protes keras di sejumlah negara. Puncaknya, Paty dipenggal Anzorov di dekat rumahnya.

 

Pengacara keluarga Paty, Virginie Le Roy, mengatakan bahwa keluarga berharap kasus itu diungkap secara tuntas dan adil. ”Kematian Sammuel Paty disebabkan oleh kebohongan. Hal itu tidak boleh terjadi lagi. Kita harus memperkuat pendidikan, mencegah radikalisasi. Kematian Paty tidak boleh sia-sia,” katanya kepada media Perancis, RTL.

 

Ada kaitan

 

Penyidik menyimpulkan, ada kaitan langsung antara video Chnina dan pemenggalan Paty. Anzorov diketahui pernah menjadi milisi di Suriah bersama keluarga Chnina. Ia termotivasi mengejar Paty setelah melihat video Chnina dan mendengar ajakan Sefrioui dan sejumlah penceramah lain.

 

Meski pengangguran, ia bersemangat melakukan perjalanan lintas provinsi dan membayar 300 euro kepada sejumlah murid tempat Paty mengajar. Bayaran itu sebagai imbalan karena dua pelajar itu membantu Anzorov mengidentifikasi Paty. Atas perannya, dua pelajar itu ikut diperiksa penyidik. Chnina dan anaknya, Z, juga ditangkap.

 

Media Perancis, Le Parisien, melaporkan, pemenggalan Paty memicu lagi debat soal peran media sosial dalam menyebar kebohongan dan kebencian. Kasus itu juga memicu debat soal kebebasan berpendapat.

 

Syaltout mengatakan, ada batasan hukum untuk kebebasan berpendapat di Perancis. Siapa pun bisa melapor ke polisi jika haknya dilanggar kala pihak lain menyampaikan pendapatnya. Jika cukup bukti, sesuai hukum, polisi wajib menindaklanjutinya. ”Kalau tidak, polisinya disanksi,” kata lulusan Universitas Sorbonne itu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar