Game
Changer Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan |
JAWA
POS, 06 Maret 2021
”NECESSITY
is a mother of invention.” Plato menyatakan konsep itu sekitar 25 abad yang
lalu. Sampai saat ini, apa yang dinyatakan filsuf Yunani tersebut masih
relevan. Dalam sejarah peradaban manusia, berbagai penemuan dipicu oleh
munculnya tantangan baru kehidupan dan alam yang terus berubah. Apalagi,
jumlah penduduk yang mendiami bumi ini terus berkembang. Mulai penemuan kapak batu, api, aktivitas
berburu, pertanian, mesin uap yang memicu revolusi industri, listrik,
komputer, hingga teknologi informasi di era 4.0. Berbagai penemuan itu telah
mengubah wajah dunia dari masa ke masa. Ketika teknologi berkembang kian pesat,
siklus perubahan juga bergerak lebih cepat. Disrupsi pun muncul, memantik
peralihan besar (great shifting) dalam kehidupan manusia. Disrupsi teknologi memunculkan game changer
yang sudah berhasil mengubah maupun berpotensi mengubah banyak hal, mulai
peta bisnis, ekonomi, cara menjalani kehidupan, sampai kepemimpinan dan
demokrasi. Dipicu kesadaran bahwa disrupsi bukan hanya soal teknologi, tapi
juga business process dan business model, kita mengenal pendekatan
telemedicine, ride sharing, online shopping, financial technology (fintech),
mobil listrik, virtual wedding, serta berbagai platform digital lainnya. Bank
pun merespons fintech dengan menjadi digibank, supply chain menjadi
ecosystem, dan korporasi kelak beralih menjadi platform. Teknologi memang memegang peran kunci.
Namun, saat pandemi Covid-19 melanda, kita menyadari inilah game changer
dengan kekuatan luar biasa yang memaksa perubahan. Di masa pandemi, kebutuhan
aktivitas apa pun secara online melonjak untuk menggantikan aktivitas offline.
Sehingga korporasi pun harus mengubah business process dan business model-nya
agar tetap bisa sejalan dengan kebutuhan yang digerakkan angin perubahan
pandemi Covid-19. Aktivitas work from home yang masif telah
menyadarkan manusia bahwa kita sesungguhnya sudah tak perlu terikat dengan
tempat dan waktu dalam beraktivitas. Semua bisa dikerjakan dan dikendalikan
dari jarak jauh. Namun, transisinya mungkin adalah konsep
hybrid yang mengombinasikan work from home dengan work from office. Tapi,
kini kita mulai mempertanyakan beragam konsep yang menyangkut efisiensi dari
sebuah kapasitas, apakah itu skala ekonomis, titik impas, kuantitas order
yang ekonomis, dan seterusnya. Apalagi ketika social distancing menjadi lebih
penting ketimbang skala ekonomis. Segala infrastruktur yang tetap mulai
dibuat lebih fleksibel dan segala prosedur yang rigidity digantikan agility. Lalu, pendekatan ambidexterity dalam bisnis
mulai menjadi fenomena, yaitu memisahkan mana usaha lama yang masih harus
dieksploitasi (karena sudah kadung besar kendati diproyeksikan akan terus
menurun) dan mana yang mulai dieksplorasi (karena masih kecil). Jangan heran
kalau BUMN dan usaha-usaha milik beragam grup besar dalam waktu dekat akan
banyak berubah dan mulai mengadopsi teknologi dan cara baru. Pun cara-cara
tumbuh secara anorganik akan makin banyak kita saksikan. Dari munculnya konsep work from home saja,
dampaknya sangat besar. Tidak hanya dalam proses adopsi teknologi oleh para
pekerja dan manajemen, tapi juga pada berbagai sektor bisnis yang terkait
secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya industri hiburan dan wisata,
properti komersial, transportasi, otomotif, office appliance, listrik, serta
telekomunikasi. Dalam skala negara, pandemi juga menjadi
game changer dan meniupkan angin perubahan di bidang layanan, tata kelola,
dan kebijakan anggaran negara. Mulai percepatan proses penganggaran,
pelebaran ruang defisit APBN, hingga skema restrukturisasi dan recovery
ekonomi, termasuk berbagai insentif untuk individu maupun pelaku usaha. Angin perubahan ini bertiup begitu kencang
hingga menembus sekat-sekat rumah kita. Orang tua maupun anak-anak yang belum
pernah mendengar virtual meeting atau video conference kini sudah akrab
dengan Zoom, Weebex, Google Meet, CloudX, serta berbagai aplikasi lainnya.
Tanpa pandemi, sulit bagi kita membayangkan adopsi teknologi virtual class
bisa dijalankan bahkan hingga level pendidikan usia dini atau anak-anak TK. Pandemi Covid-19 benar-benar menjadi game
changer dalam kehidupan ini. Nanti, begitu semua ini berakhir, kita akan
menyaksikan siapa saja yang menghilang dan siapa saja pemain-pemain baru.
Akan ada banyak lagi peristiwa merger dan akuisisi. Juga masih akan banyak
drama perubahan, di samping inovasi baru yang memudahkan dan memurahkan. Generasi
Entrepreneur Disrupsi teknologi menjadi media tanam bagi
tumbuh suburnya generasi entrepreneur. Kekuatan digitalisasi membuat sebuah
bisnis bisa dilakukan dengan modal yang jauh lebih efisien sehingga barrier
akses modal menjadi lebih ringan. Kuncinya adalah resources orchestration,
bukan resources control seperti yang dikenal dalam konsep mata rantai nilai. Karena itu, ketika pandemi Covid-19
menyeret berbagai negara ke jurang resesi, tren entrepreneurship justru
merangkak naik dalam kecepatan yang mengagumkan. Laporan McKinsey, The Next
Normal Arrives menunjukkan, di negara-negara maju di mana digitalisasinya
sudah matang, jumlah entrepreneur yang bekerja dari kertas putih nan polos
naik signifikan. Di Amerika Serikat, pada triwulan III 2020
saja, ada lebih dari 1,5 juta aplikasi pendaftaran bisnis baru. Jumlah itu
hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun 2019. Kebanyakan adalah
bisnis skala kecil. Misalnya chef restoran yang mengembangkan usaha katering
dengan jalur penjualan online yang lalu berkembang menjadi kitchen cloud
maupun bisnis di bidang digital oleh para fresh graduate. Di Eropa, meskipun strategi recovery
ekonominya lebih menitikberatkan pada perlindungan lapangan kerja, tren
pertumbuhan entrepreneur juga muncul. Misalnya, di Inggris, jumlah
pendaftaran bisnis baru sepanjang triwulan III 2020 naik 30 persen dibanding
periode yang sama 2019. Kenaikan ini adalah yang terbesar sejak 2012. Di
Prancis, pendaftaran bisnis baru pada Oktober 2020 mencapai 84 ribu, rekor
tertinggi yang pernah ada. Di Indonesia, tren serupa bisa kita lihat
dari salah satu indikator pertumbuhan jumlah seller atau penjual di
marketplace. Misalnya, di Tokopedia, pada akhir 2019, jumlah seller-nya ada
di kisaran 6,5 juta. Hingga akhir 2020, jumlahnya sudah melonjak hingga
mencapai 10 juta. Di bidang kosmetika dan perawatan kulit, muncul ratusan
pemain baru dengan ratusan influencer serta ribuan reseller dan drop shipper.
Padahal, pada saat yang sama, pemain-pemain lama yang populer sepuluh tahun
lalu justru dilanda ”penyakit penuaan dan kemunduran”. Sebagian pendatang baru di marketplace itu
adalah pelaku usaha yang sebelumnya berjualan offline. Sebagian lagi dulunya
adalah pekerja atau ibu rumah tangga biasa, kemudian terjun ke bisnis online
di masa pandemi. Menangkap peluang bisnis dari peralihan pola belanja
konsumen dari offline ke online. Karena itu, tak mengherankan jika jumlah
transaksi perdagangan online naik signifikan. Data Indonesia E-Commerce
Association (IdEA) menunjukkan, belanja online selama pandemi mencatat
pertumbuhan hingga 30 persen. Digitalisasi tampaknya menjadi backbone
bagi munculnya pelaku-pelaku usaha baru. Bukan hanya itu, digitalisasi juga
menjadi perisai sekaligus senjata bagi UMKM untuk menghadapi pandemi. Data
survei Mandiri Institute menunjukkan, 9 persen UMKM dengan akses digital
mencatat kenaikan omzet di masa pandemi. Angka ini lebih tinggi dibanding
UMKM tanpa akses digital yang hanya 4 persen. Ini tentu menjadi angin segar bagi
perekonomian Indonesia. Ketika jumlah entrepreneur naik signifikan dan adopsi
teknologi sudah makin matang, rebound berpotensi lebih cepat ketika momentum
recovery ekonomi sudah didapat. Otomasi
Industri Ada fakta menarik. Data United Nation World
Tourism Organization (UNWTO) menyebutkan, sepanjang paro pertama 2020,
pandemi mengakibatkan perjalanan internasional anjlok hingga 65 persen. Penurunan
ini lima kali lipat lebih besar dibanding periode 2009 saat dunia dihantam
krisis finansial. Jika lalu lintas manusia merosot begitu
dalam, lalu kira-kira berapa penurunan lalu lintas barang via laut (global
maritime trade)? Jawabannya 4,1 persen. Ya, hanya 4,1 persen. Ini berdasar
estimasi UN Conference on Trade and Development (UNCTAD). Alasannya, karena
manusia rentan terhadap serangan virus, sehingga perjalanan internasional
yang memicu risiko terpapar Covid-19 turun signifikan. Adapun risiko lalu
lintas kargo barang terhadap paparan Covid-19 tak sebesar manusia. Tapi, jika dicermati lebih dalam, salah
satu kata kuncinya adalah otomasi. Global maritime trade bisa terus berjalan
di tengah pandemi karena optimalisasi teknologi shipping atau armada kargo
membuat keterlibatan manusia bisa diefisienkan. Sebagai gambaran, pada tahun 1582, seluruh
armada kapal dagang Inggris hanya memiliki kapasitas angkut 68.000 ton dan
membutuhkan 16 ribu awak kapal. Bandingkan dengan satu kapal kargo OOCL
Hongkong yang beroperasi pada 2017. Kapal sepanjang 399 meter bikinan Samsung
Heavy Industries itu mampu mengangkut kargo 210.000 ton. Berapa kru kapal
yang dibutuhkan? Hanya 22 orang. Demikian pula sektor manufaktur saat ini.
Sebagai salah satu sektor terbesar dalam penggunaan tenaga kerja, otomasi
adalah kunci. Karena itu, pelaku usaha di sektor manufaktur harus mengambil
momentum dari perkembangan teknologi 5G. Instrumennya adalah cobot atau
collaborative robot. Kehadiran robot yang diperkuat teknologi artificial intelligence
ini mungkin bisa menggantikan tenaga manusia dalam jumlah cukup signifikan
untuk menjawab tantangan ”lockdown” akibat pandemi. Namun, inti dari
pengoperasian 5G terletak pada kemampuan digerakkan dari jarak jauh. Robot bisa bekerja berdekatan tanpa
khawatir terjangkit virus, juga bisa bekerja tanpa batasan waktu seperti
manusia. Tambahan pula, tingkat kecerdasan robot hari ini sudah kian melebihi
kemampuan manusia dalam berpikir dan membuat keputusan. Jadi, bukan hal baru lagi bahwa manusia sebagai
operator bisa bekerja di ruangan terpisah yang jauh sekalipun sehingga aman
dari persebaran virus. Semua hal itu dimungkinkan terjadi lebih cepat dengan
hadirnya jaringan 5G. Wind
of Change, Buritan vs Haluan Meminjam istilah pakar sejarah Noah Harari,
jika pandemi Covid-19 tak bisa ditangani dengan baik dan terus menyebar serta
merenggut nyawa manusia pada 2021 ini, atau pada 2030 nanti manusia masih
belum bisa menangani serangan pandemi mematikan, hal itu bukan karena bencana
alam atau hukuman dari Tuhan. Melainkan kegagalan umat manusia. Demikian juga dalam dunia bisnis. Pandemi
selama 2020 harus menjadi periode krusial dalam transisi perusahaan. Angin
perubahan harus bisa mendorong layar transformasi dalam business model maupun
business process terus terkembang. Sehingga kapal bisnis bisa melaju di
tengah gelombang. Artinya, angin perubahan yang ditiupkan
pandemi Covid-19 ini harus bisa dikelola agar menjadi angin buritan
(tailwind) yang justru bermanfaat untuk mendorong laju kapal agar melesat
lebih cepat. Memang dibutuhkan strategi inovasi dan adaptasi agar pandemi ini
tidak menjadi angin haluan (headwind) yang menghambat laju perusahaan. Inilah
challenge besar yang harus dihadapi pelaku usaha. Karena itu, jangan sampai pada 2021 ini
masih ada perusahaan yang belum tergerak oleh dorongan angin perubahan dan
tetap terjebak dalam pusaran gelombang gagal paham. Jika hal itu terjadi,
ketika nanti kondisi kesehatan perusahaan makin buruk, penyebab utamanya
bukan lagi pandemi, melainkan kegagalan beradaptasi dan merespons perubahan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar