Problematika
Musik Indonesia Mutakhir Aris Setiawan ; Etnomusikolog |
KOMPAS,
13 Maret
2021
Jauh sebelum pandemi, sebenarnya kondisi
musik kita, terutama di kancah industrial, sedang tidak baik-baik saja. Harus
diakui, media sosial—terutama YouTube—berperan besar dalam hal ini. Siapa pun, tanpa harus melalui proses yang
panjang, dapat menjadi musisi atau artis musik dengan seketika. Yang
dibutuhkan kemudian adalah viral, atau mampu menggaet animo penonton dalam
jumlah besar. Tidak peduli karya yang ditampilkan berbobot atau sekadar
konfliktual. Lebih dari itu, media sosial adalah aktor
utama yang menumbangkan bangunan kokoh industri musik Tanah Air, ditandai
dengan bangkrutnya label-label—perusahaan rekaman—besar di Ibu Kota. Musisi Tanah Air takut membuat karya baru.
Karena begitu karya baru dibuat, beberapa menit kemudian karya itu sudah
terbajak dengan masif. Dinyanyikan ulang—cover—di media sosial oleh penyanyi
atau artis lain, tentunya dengan kualitas dan gaya yang lebih baru dan segar.
Akibatnya, musisi merugi, hasil karyanya terus dibajak dan menguntungkan
pihak lain, tetapi ia tak mendapat kompensasi apa pun (A Setiawan, 2020). Oleh karena itu, hari ini kita tidak lagi
melihat karya-karya baru yang dikemas secara serius, seperti pembuatan
videoklip dengan menggandeng sutradara film, misalnya. Hal itu dipandang
percuma, biaya mahal yang dikeluarkan tak berbanding dengan keuntungan yang
didapat. Undang-Undang Hak Cipta hanya galak di wacana, tetapi lembek dalam
implementasi praktiknya. Kondisi yang demikian sebenarnya cukup
berbahaya, terutama bagi ekosistem perkembangan musik ke depan. Tak ada lagi
laku kreatif dalam menciptakan karya bermutu. Hal ini semakin diperparah
dengan pandemi. Apabila selama ini musisi mengandalkan
pementasan langsung di hadapan penonton sebagai penopang hidupnya, kini hal
itu tak lagi dapat dilakukan. Posisi mereka kian problematis. Pada satu
sisi, hendak berkarya lewat jejaring media sosial, tetapi risiko dibajak. Di
sisi lain, jika tidak berkarya, nama mereka akan segera tenggelam atau tak
lagi dikenal publik. Akibatnya, job manggung kian sepi dan tergantikan musisi
lain. Sementara di kanal-kanal media sosial terus
muncul artis-artis musik baru yang lebih populer, padahal semata hanya
mengandalkan karya cover dari lagu yang sudah ada. Otomatis dibutuhkan gerakan frontal dalam
upaya mengembalikan ekosistem kehidupan musik Tanah Air. Gerakan itu tidak
semata kebijakan berupa peraturan perundang-undangan, tetapi lebih pada
strategi kebudayaan. Pelibatan seluruh episentrum di selingkar
kehidupan musik menjadi mutlak diperlukan, baik pelaku, stakeholders, publik,
maupun pemerintah. Musisi tidak akan mampu bergerak sendiri dalam upaya melawan
pembajakan, tetapi butuh kerja sama dari semua pihak. Publik, misalnya, selama ini termanjakan
dengan pelbagai suguhan menarik di kanal media sosialnya secara gratis,
tetapi tanpa diimbangi pengetahuan memadai tentang pentingnya menghargai
karya musik dari pencipta aslinya. Tidak ada kesadaran bahwa perilaku yang
demikian akan mematikan sisi kreatif musisi, hingga tidak lahirnya karya
musik bermutu, berujung pada rusaknya ekosistem musik di negeri ini. Jauh
sebelumnya, gejala yang sama juga terjadi dalam bingkai musik tradisi, hanya
saja penyikapannya dilakukan secara berbeda. Musik
tradisi Sebelum media sosial memorakporandakan
bangunan industri musik Tanah Air, kehidupan musik tradisi kita telah
terlebih dahulu mengalami masifnya pembajakan lewat VCD-DVD tak orisinal. Oleh karena kesenian tradisi dianggap tidak
memiliki pilar corak industri yang kokoh, pembajakan menjadi hal yang sangat
biasa. Di pasar-pasar pojok kampung, dengan mudah kita jumpai penjual yang
memajang kaset VCD-DVD bajakan, berisi musik campursari, klenengan gamelan,
bahkan orkes dangdut di hajatan pernikahan. Namun, seniman tradisi menyikapinya dengan
realistis, bahwa ketika musisi pop Ibu Kota memiliki label rekaman besar
dalam memublikasikan karyanya, VCD-DVD bajakan itu bagi musisi desa adalah
sarana publikasi yang paling efektif. Semakin banyak dibeli, ditonton, dan
didengarkan, kemungkinan besar job pentas mereka akan semakin banyak. Hajatan-hajatan di kampung pun tak lengkap
jika tidak menghadirkan mereka. Bahkan, tidak sedikit artis Ibu Kota yang
dibesarkan dari VCD-DVD bajakan, sebutlah Inul Daratista, Via Vallen, dan Ayu
Ting-ting misalnya. Dalam konteks musik tradisi, ada kesadaran
bahwa mendengarkan tanpa menghadirkan adalah sebuah laku kerja yang tak
lengkap. Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai kembali bergeliat ritus
nggantung gong, yakni menggelar konser—klenengan—gamelan dalam pelbagai
peristiwa kebudayaan. Tingginya angka pembajakan karya musik
berbanding lurus dengan tingginya permintaan pentas. Persoalannya kemudian
adalah, ruang-ruang pementasan itu kini tidak lagi ada karena pandemi. Musisi
tradisi mengalami gejolak hidup yang paling memprihatinkan. Tidak sedikit dari mereka yang berusaha
membawa gerbong pertunjukan dari luring menjadi daring, dengan memanfaatkan
media sosial, sebagaimana yang terjadi pada musik-musik pop. Tetapi, harus
diakui bahwa ada kegagapan atau ketidaksiapan. Apabila musik pop telah menemukan bentuk
dan formatnya untuk tampil di kanal-kanal media sosial, tidak demikian bagi
musik tradisi. Kodrat media sosial yang lebih mengandalkan kuasa visual tidak
berbanding dengan entitas musik tradisi yang lebih mengandalkan kualitas
auditif. Bayangkan, konser karawitan tampil di
Youtube, dengan posisi tubuh musisi yang terlihat diam dan khusyuk bermain
gamelan. Bahkan sesekali terlihat mengantuk. Membosankan bukan? Lalu, bagaimana menyiasati capaian kualitas
bunyi musik tradisi dalam media sosial, saat harus mengubah bunyi instrumen,
atau suara vokalis musik tradisi, menjadi getaran elektrikal. Kemudian masih
pentingkah kita menata instrumen gamelan seperti di pendopo, misalnya, saat
bunyi instrumen itu saling campur, bertabrakan secara digital? Persoalan musik kemudian tidaklah
sesederhana seperti yang kita pikirkan. Atau pertanyaan yang paling
sederhana, hingga kini kita belum memiliki prosedur standar operasi (SOP)
dalam upaya mendigitalisasi bunyi gamelan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar