Salah
Urus Impor Beras 1 Juta Ton Khudori ; Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan Asosiasi Ekonomi
Politik Indonesia (AEPI) |
KOMPAS,
12 Maret
2021
Sikap tegas disuarakan Kompas (6/3/2021).
Lewat Tajuk Rencana ”Menyoal Rencana Impor Beras” ditulis, ”Pemerintah
sebaiknya menarik kembali rencana impor beras karena berbagai fakta
memperlihatkan kondisi pangan nasional tidak bermasalah atau setidaknya tak
ada tanda-tanda bermasalah.” Siapa pun yang membaca bisa memahami ada
proses yang putus ketika pemerintah menetapkan rencana impor beras 1 juta
ton: justifikasi kebijakan tidak kuat. Kala justifikasi lemah, kebijakan pun
digugat. Pertama, rencana impor dilakukan saat panen raya. Ini tak tepat.
Dari pengalaman puluhan tahun diketahui, irama tanam padi serentak
menghasilkan irama panen yang ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan
60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30
persen dari total produksi), dan paceklik (Oktober-Januari). Saat panen raya, produksi melimpah dan
kualitas gabah/beras menurun. Harga pun turun. Saat musim gadu, kualitas
membaik dan harga gabah/beras terus naik. Harga gabah/beras mencapai puncak
pada musim paceklik. Selain kualitasnya bagus, produksi juga terbatas. Hukum
supply-demand berlaku. Impor saat panen raya berpotensi menekan harga ke
titik terendah. Musim panen, apalagi panen raya, adalah
waktu yang ditunggu-tunggu petani. Proses dari mengolah tanah, menanam,
memupuk, dan merawat padi hingga panen merupakan perjuangan yang melelahkan. Saat padi diserang hama/penyakit, petani
berjibaku agar tanamannya selamat. Kala pupuk subsidi sulit didapat saat
dibutuhkan, petani tak enggan merogoh kocek lebih dalam agar tanamannya tumbuh
sehat. Harapannya, seluruh pengeluaran itu
terbayar saat panen: harga menguntungkan. Keuntungan tak hanya agar mereka
bisa memenuhi kebutuhan hidup, tapi juga melanjutkan usaha tani. Harga gabah
dan beras yang kini turun akan tertekan kian dalam karena impor. Ini
mengkhianati usaha petani. Kedua, impor dilakukan saat produksi
melimpah. Pada 1 Maret lalu, BPS merilis produksi beras Januari-April 2021
diperkirakan 14,56 juta ton, lebih tinggi 26,84 persen dari 2020 (11,46 juta
ton) dan 6,67 persen pada 2019 (13,63 juta ton). Ini karena ada kenaikan luas
panen. La Nina membuat daerah-daerah yang biasanya kekurangan air jadi
tercukupi. Jika pemerintah bisa mengoptimalkan potensi
ini, ada peluang besar produksi 2021 lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya.
Artinya, surplus tahun ini berpeluang lebih besar daripada 2020: 1,90 juta
ton beras. Ditambah akumulasi 2019, surplus kini 7,78 juta ton. Beras
tersebar di rumah tangga, petani, pedagang, penggilingan, dan di gudang
Bulog. Jika produksi naik, bahkan melimpah, dan
surplus besar, pertanyaannya: mengapa harus impor? Seperti dijelaskan Menko
Perekonomian Airlangga Hartarto, 0,5 juta ton beras impor untuk cadangan
beras pemerintah (CBP) bernama stok besi (iron stock). Stok ini harus ada
kapan pun. Sisanya, 0,5 juta ton untuk keperluan Bulog. Jika ini tujuannya, mengapa tak
mengoptimalkan penyerapan produksi domestik? Saat ini waktu paling tepat
memperbesar penyerapan. Pengalaman puluhan tahun mengajarkan serapan Bulog 65
persen terjadi saat panen raya. Jika panen raya terlewatkan, dipastikan
target penyerapan meleset dan peluang menyelamatkan petani saat harga
tertekan sirna. Pada 2021, stok awal beras di gudang Bulog
hanya 981.547 ton, lebih rendah daripada stok awal 2020 (2.024.006 ton) dan
2019 (2.194.009 ton). Stok awal tahun ini mirip 2017: 960.345 ton beras. Stok
awal tahun di bawah 1 juta ton tergolong rendah dan riskan. Kekuatan
pemerintah untuk mengintervensi jika ada kegagalan pasar akan rendah. Ditilik dari sisi ini, rencana pemerintah
memperbesar stok bisa diterima. Namun, sekali lagi, seharusnya stok tidak
dipupuk dari impor, tetapi dari penyerapan beras domestik. Mengapa stok beras awal tahun rendah? Jika
dilihat lebih dalam, ada hal menarik. Stok beras awal tahun rendah beririsan
dengan penyerapan domestik yang kian mengecil dan hilangnya outlet penyaluran
pelayanan publik oleh Bulog. Sejak 2017, penyerapan beras domestik Bulog
terus turun: 2,16 juta ton (2017) menjadi 1,47 juta ton (2018), 1,20 juta ton
(2019), dan 1,25 juta ton (2020). Pada saat yang sama, outlet penyaluran
beras Bulog untuk rastra/bantuan pangan nontunai menciut: 2,54 juta ton
(2017), 1,20 juta ton (2018), 351.000 ton (2019), dan habis pada 2020.
Padahal, periode 2010-2016 rerata penyerapan beras domestik 2,4 juta ton per
tahun dan penyaluran rerata 2,82 juta ton. Bulog hanya operator. Kala pemerintah
membuat kebijakan dengan meniadakan outlet penyaluran pasti, direksi Bulog
harus melakukannya. Di sisi lain, sebagai BUMN berbentuk perum, direksi Bulog
berkewajiban menyetorkan keuntungan ke kas negara. Jika merugi, setiap saat
mereka bisa diganti. Penurunan penyerapan beras domestik yang
diikuti mengecilnya stok beras awal tahun bisa dimaknai sebagai cara direksi
Bulog untuk menjaga keseimbangan: tetap menjalankan fungsi publik (yang kian
minimal) dan tidak rugi. Apakah ini salah? Diakui atau tidak,
manajemen Bulog terlalu lama hidup dalam zona aman. Mereka lupa
bertransformasi. Namun, mencabut bisnis inti Bulog tanpa proses transisi
tentu tak bijak. Bulog tak hanya oleng, tetapi berpotensi bangkrut. Di gudang Bulog, per 5 Maret 2021 masih ada
279.744 ton beras eks impor 2018 serta 172.988 ton beras penyerapan domestik
2018 dan 2019. Beras ini berpotensi turun mutu jika tak segera disalurkan.
Jangan sampai keributan disposal 20.000 ton beras CBP akhir 2019 kembali
terulang. Jika pemerintah tetap mengimpor 1 juta ton
beras, bagaimana nasib beras sisa impor dan hasil serapan 2018 dan 2019 itu?
Bisa dipastikan, pemaksaan impor beras 1 juta ton akan membuat salah urus
perberasan nasional makin akut. Salah kalkulasi impor 2018, absurditas
beleid harga eceran tertinggi (HET), dan kehadiran Satgas Pangan telah
memukul industri perberasan. Jangan dibuat makin kusut. Misi
suci Kebutuhan mendesak saat ini adalah
memecahkan outlet beras stok lama, bukan impor. Jika disalurkan lewat skema
normal di Bulog saat ini, yakni operasi pasar bernama ketersediaan pasokan
dan stabilisasi harga, pasti sulit terjual. Alternatifnya beras dilelang. Berapa pun
harganya, beras dilepas. Jika ada kerugian, karena ini CBP, Bulog mendapat
penggantian dari pemerintah. Cara ini hampir dipastikan ditolak pemerintah
karena alasan tak ada anggaran. Bukankah Bulog menjalankan tugas pemerintah
sebagai bagian hadirnya negara? Logikanya, jika tugas dijalankan dengan
prudent dan merugi, semestinya kerugian ditanggung pemerintah. Bukan
diletakkan di pundak direksi Bulog. Konfigurasi ini menunjukkan, tanpa banyak
kita sadari, satu demi satu salah urus di industri perberasan bermunculan
sejak kebijakan terfragmentasi yang ditandai tidak terintegrasi
hulu-tengah-hilir. Ini terjadi sejak rastra diubah menjadi bantuan pangan
nontunai (BPNT) pada 2017. Saat masih bernama rastra, di hulu Bulog
harus melakukan pengadaan (dengan menyerap beras produksi petani domestik pada
harga yang dipatok pemerintah), mengelola cadangan dan mendistribusikan stok
di tengah, serta menyalurkan beras (ke sasaran) di hilir. Pada BPNT, tugas di hulu dan tengah masih
ada, tapi outlet penyaluran di hilir ditiadakan. Sebagai gantinya disediakan
outlet operasi pasar yang tak pasti. Ketika outlet dihapus, tidak relevan
menugaskan Bulog menyerap beras petani. Menceraikan Bulog dari outlet
penyaluran pasti sama halnya memisahkan dari kewajiban negara melakukan
stabilisasi harga dan ketahanan pangan, seperti amanat konstitusi. UU Pangan No 18/2012 dan UU Perdagangan No
7/2014 telah memberikan mandat tegas: negara harus menjamin ketersediaan dan
akses warga terhadap pangan serta negara harus mengendalikan ketersediaan,
mengatur perdagangan, stabilisasi, dan cadangan pangan (pokok). Keberadaan Bulog adalah pengejawantahan
dari misi suci (mission sacre) kehadiran negara sebagai penjamin terpenuhinya
hak pangan warga. Di Indonesia, harga pangan sering
bergejolak karena struktur dan mekanisme pasar masih jauh dari persaingan
sempurna. Produsen, pengusaha, atau sekelompok kecil orang yang memiliki
kuasa mengendalikan pasokan dan mengatur harga di pasar masih terbuka celah
melakukan kartel dan persekongkolan guna mengatur volume, harga, dan wilayah
distribusi. Kehadiran lembaga seperti Bulog adalah
wujud keberadaan negara untuk mengoreksi watak predatorik pasar, melindungi
warga dari perilaku kuasa pasar yang cenderung mengisap, dan menempatkan
negara pada posisi terhormat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar