Jumat, 12 Maret 2021

 

Bagaimana Soeharto Mengambil Alih Kekuasaan dari Sukarno?

 Husein Abdulsalam  ; Wartawan Tirto

                                                       TIRTO, 22 Februari 2018

 

 

                                                           

Pada hari ketujuh bulan Februari 1967, Presiden Sukarno mengirim dua surat kepada Soeharto. Dalam salah satu surat, Sukarno mengatakan bersedia menyerahkan kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto. Penyerahan itu dengan syarat: Sukarno tetap dipertahankan sebagai kepala negara yang berwenang menyatakan perang, serta mengangkat dan menerima duta besar.

 

Tawaran Sukarno tersebut sebenarnya tidak begitu mengherankan. Setelah penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965, posisinya sebagai presiden semakin lemah.

 

Bung Karno, Esa Hilang Dua Tak Berbilang

 

Pelaku utama penculikan dan pembunuhan itu adalah Letnan Kolonel Untung—seorang komandan Cakrabirawa, pasukan khusus pengawal presiden. Untung tidak bermaksud menggulingkan Presiden Sukarno, tetapi dia dituduh melancarkan kudeta untuk kepentingan Partai Komunis Indonesia (PKI). Tiga hari setelah peristiwa tersebut, Sukarno menunjuk Soeharto, yang saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis AD (Pangkostrad), untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban.

 

Soeharto menindaklanjuti penunjukan tersebut dengan membentuk Komando Pemulihan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 10 Oktober 1965. The Smiling General itu pun menjadi panglima pertamanya.

 

Dalam Soeharto: A Political Biography (2001), sejarawan R.E. Elson menyebutkan, salah satu langkah awal yang dilakukan Kopkamtib adalah menamai peristiwa tersebut "Gestapu" (Gerakan September Tiga Puluh). Nama itu, menurut Elson, memang kurang berbudi bahasa tetapi cukup untuk menggambarkan bahwa peristiwa tersebut merupakan sebuah gerakan politik.

 

Setelahnya, Untung dihukum mati. Sementara organisasinya diberangus, anggota dan simpatisan PKI pun ditangkap lalu beberapa di antaranya dihukum mati atau dibunuh. Soeharto juga menyingkirkan anggota PKI dari jajaran birokrasi kementerian dan lembaga pemerintah lainnya.

 

Elson mencatat sebanyak 1.334 orang terkait PKI ditangkap di Jakarta per 16 Oktober 1965. Diperkirakan lebih dari 400.000 anggota dan simpatisan partai ini tewas dibunuh tentara atau anggota organisasi masyarakat yang berafiliasi dengan musuh-musuh politik PKI pada periode 1965-1966.

 

Menurut Elson, cepat dan masifnya tindakan Soeharto dimotori dua motif. Pertama, motif pengakuan bahwa zaman telah berubah secara mendasar sejak 1 Oktober 1965. “PKI (yang sebelumnya kuat) terbaring bingung, tidak pasti, sangat lemah dan terkapar,” sebut Elson (hlm. 124).

 

Kedua, motif perhatian yang lebih strategis: kebutuhan untuk menciptakan solidaritas dan meningkatkan legitimasi. Soeharto memanfaatkan momentum Gestapu untuk menyatukan kelompok anti-komunis di belakangnya dengan memusatkan perhatian mereka kepada PKI yang dijadikan kambing hitam kudeta.

 

Lemah Politik dan Ekonomi

 

Konstelasi politik Indonesia pun tidak lagi sama setelah PKI tiada. Karen Brooks dalam “The Rustle of Ghost: Bung Karno in the New Order” (1995) mengatakan, Sukarno bertumpu bersama dua kekuatan politik besar, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan PKI, dalam menciptakan stabilitas pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang dicanangkannya sejak 1959. Menurut Brooks, Presiden Sukarno mesti berebut kekuasaan dengan tentara setelah PKI diberantas.

 

“Dengan keluarnya PKI dan tentara bertekad untuk menegaskan kontrol, Sukarno mendapati dirinya dan kebijakannya semakin diabaikan,” sebut Brooks.

 

Itu semakin terlihat sejak Sukarno meneken Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) pada 1966. Surat perintah itu memberi mandat kepada Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan dan menjaga keselamatan presiden.

 

Kronik ’65 (2017) yang disusun Kuncoro Hadi dan kawan-kawan mencatat, Supersemar memiliki kekuatan yuridis yang mengikat semua orang—bahkan Presiden Sukarno pun tidak bisa mencabutnya—ketika MPRS memutuskannya sebagai TAP MPRS Nomor IX/1966 pada 21 Juni 1966. Pada hari itu juga MPRS mencabut gelar Sukarno sebagai presiden seumur hidup.

 

Sementara itu, MPRS memberikan kewenangan kepada Soeharto, sebagai pengemban Supersemar, untuk membentuk kabinet pada 5 Juli 1966.

 

Dualisme Sukarno versus Soeharto di puncak kekuasaan pun tidak terhindarkan. Soeharto mampu memanfaatkan momentum sejak peristiwa Gestapu dengan menjadi Pangkopkamtib hingga mendapat mandat Supersemar. Di sisi lain, lemahnya kondisi ekonomi semasa Demokrasi Terpimpin dan berbagai demonstrasi menentang Sukarno turut membuat posisi politik presiden pertama itu semakin terdesak.

 

Ekonom sekaligus Wakil Presiden RI 2009-2014 Boediono dalam Ekonomi Indonesia (2017) mencatat, perkembangan dan program politik seperti Operasi Pembebasan Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia memaksa pemerintahan Sukarno mempertahankan tingkat pengeluaran yang berakibat kian besarnya defisit APBN.

 

Pemerintah menggelontarkan Rp21 miliar (1963), Rp90,5 miliar (1964), hingga Rp567,1 miliar (1965) untuk membiayai Operasi Pembebasan Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia. Angka tersebut mencakup 17,1 persen pengeluaran APBN 1964 dan 39 persen persen pengeluaran APBN 1965.

 

“Defisit harus dibiayai. Cara yang paling mudah adalah dengan meminjam kepada bank sentral (Bank Indonesia) yang memenuhinya dengan mencetak uang. Inilah sumber paling utama peningkatan uang beredar,” sebut Boediono.

 

Selain untuk menutup defisit APBN, Bank Indonesia juga menyuplai uang baru untuk pembiayaan BUMN yang kala itu menjadi pilar utama Sistem Ekonomi Terpimpin ala Sukarno. Akibatnya, peredaran uang pun membludak.

 

Dua kombinasi peredaran uang tersebut menciptakan inflasi yang dicatat Boediono sebesar 445 persen (1964), 592 persen (1965), hingga 635 persen (1966).

 

Brooks mengatakan ribuan mahasiswa turun ke jalan pada awal Januari 1966 guna menuntut penghentian kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok serta pembubaran PKI. Menurut Brooks, saat itulah tentara telah berhasil menggambarkan PKI sebagai kekuatan brutal dan jahat di balik G30S.

 

Terdesak Kudeta Merangkak

 

Sebulan sebelum Sukarno mengirim surat kepada Soeharto, lelaki yang mendaku penyambung lidah rakyat itu mengirim surat untuk MPRS pada 10 Januari 1967. Saat itu, MPRS diketuai Jenderal A.H. Nasution.

 

Dalam surat bertajuk “Pelengkap Nawaksara” itu, Sukarno menjelaskan ada tiga alasan terjadi Gestok (Gerakan Satu Oktober, nama yang disematkan Sukarno untuk menyebut peristiwa 30 September 1965 malam), yakni keblingernya pemimpin-pemimpin PKI, keahlian subversi neo-kolonialisme dan neo-imperialisme, dan adanya oknum yang tidak benar.

 

Istilah Nawaksara pernah digunakan Sukarno sebagai judul pidato pertanggungjawabannya kepada MPRS pada 22 Juni 1966 yang sama sekali tidak menyinggung soal G30S dan PKI. Dengan adanya surat tersebut, pidato pertanggungjawaban presiden menjadi lengkap. Namun, MPRS menolaknya.

 

Pada 9 Februari 1967, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) mengajukan pelaksanaan sidang MPRS untuk memberhentikan Sukarno. Menurut Elson, saat itu lah Soeharto mendapatkan apa yang dia cari sudah hampir berada dalam genggamannya.

 

Sementara itu, Sukarno, sebagaimana diceritakan O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1984), tidak memiliki pilihan selain mengundurkan diri. "Tindakan yang menarik diri dengan sukarela—sekalipun dengan maksud tersembunyi tertentu—akan lebih baik baginya, daripada diberhentikan dari jabatan oleh lembaga tertinggi negara tersebut" (hlm. 117).

 

Pada 20 Februari 1967, Soeharto mencoba meyakinkan Sukarno dan para pendukungnya bahwa kekuasan sang Pemimpin Besar Revolusi telah usai. Sukarno pun berkenan menyerahkannya.

 

Namun, Soeharto masih curiga soal pernyataan Sukarno itu. Penyebabnya ada dalam surat yang dikirim Sukarno pada 7 Februari 1967. Di situ Sukarno menulis nama dan gelarnya secara lengkap: Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata dan mengarahkan Soeharto untuk "melaporkan pada Presiden tentang pelaksanaan pemindahan kekuasaan ini apabila dipandang perlu". Apa yang diinginkan Soeharto adalah penyerahan kekuasaan presiden secara konstitusional.

 

Akhirnya, Sukarno bertekuk lutut. Ia menyerahkan kekuasaan eksekutif kepada pengemban Supersemar Soeharto di tanggal 22 Februari 1967, tepat hari ini 51 tahun lalu.

 

Tak lama kemudian, MPRS mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dan menetapkan Soeharto sebagai pejabat presiden. Ketetapan itu tertuang dalam TAP MPRS No. XXXIII tahun 1967.

 

Kontroversi Supersemar dalam Transisi Kekuasaan Sukarno-Soeharto (2007) yang disusun Lembaga Analisis Informasi mengungkapkan manuver Seoharto mengisolasi Presiden Sukarno dari para pendukungnya.

 

“Sulit dikatakan Jenderal Soeharto mengkudeta Presiden Sukarno. Sebaliknya, tidak bisa juga disimpulkan jika Jenderal Soeharto sama sekali tidak mengincar jabatan Presiden,” catat buku tersebut (hlm. 11).

 

Sementara itu, John Roosa dalam Pretext for Mass Murder (2006) mengatakan, Soeharto menggunakan Gestapu sebagai pretext (dalih) untuk mendelegitimasi Sukarno dan mendorong dirinya sendiri ke kursi presiden. Menurut Roosa, pengambil alihan kekuasaan negara oleh Soeharto bisa disebut creeping coup d'etat (kudeta merangkak).

 

"Soeharto menyelesaikan pengambilalihan kekuasaan negara di balik tabir prosedur hukum. Dia menyamarkan kudeta merangkaknya sebagai upaya yang didukung oleh Sukarno—yang secara serampangan bertentangan—untuk mencegah kudeta oleh PKI," sebut Roosa (hlm. 32). ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar