Putin,
Xi Jinping, dan Erdogan:
Menghadapi
Masa Depan Penuh Badai
Anis Matta ; Pengamat Politik Internasional
|
DETIKNEWS,
19 Maret
2018
Presiden
Rusia Vladimir Putin kembali membukukan kemenangan telak dalam pemilihan
presiden Rusia, Ahad (18/3). Ia menangguk suara 73 persen. Ini berarti pria
kelahiran St. Petersburg pada 1952 ini, yang telah memimpin Rusia sejak 2000,
akan terus memegang tampuk kepemimpinan Negeri Beruang Merah hingga 2024.
Pada waktu itu, ia akan berusia 72 tahun. Kemenangan telak ini akan
menggenapkan masa kepemimpinan Putin selama hampir seperempat abad.
Kemenangan itu diraih justru di tengah berbagai upaya Barat menjegalnya,
terutama karena ia dituduh mengintervensi Pilpres Amerika Serikat dan
mengantar Donald Trump menjadi presiden.
Dengan
jalan yang hampir sama, Xi Jinping sebelumnya juga terpilih sebagai Presiden
China untuk periode kedua 2018-2023. Kali ini dengan bumbu lain yang lebih
sedap, karena bersamaan dengan itu, Kongres Partai Komunis China telah
menghapus pembatasan dua periode bagi presiden. Ini berarti Xi Jinping akan
memimpin tanpa batas waktu, termasuk sampai seumur hidup.
Sebelumnya,
pada Oktober 2017, Kongres Partai Komunis China telah memasukkan pemikiran Xi
Jinping ke dalam konstitusi mereka. Pemikiran yang diberi titel Xi Jinping
Thought on Socialism with Chinese characteristics for a New Era itu telah
menempatkan Xi Jinping sebagai pemimpin legendaris setelah Mao Zedong dan
Deng Xiaoping dalam sejarah modern China.
Kini,
semua kekuasaan bertumpu di tangannya: ia adalah Sekretaris Jendral Partai
Komunis China, Presiden Republik Rakyat China, dan Ketua Komisi Pusat Militer
China. Xi Jinping yang lahir pada 1953 adalah presiden pertama China yang
lahir setelah Perang Dunia II. Berkuasa sejak 2013, ia diperkirakan akan
memimpin China hingga 2033, atau sekitar 20 tahun. Kalau itu terjadi, Xi
Jinping akan turun tahta saat ia berusia 80 tahun.
Presiden
Turki Recep Tayyip Erdogan punya jalan cerita yang hampir sama. Menjadi
perdana menteri dalam sistem parlementer sejak 2003 selama dua periode,
Erdogan berlanjut menjadi presiden Turki untuk periode 2014-2019. Referendum
2017 lalu telah mengubah konstitusi Turki dari sistem parlementer menjadi
presidensial. Penerapan konstitusi baru itu akan dimulai pada Pilpres 2019
mendatang. Ini berarti Erdogan berhak menjadi presiden Turki selama dua
periode mendatang atau hingga 2029. Jika itu terjadi, Erdogan (lahir 1954)
akan memimpin Turki selama 26 tahun dan turun tahta saat ia berusia 75 tahun.
Itu
tiga cerita kepemimpinan fenomenal yang mengisi sejarah politik dunia
kontemporer. Dengan mengecualikan China, pemilihan pemimpin tersebut berjalan
dalam koridor demokrasi. Pilihan rakyat mempertahankan pemimpin dalam waktu
lama adalah pertanda bahwa para pemimpin tersebut memang membawa perubahan
besar dalam kehidupan mereka. Ada kesadaran kolektif dalam benak elite dan
publik bahwa perubahan-perubahan besar membutuhkan waktu lebih panjang, dan
pemimpin yang membawa narasi perubahan itu memang pantas diberi kesempatan.
Sistem Global Baru
Jika
ditelurusi lebih jauh, fenomena itu sebenarnya merupakan respons terhadap
turbulensi geopolitik global setelah krisis ekonomi dunia 2008. Kini, satu
dekade setelah krisis itu, dunia memasuki transisi panjang dalam pencarian
keseimbangan baru atau bahkan sistem global baru.
Krisis
ekonomi 2008 memukul jantung kapitalisme, pasar bebas, dan secara khusus
meruntuhkan kepercayaan kepada sistem keuangan global. Satu per satu raksasa
keuangan Amerika tumbang, mulai dari Bear Sterns, Lehman Brothers, hingga
AIG. Masalah merembet ke beberapa negara Eropa yaitu Yunani, Irlandia,
Portugal, Spanyol, dan Siprus. Bersamaan itu, mulai timbul krisis gelombang
pengungsi ke Eropa. Lebih dari itu, krisis ekonomi itu selanjutnya memukul
jantung saudara kembar pasar bebas dalam politik, yaitu demokrasi liberal.
Bagi
kebanyakan pemikir strategis dunia, krisis itu merupakan ledakan besar dari
akumulasi "kontradiksi sistemik" yang menandai berakhirnya
kapitalisme liberal dan kepemimpinan Amerika Serikat. Tatatan Dunia Baru (New
World Order) yang dideklarasikan Presiden George Bush Senior pada 1991
menyusul runtuhnya komunisme di bawah Uni Soviet, dianggap kehilangan
relevansi karena tidak lagi mampu menjawab krisis yang terjadi. AS dan Eropa
yang pada era Perang Dingin hingga dekade 1990-an menguasai 80% ekonomi
dunia, kini hanya menguasai 40% saja. Kue ekonomi mereka makin kecil.
Finansialisasi ekonomi atau penggelembungan sektor keuangan sejak dekade
1970-an telah mematikan sektor riil dan menggerus kelas menengah pekerja
serta memperbesar kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin.
Itu
menyebabkan terjadinya "pembelahan" yang dalam di kalangan elite AS
dan Eropa karena tidak ada jawaban yang sama terhadap krisis. Pembelahan itu
bahkan tak lagi bisa ditutup-tutupi dalam percaturan politik. Eksistensi Uni
Eropa bahkan terancam setelah Inggris memilih check out pada 2016 lalu.
Peristiwa besar itu lalu disusul dengan terpilihnya Donald Trump sebagai
presiden, yang jelas-jelas datang dari luar lingkaran utama elite Amerika.
Brexit
dan Trump memberi dorongan kencang bagi kelompok ultranasionalis Kanan Jauh
(Far Right) menghadapi kelompok neoliberal. Pada dua pilar utama ideologi
neoliberal Eropa, yaitu Jerman dan Prancis, kita menyaksikan hasil yang
pemilu yang berbeda pada 2017 lalu.
Di
Jerman, Angela Merkel menang untuk keempat kali namun perolehan partainya,
Partai Uni Kristen Demokratik (CDU) yang berhaluan liberal-konservatif,
merosot drastis. Pada pemilu tersebut pula untuk pertama kalinya partai
ultranasionalis Alternative für Deutschland (AfD) masuk parlemen dan langsung
merangsek dengan perolehan suara ketiga terbesar.
Di
Prancis, di tengah ketegangan ekonomi dan politik, Emmanuel Macron dari
partai baru La République En Marche! yang berideologi liberalisme-sentris
menang telak dan berhasil menghalau populisme dan ultranasionalisme yang
diusung Marine Le Pen bersama partai Front Nasional yang didirikan ayahnya,
Jean-Marie Le Pen.
Pada
awal 2018, kekuatan ultranasionalis di bawah bendera Five Star Movement
memenangkan pemilu Italia. Sebenarnya jauh sebelum itu, tren itu sudah
dipelopori oleh Victor Orban dari Partai Fidesz yang berhaluan
nasionalis-konservatif dan populis Kanan di Hongaria.
Pembelahan
nasionalis versus neoliberal adalah contoh kegamangan strategis menghadapi
transisi panjang dalam sistem global setelah krisis besar 2008. Kegamangan di
tengah ketidakpastian adalah pertanda awal dari gejala ketidakteraturan
global (global disorder) di mana peristiwa-peristiwa besar terjadi tanpa
kendali. Arab Spring di pengujung 2010, atau hanya dua tahun setelah krisis
2008 adalah contohnya. Kontra-Arab Spring yang terjadi pada 2013 dengan
kudeta atas Mohamed Morsi di Mesir menandai babak baru dalam percaturan
geopolitik global, yaitu global chaos.
Kini,
di planet kita ada tiga titik konflik besar, yaitu sengketa Krimea-Ukraina di
Eropa yang memperseterukan Rusia dengan NATO, konflik Syria di Timur Tengah,
dan hotspot Asia Pasifik (Semenanjung Korea dan Laut China Selatan). Di situ
semua kekuatan utama dunia-AS, China, Eropa dan Rusia-terlibat langsung.
Tensi konflik yang terus memanas menyebabkan setiap insiden kecil bisa memicu
perang global setiap saat.
Tantangan Besar
Untuk
menghadapi tantangan besar yang oleh para pemikir strategis disebut
"stormy future" atau masa depan yang penuh badai itu, para pemimpin
itu bertahan. Kekuatan utama mereka terletak pada fakta bahwa mereka
menggabungkan horizon pengetahuan yang luas yang terfomulasi dalam narasi
besar mereka, serta kemampuan eksekusi yang andal.
Mereka
adalah para pemimpin yang efektif dan efektivitas mereka memberi kepastian
dalam kehidupan kolektif rakyat. Di tingkatan politik, konsolidasi elite
terjaga dan memastikan agenda kenegaraan berjalan lancar. Itu justru
keunggulan yang hilang di tengah kegamangan akibat pembelahan yang tajam yang
melanda para elite AS dan Eropa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar