Tahun
Korupsi Politik
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan,
Transparency International
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 11 April 2018
TAHUN 2018 dan 2019 akan menjadi perhelatan
politik panjang dalam sejarah demokrasi RI. Penyelenggaraan pilkada pada 2018
sekaligus akan menyongsong pemilu untuk memilih presiden/wakil presiden,
anggota DPR, DPD, dan DPRD pada 2019.
Suksesi politik ini agaknya cukup
mengkhawatirkan di tengah arus korupsi politik yang semakin menguat. Dalam
waktu kurang dari dua bulan saja pada 2018, KPK telah melakukan penangkapan
(OTT) setidaknya terhadap tujuh kepala daerah.
Kasusnya cukup beragam, mulai
suap-menyuap dalam proyek/pengadaan yang cukup dominan (4 kasus), jual beli
jabatan (1 kasus), pengesahan RAPBD (1 kasus), hingga perizinan (1 kasus).
Selain kepala daerah, kasus korupsi di daerah juga tak lepas dari peran DPRD.
Jika menyelisik ke belakang, pada
2017 tidak kurang 19 OTT yang telah dilakukan KPK, dengan sebagian besar (11
kasus) terkait dengan kepala daerah, birokrasi di daerah, anggota DPRD, dan
pebisnis. Mayoritas kasus itu terkait dengan pengadaan/proyek
pemerintah/infrastruktur, modus lainnya berupa jual beli jabatan,
penyalahgunaan anggaran, suap penyertaan modal daerah, hingga suap yang
terkait dengan pengawasan DPRD terhadap kepala daerah (anggaran).
Kondisi itu cukup mencerminkan
bahwa korupsi dalam pengelolaan keuangan negara/daerah masih menjadi bancakan
bagi kepala daerah, anggota DPR/D, birokrat, dan pebisnis korup. Potensi
korupsi itu tentu semakin besar menjelang perhelatan tahun politik, khususnya
kebutuhan pendanaan politik. Sementara itu, dari sisi sistem penganggaran dan
pengadaan memang masih bermasalah.
Problem
klasik
Korupsi di pengadaan dan
penganggaran sebetulnya tergolong korupsi yang konvensional sebab sejak dulu
korupsi di sektor ini juga sudah ada. Perubahan-perubahan dalam tata kelola
pengadaan baik dari segi regulasi dan kelembagaan dinilai belum cukup efektif
mengurangi penyimpangan.
Ada beberapa hal yang patut
menjadi catatan, pertama, korupsi di sektor pengadaan terbilang cukup mudah.
Sebab secara anggaran sudah tersedia, atau dalam beberapa kasus korupsi
pengadaan terjadi praktik 'ijon'. Hasilnya sejak dari proses perencanaan,
pengadaan itu telah terjadi praktik korupsi baik dari sisi munculnya item
pengadaan/proyek tertentu maupun dari segi nominal (mark-up).
Dalam banyak kasus korupsi di
sektor pengadaan, relasi bisnis-politik ditengarai sebagai penyebab utama.
Relasi ini dibangun atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan, dan
dalam konteks tertentu pebisnis juga merangkap sebagai politikus.
Baik regulasi politik maupun
pengadaan sebetulnya tidak menyentuh praktik penyimpangan semacam ini.
Klausul tentang pengaturan konflik kepentingan dalam ranah pengadaan antara
kepentingan bisnis dan politik tidak diatur secara komprehensif sehingga
menimbulkan celah untuk disalahgunakan.
Dari aspek pidana memang sudah ada
pengaturan dalam UU Tipikor bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara
dilarang turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada
saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugasi untuk mengurus
atau mengawasinya (Pasal 12 huruf i). Namun, hal itu tentu akan diungkap
ketika sudah ada peristiwa pidana. Padahal, semestinya ini bisa dicegah jika
ada ketentuan dalam regulasi pengadaan maupun aturan kode etik (termasuk
konflik kepentingan) pejabat publik yang memitigasi terjadinya praktik
korupsi.
Kedua, instrumen kelembagaan
pengadaan dan pengawasan yang tidak efektif. Keberadaan Lembaga Kebijakan
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sebagai satu-satunya lembaga yang
mengurus pengadaan tidak diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan
pengawasan.
LKPP hanya diberi mandat sebagai
regulator, dalam beberapa hal hanya menjadi tempat berkonsultasi. LKPP
mengeluarkan daftar blacklist, tetapi tidak wajib dipatuhi
kementerian/lembaga/pemda (K/L/P). LKPP mengeluarkan rekomendasi, tetapi bisa
saja dikesampingkan. Sebagai contoh konkret dalam kasus korupsi proyek KTP-E
hal itu terjadi, rekomendasi LKPP diabaikan Kementerian Dalam Negeri.
Kemudian instrumen pengawasan
pengadaan di K/L/P hampir bisa dipastikan tidak berjalan efektif. Sebab
inspektorat sebagai satu-satunya unit pengawasan internal sebagian besar
tidak memiliki kompetensi mengawasi korupsi di sektor pengadaan. Akibatnya,
temuan penyimpangan dalam pengadaan hanya akan muncul ketika terjadi
penangkapan (suap), proyek terbengkalai/tidak sesuai dengan perencanaan, atau
setidaknya muncul dalam hasil audit BPK.
Selain itu, mekanisme pengawasan
publik juga perlu didesain. Pelibatan publik dalam proses pengadaan perlu
diakomodasi sejak proses perencanaan hingga selesainya pengerjaan
proyek/pengadaan. Tidak hanya dalam bentuk seremonial, tetapi ada jaminan
regulasi dan petunjuk teknis yang lebih detail dan konkret.
Gencarnya penangkapan yang
dilakukan KPK belakangan ini seharusnya menjadi warning bagi pemerintah bahwa
ada akar persoalan yang belum diselesaikan dalam proses pengadaan. Apalagi,
ini terjadi di tengah tahun politik yang membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Sementara itu, di sisi lain pemerintah sedang menggenjot pembangunan proyek
infrastruktur di berbagai daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar