Agar
tidak Keracunan Omong Kosong
Anggi Afriansyah ; Peneliti Sosiologi Pendidikan
di Pusat Penelitian Kependudukan
LIPI
|
MEDIA
INDONESIA, 10 April 2018
DONALD B Calne (1999) seorang
profesor neurologi di University of British Colombia dalam Within Rationality
and Human Behavior (sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Batas
Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, diterjemahkan Kepustakaan Populer
Gramedia) mempertanyakan, "Jika memang betul kearifan berasal dari
pendidikan, bagaimana mungkin Jerman yang merupakan negeri Bach, Beethoven,
Brahms, Goethe, Leibniz, dan Kant bisa menjadi negara yang dipacu oleh
kebencian dan terlibat dalam kejahatan paling ganas terhadap kemanusiaan
sepanjang sejarah?”
Di pengantar awal karyanya, Calne
mempertanyakan, mengapa orang berpendidikan yang dianggap yang diharapkan
menjadi manusia menjadi arif bijaksana, mampu memilah yang baik dan buruk,
juga memperkuat nalar. Bahwa dalam kisah sejarah panjang dunia, ternyata
kekejaman bukan hasil perbuatan orang-orang bodoh. Nazi, seperti ditulis
Calne, bukan dirancang orang-orang bebal, akarnya bertumpu pada bahu kaum
cendekiawan, mereka yang terdidik dengan sangat baik. Jawaban kegelisahan Calne
ada di bukunya tersebut, buku yang berisi soal-soal bagaimana nalar
berpengaruh bagi kehidupan kita sebagai manusia.
Apa yang menjadi pertanyaan Calne
tersebut relevan untuk kita jawab dalam konteks pendidikan Indonesia saat
ini. Apakah pendidikan di Indonesia sudah memberikan kualitas terbaik untuk
memperkuat nalar bagi kehidupan Indonesia yang lebih baik? Atau pendidikan
kita masih terjebak pada hal-hal yang sangat mekanis? Sekadar lulus ujian
dengan nilai baik dan kemudian masuk ke jenjang selanjutnya. Atau yang
penting lulus dan bisa bekerja? Tanpa memikirkan bagaimana peran dan
kontribusi anak-anak didik ini bagi Indonesia di masa depan? Menjaga
Indonesia yang bineka ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut
mesti dijawab dunia pendidikan kita. Apalagi di era banjir informasi ini,
yang beragam informasi berkelibatan antara fakta dan fiksi, antara kebenaran
dan kebohongan. Ketika informasi begitu mudah dimanipulasi atas beragam
alasan dan kepentingan. Pada saat kebencian begitu dibudidayakan dan segala sesuatu
dianggap sebagai kebenaran ketika sesuai dengan seleranya, selera
kelompoknya, yang berbeda harus menyingkir, lenyap dari pandangan.
Penetrasi internet dengan begitu
leluasa masuk ke genggaman anak didik ialah sebuah keniscayaan yang tidak
terbantahkan. Merujuk data dari BPS (2017), persentase siswa umur 5-24 tahun
yang mengakses internet selama tiga bulan terakhir (selama 2017) mencapai
40,96%. Siswa yang tinggal perkotaan hampir dua kali lebih besar menggunakan
internet jika dibandingkan dengan yang tinggal di perdesaan. Di sisi lain,
menurut laporan tersebut, ada peningkatan meningkatnya persentase siswa umur
5-24 tahun yang mengakses internet seiring dengan meningkatnya kuintil
pengeluaran dan jenjang pendidikan yang diikuti. Laporan tersebut juga menyatakan
bahwa sebagian besar dari mereka mengakses internet untuk mengerjakan tugas
sekolah dan aktivitas sosial media/jejaring sosial.
Tantangan
Era ini, ketika sosial media begitu punya kekuatan besar dalam membentuk
opini publik, kita harus begitu hati-hati dalam menilik informasi. Informasi
yang begitu meluber dengan basis argumentasi yang asal juga dibangun narasi
hoaks ialah jelas tak masuk akal dan brutal. Meracuni akal sehat. Tapi tetap
saja banyak yang masih percaya pada narasi-narasi penuh kebohongan itu.
Tantangan bagi institusi
pendidikan dan keluarga menjadi lebih kompleks. Narasi yang berkembang di
luar kedua institusi ini ditambah dengan informasi dari internet jelas tak
bisa dibendung. Yang paling penting ialah bagaimana anak-anak memiliki mekanisme
filter dari dalam diri untuk memilah informasi. Amat sangat banyaknya
informasi yang dikonsumsi anak membuat mereka kesulitan memilah informasi
yang diperoleh.
Keterampilan memilah informasi yang punya nilai positif bagi
perkembangan tumbuh kembang anak menjadi amat penting dalam konteks saat ini.
Memilih konten yang konstruktif bagi perkembangan mental mereka.
Anak sekolah menengah yang usianya
sudah menjelang 17 tahun ini dan tahun depan memiliki hak pilih, misalnya,
harus sudah diberi pemahaman yang memadai mengenai pendidikan politik. Mereka
ialah pemilih pemula, yang tahun ini atau tahun depan sudah harus memilih di
momen-momen penting baik itu pilkada maupun pemilu. Mereka termasuk bagian
penting yang membentuk wajah perpolitikan Indonesia.
Kontestasi perpolitikan nasional
yang begitu ramai beberapa tahun belakangan ini mesti menjadi pelajaran
berharga bagi anak-anak didik. Guru-guru yang mengampu pelajaran pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan maupun rumpun ilmu sosial lainnya sudah sepatutnya
memberikan pembelajaran yang lebih kontekstual. Menghadirkan
permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat dan mendiskusikannya di
ruang kelas. Munculnya pertanyaan-pertanyaan calon anggota legislatif,
bupati/wali kota, gubernur, atau presiden-wakil presiden mana yang harus
dipilih akan mungkin diajukan ketika pembelajaran. Pro-kontra di grup
Whatsapp atau sosial media lainnya pun akan semakin mungkin disampaikan.
Karena itu, guru-guru harus rela
untuk berdialog secara intensif dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang
mungkin hadir tersebut. Jebakannya ialah setiap guru pasti memiliki
preferensi politik masing-masing. Mereka harus memiliki argumentasi yang
kukuh ketika berhadapan langsung dengan pertanyaan anak-anak didik mereka.
Tidak terjebak pada pilihannya dan menegasikan argumen pihak yang berbeda.
Sosok ideal guru yang arif bijaksana dalam memandang persoalan mesti
dikedepankan. Jangan sampai justru gurunya yang terbawa emosi dalam memandang
situasi politik. Anak-anak muda ini perlu mendapatkan pencerahan dari
orang-orang dewasa di sekitarnya termasuk guru dan orangtua mereka. Mereka
butuh teladan dari orang-orang dewasa di sekitar.
Membangun argumentasi dengan nalar
yang sehat tanpa kebencian ialah tugas fundamental yang harus dibangun di
dunia pendidikan. Anak-anak mesti dilatih diskusi-diskusi penuh pencerahan.
Membiasakan diri untuk saling mendengarkan. Meskipun berbeda pandangan,
mereka harus diajak untuk belajar menghormati perbedaan. Kesemuanya harus
didasarkan kesadaran bahwa negeri yang begitu kaya dan beragam ini hanya akan
maju jika kita semua bersatu.
Di negara yang amat bineka ini
perbedaan jelas suatu yang niscaya dan tidak terbantahkan. Yang paling
penting ialah saling mengisi dan mencari keseimbangan. Saling memahami
perbedaan-perbedaan tersebut dan berusaha mencari titik temu. Ruang-ruang
kelas inilah arena terbaik untuk membangun kebiasaan baik ini dan guru-guru
punya tugas yang amat mulia ini. Membangun dan menjaga akal sehat anak-anak
bangsa ini. Agar anak-anak negeri ini tak keracunan omong kosong seperti yang
disebut grup band Efek Rumah Kaca. Mereka yang argumennya asal, jauh dari
andal. Mereka yang tak masuk akal, kacau menjurus brutal. Semoga tidak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar