Profesionalitas
Sipil-Militer dalam Pilpres 2019
Ikhsan Yosarie ; Peneliti Setara Institute, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 10 April 2018
SEJUMLAH nama dengan latar
belakang militer muncul sebagai kandidat calon presiden (capres) atau calon
wakil presiden (cawapres) untuk Pemilihan Presiden 2019 nanti. Nama-nama yang
muncul dengan latar belakang militer, mau tidak mau, akan mengarahkan
perhatian publik kepada netralitas dan profesionalitas TNI pada Pilpres 2019
nanti. Meskipun status para calon telah purnawirawan, semangat korps mereka
akan tetap ada.
Di sisi lain, fenomena itu dapat
berarti dua hal, pertama pemimpin dengan latar belakang militer tetap menjadi
primadona dalam perpolitikan nasional dan kedua masyarakat Indonesia
membutuhkan alternatif pemimpin dengan latar belakang militer untuk
diperbandingkan dengan pemimpin dengan latar belakang sipil. Perbandingan itu
muncul lantaran perbedaan background dari setiap calon pemimpin, yang
kemudian memengaruhi cara berpikir dan watak pemimpin tersebut.
Dalam survei yang dilakukan
Political Communication (Polcomm) Institute, ditemukan bahwa militer menjadi
pilihan terbanyak masyarakat sebagai latar belakang cawapres. Dalam rilisnya
(Media Indonesia, 26/3/2018), sebanyak 31,65% responden memilih militer
sebagai latar belakang calon wakil presiden. Baru kemudian 17,96% untuk
politikus, 16,26% untuk profesional, dan 13,59% responden memilih tokoh agama
sebagai latar belakang cawapres. Dalam survei tersebut, muncul empat nama
dengan latar belakang militer, yaitu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gatot
Nurmantyo, Moeldoko, dan Agum Gumelar. AHY menempati posisi pertama dalam
bursa cawapres 2019 dengan pilihan responden 24,08% dan Jenderal Gatot Nurmantyo
pada posisi ketiga dengan 18,92% di bawah nama Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan
(20,08%).
Cawapres dari kalangan militer
dinilai cocok untuk mendampingi Joko Widodo sebagai capres pada Pilpres 2019.
Di luar konteks popularitas nama cawapres di atas, latar belakang militer
seakan telah menjadi modal sosial politik dalam pemilu. Sifat tegas menjadi
salah satu modal tersebut. Namun, pada dasarnya sifat tegas bukan hanya
dimiliki oleh militer, sipil pun juga memiliki sifat tegas.
Hanya, dengan latar belakang yang
berbeda, disertai pengalaman-pengalaman ketika aktif pada posisi terdahulu,
sifat tegas tersebut muncul dengan dimensi yang berbeda-beda. Ketegasan
tersebut akan diuji dalam politik praktis, yaitu ketika pengambilan
keputusan. Tarik-ulur kepentingan, saling menjaga peluang, dan hal-hal lain
yang membuat keputusan tersebut sulit tercapai menjadi semacam 'arena' untuk
menilai ketegasan pemimpin. Dalam hal ini, pola-pola ketegasan (apakah
memilah-milah kasus) dan juga orientasi ketegasannya akan dinilai masyarakat
dan kemudian diperbandingkan sehingga masyarakat akan tahu perbedaan
ketegasan pemimpin berlatar belakang sipil dengan pemimpin berlatar belakang
militer. Meskipun kedua pemimpin tersebut sama-sama sipil, untuk keperluan
perbandingan, latar belakang tentu menjadi salah satu poin penting.
Sementara itu, untuk calon
presiden, sosok dengan latar belakang militer ada pada Probowo Subianto yang
berpotensi maju pada Pilpres 2019 nanti. Sejauh ini, selain Joko Widodo
sebagai petahana, tercatat hanya Probowo yang berpotensi besar untuk maju
pada Pilpres 2019. Meskipun demikian, potensi untuk munculnya calon lain,
misalnya nama mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang pensiun
sebagai prajurit TNI per 1 April 2018, ataupun poros ketiga tetap terbuka.
Profesionalitas
dua arah
Keinginan masyarakat agar
orang-orang dengan latar belakang militer untuk terlibat politik praktis
tentu harus disikapi secara negarawan oleh pihak politisi sipil dan militer.
Kedua pihak jangan sampai memanfaatkan fenomena itu untuk kepentingan
kelompok, yang nantinya justru merusak reformasi militer dan demokrasi.
Misalnya, politikus sipil berupaya menarik militer ke arah politik praktis,
kemudian membangun wacana untuk mengembalikan hak politik militer dengan deal-deal
politik tertentu bersama jenderal-jenderal yang ingin terlibat politik
praktis. Dari sisi militer, oknum-oknum jenderal melakukan kegiatan-kegiatan
yang mendekatkan dirinya dengan politik praktis, atau dengan elemen-elemen
yang berada di jalur politik praktis, seperti partai politik dan calon kepala
daerah. Ini tentu berpotensi merusak netralitas dan profesionalitasnya dalam
bertugas.
Kelompok penguasa tentu dapat
dengan leluasa melakukan infiltrasi politik ke dalam tubuh institusi militer.
Campur tangan dalam birokrasi internal militer, atau bahkan campur tangan
dalam hal kenaikan pangkat bisa menjadi salah satu target yang ingin diincar
penguasa demi menciptakan utang politik perwira militer tersebut kepada
penguasa. Dalam konteks relasi sipil-militer, bisa kita pahami bahwa masuknya
purnawirawan jenderal ke politik praktis dan struktur pemerintahan memiliki
potensi untuk mengantisipasi terciptanya relasi yang negatif antara penguasa
dan militer, serta menjaga supremasi sipil.
Dalam fenomena ini, purnawirawan
militer bisa menjadi jembatan atau penengah antara politikus sipil dan
militer. Status sebagai purnawirawan militer menempatkan mereka berada di
tengah. Di satu sisi mereka telah menjadi sipil, sementara di sisi lain jiwa
dan semangat korpsnya masih militer. Dengan demikian, seharusnya purnawirawan
militer mampu menjadi jembatan yang menghubungkan komunikasi antara
pemerintah sipil dan militer dan menjadi penengah jika terjadi miskomunikasi
di antara kedua belah pihak.
Lebih dari itu, purnawirawan
militer juga harus mampu menjadi pelindung dari upaya politikus sipil untuk
merusak reformasi militer atau upaya oknum militer melanggar netralitas dan
profesionalitas TNI sebagai alat negara. Jiwa militer dan esprit de corps
yang dimiliki para purnawirawan akan muncul demi memagari netralitas,
profesionalitas, dan harga diri korpsnya. Purnawirawan jenderal harus
mengambil peran dalam menjaga konsolidasi demokrasi yang telah diperjuangkan
pasca-Orde Baru runtuh.
Arah perhatian juga tidak bisa
dilepaskan dari orientasi politik purnawirawan militer. Bagaimanapun, meski
statusnya telah sipil, secara jiwa dan korps mereka tetaplah militer, seperti
ungkapan bahwa old soldier never die, they just fade away. Kedekatan mereka
dengan perwira tinggi militer juga tidak dapat dimungkiri, selain karena
relasi dan korps, status mereka tetaplah 'senior' di militer.
Poinnya ialah, jangan sampai
purnawirawan jenderal memolitisasi dengan kelebihan-kelebihan tersebut dan
menjadi perpanjangan tangan militer di politik praktis. Maksudnya, ketika
militer tidak boleh lagi terlibat politik praktis, justru purnawirawanlah
yang kemudian menjadi suksesinya. Kedekatan mereka dengan militer ibarat
pisau bermata dua. Di satu sisi mampu menjaga militer agar tetap pada
jalurnya, atau justru purnawirawan jenderal itulah yang nantinya membangun
basis massa di militer dan kemudian membawanya ke dalam politik praktis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar