Pendidikan
Dasar dan Menengah Gagal Fokus
Syamsul Rizal ; Profesor di Universitas Syiah Kuala;
Alumnus ITB dan Universitaet
Hamburg, Jerman
|
KOMPAS,
10 April
2018
Laporan Kompas beberapa hari
berturut-turut, yang memuat masalah karut marutnya pendidikan dasar dan
menegah di Indonesia, cukup menarik perhatian. Deretan laporan-laporan ini
diakhiri dengan laporan yang menyatakan bahwa Indonesia hanya mendapat skor
Programme for International Student Assessment (PISA) sebesar 403. Skor ini
sangat jauh di bawah skor rerata dari negara anggota PISA, yaitu 493.
Skor itu diperoleh dari penilaian
kemampuan peserta didik usia sekolah (SD-SMA) dalam bidang sains, membaca,
dan matematika. Penelitian menggunakan metode Programme for International
Student Assessment (PISA) dan Trend International Mathematics and Science
Study (TIMSS). Hasil riset 29 negara di Asia Timur dan Asia Pasifik itu
dihimpun Bank Dunia dari berbagai sumber, termasuk Organisasi untuk Kerja
Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Awalnya Bank Dunia berasumsi bahwa
nilai PISA ini berkorelasi positif dengan pendapatan per kapita. Ternyata
tidak. Pendapatan per kapita Vietnam setengah dari Indonesia, yakni 5.668
dollar AS. Jika berdasarkan pendapatan per kapita itu, diperkirakan Vietnam
hanya meraih skor 394 pada tes PISA. Namun, kenyataannya, Vietnam meraih skor
525. Sebaliknya, Indonesia dengan pendapatan per kapita 10.385 dollar AS,
justru mendapat skor hanya 403. Yang membuat kita tambah miris, 20 persen
belanja dari APBN diprioritaskan untuk pendidikan.
Sebenarnya, peringatan-peringatan
seperti ini sudah lama kita dapatkan. Organisasi seperti OECD dan Bank
Pembangunan Asia (ADB) sudah beberapa kali mengingatkan kita tentang lemahnya
kinerja sistem pendidikan Indonesia, berdasarkan kemampuan membaca,
matematika, dan sains para siswa kita.
Apakah kita terpengaruh oleh
peringatan-peringatan seperti ini? Jawabnya: belum terpengaruh. Sebab, belum
ada respons atau kebijakan yang signifikan dari pemerintah untuk mengatasi
persoalan-persoalan ini.
Padahal, seharusnya kenyataan dan
fakta ini membuat kita berpikir ulang.
Kita perlu bertanya, apakah
langkah-langkah yang kita lakukan selama ini dalam upaya memajukan pendidikan
dasar dan menengah sudah benar? Mengapa kita terus menerus terpuruk pada
lubang yang sama? Bahkan, keledai pun tidak mau jatuh pada lubang yang sama
dua kali.
Mengapa ini bisa terjadi? Apakah
skor PISA ini tidak penting buat kita? Apakah membicarakan skor PISA berarti
mendangkalkan makna dari tujuan pendidikan yang bersifat luhur dan sakral
itu?
Mengelak dari tanggung jawab
Paling tidak ada tiga masalah
besar yang membuat masalah pendidikan dasar dan menengah kita menjadi gagal
fokus. Pertama, kita tidak pernah mengakui bahwa sistem pendidikan kita telah
gagal bekerja berdasarkan sebuah penilaian yang berlaku umum dan objektif.
Saya yakin sekali, menanggapi
hasil penilaian Bank Dunia ini, ada saja cara kita mengelak untuk tidak
mengakuinya. Kita pandai mencari alasan untuk menghindari penilaian yang
objektif dari pihak lain. Kita pandai ngeles. Akibatnya, rekomendasi dari
pihak lain tidak pernah kita jadikan umpan balik untuk memperbaiki kinerja
kita dalam upaya memajukan pendidikan dasar dan menengah.
Kita selalu membawa persoalan yang
sederhana ke masalah yang sifatnya filosofis. Sebagai contoh, skor PISA yang
rendah, pasti akan di-counter dengan pernyataan: tujuan pendidikan nasional
memang bukan untuk skor-skoran.
Berdasarkan UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, memang dinyatakan: “Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.” Dengan demikian, tujuan mencari skor itu tujuan
yang sangat sempit, kecil, dan dangkal sekali.
Tak ada yang salah dengan UU No
20/2003 ini. UU memang diciptakan dengan memuat landasan filosofis, bersifat
sangat umum, holistik, dan komprehensif. Tetapi mempertanggungjawabkan hasil
kinerja kita dengan berlindung dibalik UU yang bersifat umum betul-betul
merupakan sifat yang fatalistik dan mengundang bangsa Indonesia ke arah
bencana yang besar.
Padahal dalam UU yang sama, Pasal
4 ayat 5, jelas dinyatakan:
“Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan
budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.” Kalau
kita kaitkan dengan Pasal 4 ayat 5 ini, jelaslah bahwa skor PISA kita yang
rendah dan peringatan-peringatan sebelumnya yang dikeluarkan oleh OECD, Bank
Dunia, ADB dan lain-lain menunjukkan bahwa kita belum melaksanakan perintah
UU secara serius.
Kedua, pendidikan dasar dan
menengah kita jadi gagal fokus disebabkan kualitas guru yang juga masih
kurang. Laporan Kompas (12/3/2018) berjudul “Jalan Terjal Mencetak Guru yang
Mumpuni” mencerminkan betapa sulitnya mencari guru yang bermutu.
Menjadi guru, seperti halnya dosen, memang harus menguasai materi yang
diajarkannya secara utuh. Tanpa penguasaan materi yang kuat, seorang guru
tidak akan punya rasa percaya diri yang tinggi dan cenderung menegakkan
benang basah. Guru yang tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan
sulit memotivasi para siswa untuk belajar dan berlatih dengan
sungguh-sungguh.
Oleh sebab itu, ketika kita
meluluskan seorang guru yang kompetensinya rendah untuk mengajar, sebenarnya
kita bukan sedang menolong yang bersangkutan untuk memberinya lapangan
pekerjaan, tetapi kita sedang membunuhnya secara perlahan-lahan. Kita yang
meluluskan guru tersebut, berpotensi melanggar HAM. HAM guru yang
bersangkutan, dan HAM murid-murid yang diajarkannya.
Matematika dalam K-2013
Ketiga, masalah Kurikulum 2013
(K-2013): secara teoritis tampak ideal tetapi secara praktis di lapangan
sulit diaplikasikan. Kita harus berani meninjau ulang pemberlakuan K-2013.
Ketika saya SD pada tahun
1967-1973, pelajaran matematika diberikan secara simpel dan jelas, dan
dipenuhi dengan latihan-latihan yang fokus. Sekarang pelajaran matematika
dikerdilkan dan masuk dalam bagian dari pelajaran “Tematik”.
Akibatnya, pelajaran matematika
jadi rumit, tidak fokus dan bercampur-baur dengan pelajaran lain. Apakah anak
SD akan mampu menyerap pelajaran matematika yang seperti ini? Kritik dari
Prof Wono Setya Budhi (Kompas, 21/3/2018) terhadap K-2013 yang terkait
dengan pelajaran matematika hendaknya menjadi perhatian kita semua.
Tak ada jalan lain bagi bangsa ini
kecuali kita harus respek terhadap rekomendasi Bank Dunia dan
penilaian-penilaian objektif lainnya. Debat semantik dan filosofis selama ini
tentang pendidikan dasar dan menengah, seharusnya diarahkan untuk kemajuan
bangsa ini. Skor PISA kita yang rendah mencerminkan kegagalan kita dalam
menjalankan UU No 20/2003 yang merupakan amanah rakyat.
Seperti halnya di bidang olahraga,
dalam dunia pendidikan pun kita perlu mencetak rekor-rekor dan skor-skor yang
tinggi, yang diukir secara massal oleh para siswa kita. Tidak ada makna
pendangkalan pendidikan di sini. Yang ada justru pencapaian prestasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar