Darurat
Jaminan Hak Pilih
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik UI
|
KOMPAS,
09 April
2018
Setahun menjelang pelaksanaannya,
Pemilu 2019 sedang dirundung masalah serius. Berdasarkan data Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri), dari 192,39 juta orang yang wajib memiliki kartu
tanda penduduk (KTP) elektronik, masih ada 12,7 juta orang yang belum merekam
data untuk memperoleh KTP elektronik (Kompas, 14/3/2018).
Masalahnya, pada Pasal 348 UU No
7/2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa pemilih yang berhak mengikuti
pemungutan suara di TPS adalah yang memiliki KTP elektronik. Artinya, ada
sekitar 6,6 persen calon pemilih yang dalam posisi terancam kehilangan hak
pilih mereka.
Padahal, jaminan hak pilih dalam
pemilu merupakan hal yang penting untuk mewujudkan pemilu demokratis (Merloe,
2007; Douglas, 2013). Di samping itu, hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas, 2
April 2018, menelurkan temuan penting: mayoritas responden setuju bahwa hak
pilih adalah hak asasi manusia yang harus dijamin negara (96%).
Lantas, mengapa potensi ancaman
terhadap hak pilih banyak orang pada Pemilu 2019 dapat terjadi? Penulis
berpandangan bahwa peluang terancamnya hak pilih di Pemilu 2019 dapat terjadi
karena adanya kombinasi dua faktor: regulasi pemilu yang bermasalah dan
kapasitas lembaga yang bertanggung jawab terhadap hak pilih.
Kebanyakan riset sebelumnya
terkait jaminan hak pilih cenderung memfokuskan diri pada soal jaminan hak
pemilih yang tinggal di luar negeri (Spiro, 2006; Johnston 2018), pemilih
disable (Schur, 2013; Lord, 2014), serta diskriminasi terhadap pemilih kulit
berwarna (Beyerlin, 2008; Schuit dan Rogowski, 2016). Kalaupun ada yang
khusus membahas tentang hak pilih di Indonesia (misalnya Khoiri, 2014;
Sarbaini, 2015; Fahmi, 2017), mereka lebih menyoroti kaitan hak pilih dengan
hak asasi manusia. Belum ada yang secara khusus menyoroti penyebab adanya
potensi ancaman terhadap hak pilih. Tulisan ini bermaksud mengisi masih
relatif terbatasnya kajian tentang jaminan hak pilih dalam Pemilu di
Indonesia.
Membatasi
hak pemilih
Secara teoretis, Pippa Norris
(2016) menilai bahwa masalah yang terjadi dalam pemilu tak dapat dipisahkan
dari bagaimana regulasi mengatur pemilu itu sendiri. Di samping itu, Dunaiski
(2014) berpendapat bahwa bagaimana kapasitas lembaga (di dalam negara)
memiliki relasi yang kuat dengan timbulnya masalah dalam pemilu.
Pada Pemilu 2014, hampir tak
terdengar persoalan tentang jaminan hak pilih, kecuali problem pendaftaran
pemilih. Pasalnya, Pasal 149 UU No 8/2012 (UU Pemilu) tidak memuat kewajiban
bagi calon pemilih untuk memiliki KTP elektronik. Sebaliknya, UU No 7/2017
tak membuka ruang bagi yang tidak punya KTP elektronik untuk memilih. Hal ini
jadi problem serius karena klausul ini bertentangan dengan salah satu
indikator dari pemilu yang berintegritas: apakah aturan pemilu membatasi hak
pemilih atau tidak. Semakin membatasi, maka semakin menurunkan nilai
integritas pemilu tersebut.
Di Denmark, Election Act di sana
tidak berusaha mempersulit pemilih. Disebutkan di Pasal 96 Denmark Election
Act 2011 bahwa: “Setiap orang yang memiliki hak pilih dalam pemilu, yang
telah terdaftar di daftar pemilih, harus diberi hak untuk berpartisipasi
dalam pemilu”. Rumusan tersebut jelas membuka ruang yang seluasnya untuk
pemilih dapat pemilih tanpa dikungkung oleh ketentuan administratif seperti
di Indonesia. Karena itulah kemudian sangat wajar jika Denmark diganjar oleh
nilai sangat tinggi (91) untuk indikator electoral laws dan juga voter
registration (94) pada laporan Electoral Integrity Project 2017.
Besar kemungkinan syarat KTP
elektronik di UU No 7/2017 muncul sebagai usaha perumus UU Pemilu menekan
kecurangan dikarenakan adanya yang menggunakan form orang lain untuk memilih.
Namun, sayangnya, beleid itu tidak mempertimbangkan aspek lain, yang juga
merupakan faktor kedua, yakni telah cukup baikkah pelayanan publik yang ingin
memiliki KTP elektronik.
Kemendagri sebagai yang
bertanggung jawab membawahi instansi pelayanan pembuatan KTP elektronik
sejauh ini terkesan belum melihat masih banyaknya yang belum memiliki KTP
elektronik di sisa waktu satu tahun menjelang pemilu sebagai sesuatu yang
darurat. Mengapa tidak dibuat imbauan masif kepada yang belum ber-KTP
elektronik agar wajib memilikinya seperti halnya kebijakan mewajibkan pemilik
kartu telepon genggam mendaftarkan ulang kartunya? Sebagai akibat dari hal
itu, alih-alih mewujudkan impian para pembuat kebijakan, kewajiban memiliki
KTP elektronik malah berpeluang menimbulkan banyak “korban”. Andil dari
faktor regulasi dan kapasitas lembaga negara ini paralel dengan apa yang
dimaksudkan oleh Norris dan Dunaiski di atas.
Sebagai penutup, bermasalahnya
regulasi pemilu dan tidak maksimalnya kapasitas lembaga negara yang mengurusi
jaminan hak pilih telah membuat jutaan orang terancam tak bisa memilih di
Pemilu 2019. Untuk itu, penulis merekomendasikan agar Mendagri membuat
kebijakan jangka pendek, khusus yang memudahkan bagi yang belum memiliki KTP
elektronik untuk bisa memilikinya sehingga menjadi sejalan dengan amanat dari
UU Pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar