Literasi
Media
Syamsir Alam ; Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma
|
MEDIA
INDONESIA, 09 April 2018
"The illiterate of the 21st
century will not be those who cannot read and write, but those who cannot
learn, unlearn, and relearn." Alvin Toffler.
DI
era pascakebenaran (posttruth) ini, perbedaan penulis (writers) dan author
semakin terang (distinctive). Penulis banyak yang mungkin belum dianggap
authoritative, artinya mereka bisa saja menulis apa yang diketahui, tapi
mereka belum memiliki otoritas terhadap pemikiran atau ranah yang ditulisnya,
sedangkan author ialah penulis yang sekaligus memiliki otoritas terhadap
keilmuan/pemikiran yang dituangkan dalam tulisan baik itu dalam format buku,
jurnal ilmiah, maupun tulisan lainnya. Setiap kalimat yang digoreskan
authors) melalui pena selalu akan dipertanggungjawabkan sebagai perwujudan
integritas diri sebagai seorang ilmuwan/cendekiawan.
Di
era posttruth--yang ditandai dengan membludaknya informasi berkualifikasi
berita palsu (fake news), nirfakta, anonymous, dan unauthoritative--kita juga
menyaksikan bagaimana masyarakat di negara-negara maju sekali pun, ternyata
dapat dengan mudah termakan berita dan informasi palsu, yang dapat menggerus
dan menggoyahkan nilai-nilai demokrasi dan tatanan sosial dan ekonomi yang
selama ini sudah terbukti mampu menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.
Jika
negara-negara maju saja bisa terkena imbas pascakebenaran dengan dampak cukup
serius, dunia pendidikan kita juga pasti akan sulit untuk menghindarinya.
Dunia pendidikan kita sekarang dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan.
Karenanya,
tantangan ini perlu disikapi dengan kebijakan pendidikan yang tepat dan
terukur. Dampak posttruth sekarang ini telah merasuk hampir ke setiap sudut
ruang dan relung kehidupan masyarakat, termasuk masyarakat pendidikan
tentunya.
Model
pemberitaan berita palsu (fake news) sangat beragam, bisa ungkapan berupa
'ancaman' yang menakutkan seolah-olah sesuatu peristiwa/hal akan terjadi.
Sebaliknya berita itu bisa juga disajikan berbentuk harapan yang indah, tapi
palsu. Rasanya masih hangat dalam ingatan kita bersama bagaimana
kejadian-kejadian yang berlangsung di Eropa Barat dengan peristiwa Brexit,
dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
Kedua
peristiwa itu menurut banyak pengamat merupakan kesuksesan posttruth terbesar
abad ke-21 ini. Dampaknya menjadikan suhu politik meninggi dan perbuatan
kriminal semakin meningkat dan dirasakan masyarakat di kedua wilayah itu,
termasuk masyarakat yang bermukim di negara-negara tetangga.
Dalam
skala mikro, penulis sering mendengar dan menyaksikan, berbagai iming-iming
yang tampak menyenangkan, ditawarkan segelintir tangan-tangan jahat ke
sekolah-sekolah dengan tujuan untuk menjebak dan menipu. Para kepala sekolah
atau para guru biasanya diberi iming-iming untuk memperoleh kesempatan
mengikuti pelatihan/pendidikan berikut mendapatkan laptop yang akan digunakan
sebagai sarana pembelajaran.
Yang
harus dilakukan para kepala sekolah atau guru ialah menyetorkan sejumlah uang
ke rekening bank yang sudah ditentukan sebagai bentuk komitmen kesediaan akan
hadir dalam kegiatan pelatihan/pendidikan tersebut. Uang yang sudah
disetorkan itu, dinyatakan akan dapat di-reimburse (dibayarkan kembali)
berikut biaya transportasi dan lum-sum apabila pelatihan/pendidikan sudah
selesai dilaksanakan.
Padahal,
semuanya iming-iming tersebut adalah tipuan belaka. Kejadian semacam ini
terus berulang meskipun para kepala sekolah, jika sedikit lebih kritis,
sebenarnya dapat memverifikasi terlebih dahulu setiap tawaran/undangan
pelatihan ke instansi yang namanya dicatut/dipalsukan itu.
Situasi
itu menggambarkan begitu rentannya masyarakat jika pengetahuan tentang
literasi media sangat terbatas. Masyarakat dapat dengan mudah dipengaruhi
berita dan informasi palsu yang menyesatkan serta berpotensi memecah belah
persatuan bangsa yang sudah dengan susah payah dibangun founding fathers.
Apa itu literasi media?
Literasi
media memberikan pemahaman kepada kita bahwa kemampuan dan keterampilan ini
sangat penting dan relevan dengan kebutuhan kekinian (zaman now). Salah satu
batasan tentang literasi media dapat dibaca dari rumusan Aspen Media Literacy
Leadership Institute (1992), literasi media dikatakan ialah kemampuan untuk
mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan membuat media dalam berbagai
bentuk.
Definisi
ini mulanya memang sangat singkat, tapi seiring dengan perjalanan waktu
dikembangkan, dan sekarang pengertiannya sudah diposisikan dalam konteks
pendidikan siswa dalam budaya media abad ke-21, yang rumusannya sebagai
berikut: (1) Literasi media ialah pendekatan pendidikan abad 21; yang (2)
menyediakan kerangka kerja untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan
membuat pesan dalam berbagai bentuk, dari format cetak ke video ke internet;
dan (3) Literasi media membangun pemahaman tentang peran media dalam
masyarakat serta keterampilan penting penyelidikan dan ekspresi diri yang
diperlukan bagi warga negara yang hidup di era demokrasi.
Untuk
memperkuat kemampuan siswa, media hendaknya tidak lagi dipandang sebagai
sebuah ancaman yang akan memengaruhi atau merusak budaya, tetapi lebih dari
itu, Media sudah harus diletakkan sebagai bagian dari budaya itu sendiri.
Siswa
melek media menunjukkan bahwa dunia pendidikan telah berhasil membantu mereka
menjadi kompeten, kritis, dan terpelajar dalam semua bentuk media sehingga
mereka mampu mengontrol, menginterpretasikan dari apa yang mereka lihat atau
dengar.
Untuk
menjadi melek media, siswa jangan hanya diajarkan hafal fakta/statistik media
saja, tetapi juga mereka harus dibiasakan untuk berefleksi dan bertanya
secara kritis dan mendalam tentang apa yang ditonton, dibaca, atau didengar
itu. Kemandirian dan kemampuan bertanya dan berpikir kritis harus terus
ditumbuhkan pada setiap individu siswa.
Tanpa
kemampuan mendasar ini, seorang individu (siswa) tidak akan dapat
berkontribusi penuh dan bermartabat dalam masyarakat yang demokratis.
Jadi,
pimpinan di kementerian, dinas pendidikan, dan komunitas sekolah, kepala
sekolah, guru, warga sekolah lainnya tidak perlu malu dan sungkan untuk
meninggalkan pengetahuan lama yang tak lagi sesuai (to unlearn) dan/atau
mempelajari (kembali) berbagai hal baru (relearn) terhadap praktik
pengelolaan pendidikan dan pembelajaran selama ini jika memang itu diperlukan
dan harus dilakukan perubahan.
Wallahualam. ●
|
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Hk
BalasHapusSetuju dengan penulis bahwa literasi media itu penting untuk semua orang
BalasHapus